Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tidak melihat masa depan yang cerah di negara saya." Carlos Sardines Galache, lelaki energetik berusia 34 tahun, menatap kosong keindahan pantai Castro-Urdiales, kota berpenduduk 60 ribu jiwa di Provinsi Cantabria, Spanyol. Kota yang berjarak sekitar 430 kilometer dari Madrid, ibu kota Spanyol, itu akan ia tinggalkan. "Setelah tabungan saya cukup, saya akan pindah ke negara lain," kata Sardines kepada Tempo via Facebook awal Januari lalu.
Krisis ekonomi Eropa berdampak terburuk pada perekonomian Portugal, Irlandia, Italia, Yunani, dan Spanyol. Menurut data, hingga akhir 2011, di negara-negara tersebut, kecuali Spanyol, utang sudah melebihi produk domestik bruto. Di Negara Matador, komposisi utang 60-79 persen dari pendapatan kotor negara itu. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut dari nol hingga di bawah minus dua persen.
Di negara asal Sardines, ada 4,6 juta warga menganggur atau sekitar 23 persen. Sedangkan kelompok muda yang tak terserap di pasar kerja nyaris mencapai 50 persen. Tingkat pengangguran di negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di Eropa itu adalah yang tertinggi di negara-negara Eropa. Bencana belum segera berakhir karena para pengamat ekonomi sepakat krisis belum akan sembuh pada 2012.
Sardines berpikir rasional. Bila terus bertahan di Spanyol, dia niscaya segera memperpanjang barisan pengangguran, atau minimal tak mampu membayar biaya hidup sehari-hari dan tagihan. Pekerjaannya sebagai wartawan lepas dan penerjemah buku ke bahasa Spanyol hampir dipastikan tak bertahan lama. Sebab, sekitar 70 persen jurnalis sudah jadi penganggur akibat industri media massa gulung tikar. "Jujur, saya sangat beruntung karena sejauh ini masih mampu menopang hidup," ujar Sardines.
Dari dua pekerjaan itu, Sardines mendapatkan penghasilan 800-900 euro per bulan atau Rp 9,3-10,5 juta. Pendapatan itu sudah menyentuh level tak aman. Sebab, upah minimum nasional Spanyol sekarang 640 euro atau hampir Rp 7,5 juta. Menurut Sardines, penghasilan aman di Spanyol saat ini berkisar 1.000 -1.100 euro per bulan atau Rp 11,6-12,8 juta. Dengan demikian, ada uang yang disisihkan untuk ditabung atau buat sekadar membeli buku yang mendukung pekerjaannya.
Penghasilan bulanan Sardines tergerus kebutuhan sehari-hari. Ia benar-benar harus mengetatkan ikat pinggang. Sementara sebelum krisis Sardines menghabiskan 50 euro atau sekitar Rp 580 ribu untuk membeli makanan dan minuman setiap hari, sekarang ia berhemat hingga hanya 10 euro per hari atau sekitar Rp 116 ribu. Sardines dan kekasihnya patungan membayar sewa apartemen 515 euro per bulan, atau kurang-lebih Rp 6 juta.
Berdasarkan kalkulasi itu, Sardines dan kekasihnya memutuskan hijrah ke Istanbul, Turki. "Tidak terlalu jauh dari Spanyol dan biaya hidup masih terjangkau," kata dia. Meski mata uang lira Turki ikut tergerus dampak krisis Eropa, roda perekonomian di negara dengan teritori Asia dan Eropa itu tetap bergerak. Bahkan, menurut Egemen Bagis, Menteri Bidang Uni Eropa dan Kepala Negosiasi Turki, perekonomian negaranya masih bisa tumbuh hingga 8 persen di antara rata-rata negara-negara Eropa, yang hanya 1,5 persen.
Lima tahun lalu, Sardines sempat hidup di London dan bekerja sebagai penulis serta pengajar bahasa Spanyol. Hidup di sana terasa ringan, bahkan ia sempat melanjutkan studi sambil bekerja. Namun Inggris dilanda krisis ekonomi, dan Sardines memutuskan pulang kampung. Ternyata kondisi Spanyol jauh lebih buruk ketimbang Inggris.
Keputusan hijrah juga diambil Juan G. Castro, 35 tahun, teman Sardines. Castro justru memilih pindah ke London, Inggris, negara di Eropa yang tidak masuk zona mata uang euro. "Saya memutuskan pindah ke London tiga bulan lalu karena krisis dan kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan di negara saya," katanya kepada Tempo pertengahan Januari lalu.
Castro pernah menjadi wartawan di sebuah stasiun televisi Spanyol. Di London, ia mendapatkan pekerjaan sebagai asisten hubungan masyarakat di satu hotel. Ia mendapatkan gaji 1.200 pound atau berkisar 1.400 euro (lebih dari Rp 16,3 juta) per bulan. Andai ia memiliki kemampuan berbahasa Inggris lebih baik, mungkin penghasilannya bisa lebih dari itu. "Tapi saat ini saya merasa lebih dari puas atas kehidupan baru di London," ujar Castro.
Biaya hidup di London, menurut Castro, lebih murah dibanding di pusat kota Madrid. Di Spanyol, ia harus mengeluarkan 10 euro untuk sekali makan (sekitar Rp 116 ribu). Di London, dengan 6-7 pound (sekitar Rp 85 ribu), Castro sudah bisa membeli bahan makanan untuk kebutuhan sehari. Sedangkan biaya sewa apartemen, menurut dia, kurang-lebih sama. Yang termahal adalah ongkos transportasi publik, yaitu 19-30 pound per minggu atau Rp 263-415 ribu. "Tapi saya mengendarai sepeda, maka transportasi gratis," ujarnya.
Memilih pindah ke London, bagi Castro, bukan tanpa perhitungan. Di Inggris, roda perekonomian masih berputar meski krisis ekonomi Eropa berdampak juga ke negara yang tidak menggunakan mata uang euro itu. Peluang kerja pun masih terbuka di Inggris—tingkat pengangguran di Spanyol mencapai 23 persen atau yang tertinggi di Eropa, Inggris sekitar 7 persen. Dua pekan lalu, Castro berkesempatan mengikuti wawancara dari dua perusahaan di London, yaitu untuk lowongan konsultan media digital hiburan dan bagian hubungan masyarakat perusahaan yang akan mengembangkan bisnis ke Amerika Latin.
Gonjang-ganjing krisis ekonomi di Eropa memang telah mendorong peningkatan angka migrasi di antara negara–negara Eropa, bahkan ke luar Eropa. Peneliti dari European University Institute di Departemen Ilmu Politik dan Sosial, Roxana Barbulescu, menjelaskan, migrasi intra-Eropa meningkat signifikan dalam setahun terakhir, terutama dari Eropa Timur dan Eropa Tengah. Mereka bermigrasi demi lebih mudah mendapatkan pekerjaan.
Menurut Barbulescu, migrasi intra-Eropa merupakan efek krisis ekonomi yang melanda Eropa mulai 2008. Namun gelombang migrasi kali ini belum sebesar yang terjadi pada krisis ekonomi Eropa pada 1973.
Faktanya, dinamika migrasi akibat krisis ekonomi di Eropa tak hanya terjadi di dalam benua itu, tapi juga hingga ke luar Eropa, seperti Amerika Tengah, Australia, bahkan Afrika. Keputusan "radikal" itu diambil Alberto Arce. Laki-laki 35 tahun itu memutuskan bekerja dan tinggal di Guatemala, Amerika Tengah, setelah kesulitan mendapatkan pekerjaan di negaranya, Spanyol.
Arce sebenarnya tidak memilih Guatemala, meski lebih dari setahun lalu ia sudah berniat hengkang dari negaranya. Yang menjadi pemicu adalah ketika istrinya hamil, dan ia malah dipecat dari perusahaannya. "Kami hanya punya satu pilihan saat itu: pindah ke rumah orang tuanya di Prancis sambil menanti kelahiran bayi kami," kata Arce awal Januari lalu.
Tak disangka istrinya mendapat beasiswa enam bulan di Guatemala. Arce, istrinya, dan sang anak pun pindah ke Guatemala. Di negara itu, Arce mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis lepas. Di Spanyol, ia bekerja tidak hanya sebagai wartawan, tapi juga hidup dari penghargaan-penghargaan yang diterimanya dari sejumlah festival film. Ia juga bekerja untuk perusahaan-perusahaan di luar Spanyol. "Katakanlah, 90 persen pendapatan saya dari pekerjaan di luar Spanyol atau perusahaan-perusahaan asing," Arce menjelaskan.
Meski penghasilan di Guatemala tidak sebesar di Spanyol, Arce mengaku puas terhadap hidupnya di Guatemala. Penghasilannya US$ 1.100 atau sekitar Rp 9,85 juta setiap bulan, cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya.
Maria Rita (Time, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo