Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Amerika Serikat</font><br />Menanti Sekuel Pertempuran Selanjutnya

Kongres dan Senat Amerika menunda pemungutan suara rancangan undang-undang SOPA dan PIPA. Namun pertempuran antara kubu kebebasan ber-Internet dan kubu anti-pembajakan masih akan berlanjut.

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibarat film laris Hollywood, produsen tak akan menyia-nyiakan pembuatan sekuelnya. Perjuangan meloloskan atau menggagalkan rancangan undang-undang yang mengatur pembasmian pembajakan dan perlindungan hak cipta di Internet yang diajukan Kongres dan Senat Amerika Serikat juga akan berlanjut.

Meski pembahasan kedua beleid tersebut—Penghentian Pembajakan di Internet (SOPA) dan Perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual (PIPA)—ditunda pada Sabtu dua pekan lalu dan Selasa pekan lalu berkat protes publik, Wikipedia menghitamkan layanannya dalam 24 jam. Juga beberapa situs lain. Namun kepentingan perusahaan besar, seperti industri film dan musik, yang berada di balik dua produk hukum itu tak akan tinggal diam. Seperti ditulis Guardian, "Segera hadir dalam debat Kongres terdekat, SOPA II: Balas Dendam dari Industri Konten."

Anggota Kongres, Lamar S. Smith, mengajukan SOPA pada 26 Oktober 2011 dan didukung 31 anggota Kongres lainnya. Sedangkan PIPA sudah lebih dulu dikenalkan oleh Senator Patrick Leahy pada 12 Mei 2011 dan didukung 40 senator lain. Rancangan ini merupakan penyusunan ulang beleid yang mirip dan pernah ditolak Senat pada 2010, Combating Online Infringement and Counterfeits Act.

SOPA memberikan hak kepada penegak hukum Amerika Serikat untuk membasmi dan menghukum transaksi di dunia maya yang melanggar kaidah hak cipta. Perlindungan terhadap pembajakan itu dimulai dari perangkat lunak, video, musik, dan karya lain. Pembajakan telah mengakibatkan kerugian lebih dari US$ 58 miliar atau sekitar Rp 527 triliun per tahun. Padahal industri kreatif Amerika menampung 19 juta pekerja dan lebih dari 60 persennya untuk ekspor. Klaim ini disampaikan Aliansi Pemilik Hak Cipta, yang meliputi CBS, Burberry, Walt Disney, Viacom, NBC Universal, Kamar Perdagangan Amerika, dan Asosiasi Perfilman Amerika.

Rancangan undang-undang tersebut bisa mengancam kebebasan mengakses konten Internet gratis. Beleid SOPA memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan aktivitas mesin pencari, penyedia layanan, penyedia penampungan, dan server, bahkan menghentikan pembayaran iklan, jika ditemukan konten ilegal. Ancamannya bisa lebih dari itu karena definisi situs pembajak sangat luas. SOPA tak hanya mengancam situs-situs yang menyediakan konten ilegal gratis. Tautan juga bisa diseret. Inilah yang membuat perusahaan besar seperti Craigslist, eBay, Google, Mozilla, Twitter, dan Wikipedia menentang SOPA dan PIPA.

Dalam PIPA, pemerintah Amerika Serikat dan perusahaan pemilik hak cipta dapat meminta penyedia layanan Internet memblokir akses ke situs penyedia konten yang dianggap ilegal. Mereka bisa mengambil langkah hukum dengan menggugat mesin pencari, blog, atau situs. Meski aturan itu dianut di Amerika, efeknya bisa menjalar ke seluruh dunia—jika ditemukan konten ilegal pada domain negara lain. "Kami menganggap itu bukan aturan yang baik," kata Jimmy Wales, pendiri Wikipedia.

"Korban" pertama jatuh. Biro Penyelidik Federal Amerika dan Pengadilan Selandia Baru menangkap pemilik Megaupload, media penyimpanan online, Kim Schmitz. Megaupload dituduh membajak dan melanggar hak cipta. Aset Megaupload senilai puluhan miliar dolar Amerika pun dibekukan.

Aliansi Pemilik Hak Cipta tidak tinggal diam di masa jeda ini. Ketua Asosiasi Perfilman Amerika (MPAA) Christopher Dodd mengatakan akan berusaha mendesak Kongres mendukung kepentingan pengusaha.

Pemimpin senator Amerika Serikat, Harry Reid, yakin akan ada kompromi antara kubu pro dan kontra SOPA dan PIPA. Namun pernyataan ini sama artinya dengan pertempuran antara korporasi besar pembela hak cipta dan komunitas cyber global, to be continued….

Eko Ari (New York Times, Prospectus News, Huffington Post, First Web Designer)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus