Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN yang dilansir Kementerian Luar Negeri Cina pekan lalu itu meredakan ketegangan hubungan dengan Jepang. Jiang Yu, juru bicara kementerian itu, menyampaikan kebijakan luar negeri Cina yang berbeda dibanding pekan-pekan sebelumnya. ”Kami sangat menghargai hubungan Cina-Jepang,” kata Jiang.
Situasinya berbeda dengan 8 September lalu, saat Zhan Qixiong, kapten kapal nelayan Cina, menabrakkan kapalnya ke dua kapal patroli Angkatan Laut Jepang. ”Jika Jepang terus menantang, kami akan mengambil tindakan balasan yang keras,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Ma Zhaoxu, tiga pekan lalu.
Peristiwa tabrakan kapal itu terjadi di Kepulauan Senkaku. Gugus pulau ini masih menjadi wilayah sengketa antara Jepang dan Cina. Dalam peta Cina, Senkaku disebut Diaoyu dan masuk wilayah Negeri Tembok Raksasa.
Nelayan Cina tak jarang masuk ke wilayah ini untuk memancing. Biasanya mereka cuma diusir oleh kapal patroli Jepang. Tapi, karena menabrakkan kapal, Zhan ditangkap. Empat belas anak buahnya dibebaskan bersama kapal nelayannya.
Zhan pun akhirnya dibebaskan. Namun, berembus kabar, pemerintah Jepang melepas sang kapten karena industri otomotif dan elektronik Negeri Sakura tertekan oleh penghentian pasokan mineral langka yang dibutuhkan kedua jenis industri itu.
Penahanan Zhan juga membuat negosiasi eksplorasi minyak dan gas di wilayah Laut Cina Timur dihentikan sementara. Cina bereaksi keras dengan memutuskan kontak diplomatik antarpejabat tinggi kedua negara. Bahkan Perdana Menteri Wen Jiabao semula tak ingin bertemu dengan Perdana Menteri Naoto Kan di sela acara Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Wen secara pribadi malah meminta Jepang membebaskan Zhan di markas PBB itu.
Empat warga Jepang itu akhirnya menghirup udara bebas pekan lalu. Mereka ditangkap sepekan sebelumnya karena dituduh memata-matai kompleks militer Cina. Kombinasi penghentian ekspor mineral dan penangkapan warganya membuat Naoto Kan tak berkutik. Peringatan invasi Jepang ke Cina bulan lalu makin menaikkan sentimen rakyat Cina terhadap Jepang.
Keputusan Jepang membebaskan Zhan dianggap sebagai kekalahan diplomasi dan dominasi ekonomi, meski ada pengawalan keamanan Amerika. Sejak dikalahkan Sekutu pada Perang Dunia II, Jepang punya perjanjian dengan Amerika bahwa Amerika akan mengawal Jepang yang tak diperkenankan memiliki tentara. ”Ini menunjukkan kekuatan Jepang menurun terhadap Cina,” ujar Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Rizal Sukma.
Apa yang terjadi di Laut Cina Timur menjadi cermin untuk sengketa di Laut Cina Selatan. ”Apalagi Cina sudah menganggap wilayah itu sebagai kepentingan inti nasional,” Rizal menambahkan. Dengan status ini, perincian perkembangan wilayah tersebut mesti diperhatikan secara saksama.
Wilayah sengketa dengan Vietnam dan Filipina itu dianggap sebagai ”bahaya” lantaran Vietnam mendaftarkan gugus pulau Spratly sebagai miliknya ke PBB pada 2009. Saat itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menetapkan tenggat bagi wilayah negara yang belum didaftarkan.
Sikap tegas Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton itu diucapkan dalam pertemuan ASEAN Regional Forum di Hanoi, Vietnam, Juli lalu. Dia menekankan, Amerika berkepentingan untuk mencari solusi damai atas masalah klaim Laut Cina Selatan. ”Ini adalah prioritas ke depan,” ujarnya.
Pidato Clinton tak pelak dianggap Menteri Luar Negeri Cina Yang Jiechi sebagai serangan. ”Ini adalah serangan langsung,” ujar Yang. Saat ini, menurut sumber Tempo di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Amerika sebetulnya tak bisa lagi menghalangi kekuatan Cina di Asia. Salah satu indikasinya adalah kemenangan Cina atas Jepang dalam insiden di Laut Cina Timur.
Menurut Rizal, Cina bisa membuat masalah Laut Cina Selatan terlokalisasi dengan Filipina dan Vietnam dalam kerangka Declaration of Conduct, salah satu alat ASEAN membantu penyelesaian sengketa menyangkut negara anggota. ”Dengan kerangka ini, tak ada alasan Amerika masuk ke sengketa itu.”
Sebaliknya, menurut Zha Daojiong, profesor politik internasional dari Universitas Peking, mekanisme itu tak bisa menjadi jaminan. ”Negara-negara ASEAN akan bingung berdiri di pihak mana,” ujarnya dalam Seminar 60 Tahun Hubungan Indonesia-Cina di Jakarta, dua pekan lalu.
Kekuatan Cina di Asia Tenggara memang tak ditunjukkan dengan pamer kekuatan militer. Namun, dengan belanja pertahanan di urutan kedua setelah Amerika, tentara Cina jelas menjadi kekuatan raksasa di Asia. Pada 2010, belanja pertahanan Negeri Tembok Raksasa US$ 77,95 miliar, naik 7,5 persen dibanding tahun sebelumnya.
Yophiandi (New York Times, People’s Daily, Straits Times, Washington Post, Xinhua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo