Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Lagu Haru untuk Sang Ibu

Lima puluh persen lebih ibu yang baru melahirkan mengalami baby blues syndrome. Akibat perubahan hormon dalam tubuh dan fisik. Dukungan lingkungan menentukan pemulihannya.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DICKY Asmawi, 27 tahun, bingung melihat istrinya mengamuk, menangis, dan kadang bengong tanpa sebab. ”Kami baru saja merasa gembira dan bersyukur dikaruniai anak. Tapi apa yang terjadi pada istri saya?” katanya. Tiga hari lalu, istrinya, Fitriah, 25 tahun, melahirkan seorang bayi lelaki.

Fitriah, yang dilanda sedih, gundah-gulana, mengalami baby blues syndrome, sindrom yang terjadi akibat depresi pada ibu muda yang baru saja melahirkan. ”Biasanya dialami di masa tiga hari sampai 14 hari setelah persalinan.” kata dokter spesialis anak dan air susu ibu dari Divisi Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rulina Suradi.

Itu merupakan keadaan ketika proses melahirkan sudah lewat dari dua pekan tapi gejala depresi dan mudah tersinggung semakin hebat. Jika tak ditangani dengan baik, gejala ini bisa meningkat menjadi postpartum depression syndrome. Kalau sudah begini, si ibu harus dirujuk ke dokter lain. ”Nah, yang ini lebih berat, bisa sampai satu tahun dan harus ditangani dokter jiwa,” kata Profesor Rulina.

Membedakan baby blues dengan depresi lanjutan pascamelahirkan, menurut dokter Rulina, bisa dengan melihat si ibu waktu tidur. ”Dia merasa rileks karena bayinya sudah ada yang menjaga. Tapi, kalau masih cemas dan tak bisa tidur, itu depresi lanjutan,” ujarnya.

Di Amerika Serikat, dua dari seribu ibu yang mengalami depresi pascamelahirkan beranjak menjadi penderita postpartum psychosis, yang ditunjukkan dengan kelainan jiwa. Namun, di Indonesia, menurut Profesor Rulina, tak ada angka pasti. Gejala yang muncul dari penyakit jiwa tersebut biasanya berupa paranoia, pemikiran yang irasional, bahkan sampai menimbulkan delusi, mengarah pada pemikiran yang mengerikan hingga menyangkut kematian si bayi dan dirinya.

Baby blues syndrome seperti yang terjadi pada Fitriah, menurut dokter yang 40 tahun lebih mengabdi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu, juga dialami 50 persen ibu muda lain. Sindrom ini terjadi karena hormon-hormon dalam tubuh mengalami perubahan besar, yang juga diikuti perubahan fisik setelah melahirkan. Nitrat dalam jumlah besar masuk ke tubuh bayi yang dikandung ibu.

Kelebihan nitrat—yang biasa terdapat dalam garam—dalam tubuh akan direduksi menjadi nitrit dan bereaksi langsung dengan hemoglobin dalam darah membentuk metheglobin, yang dapat menghambat pengiriman oksigen dalam darah. Kekurangan oksigen ini juga berpengaruh ke seluruh organ, yang berdampak pada gangguan kejiwaan.

Para ibu muda tersebut pun letih karena baru saja melalui proses persalinan yang melelahkan. ”Ini termasuk gejala penyakit kejiwaan kompleks yang tidak berdiri sendiri,” ujar guru besar ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. Perasaan ini lebih banyak muncul pada ibu muda yang kurang paham mengenai kehamilan dan anak. Kondisi tersebut bertambah juga karena kurangnya asupan nutrisi yang seimbang saat hamil.

Suami dan keluarga yang tidak banyak menyokong kehamilan memperparah kondisi psikologis si ibu. ”Keluarga harus mendukung kehamilan, dengan tidak memberikan tanggapan negatif saat ada perubahan fisik pada ibu hamil,” katanya. Komentar miring dari suami tentang kondisi ibu saat hamil dan pascamelahirkan akan sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Akibatnya, si ibu akan menyalahkan kehamilan dan bayinya karena tidak lagi tampak baik di mata orang-orang terdekatnya. ”Perempuan itu akan merasa tidak percaya diri karena alasan-alasan sepele tersebut. Ya, memang kondisinya seperti itu, sedang labil,” kata Rulina.

Sindrom ini bisa dicegah sejak awal, khususnya di masa-masa awal ketika kehamilan diketahui. Menurut dokter ahli kandungan Rumah Sakit Muhammadiyah, Jakarta Selatan, Natsir Nugroho, ”Sebenarnya, sejak kehamilan, ada yang sudah muntah terus-menerus, sampai akhirnya tak mau makan. Itu tanda-tanda stres karena sikap melawan kehadiran kehamilan.”

Di samping itu, ibu hamil harus paham betul tentang kehamilan dan anak. Pemahaman ini bisa diperoleh dari keluarga, bahan bacaan, atau dokter kandungan tempat si ibu berkonsultasi. ”Harus siap lahir-batin saat melahirkan,” kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia itu.

Dokter Natsir menyebutkan perempuan dengan tipe kepribadian ambisius, kompetitif, dan memiliki jabatan rangkap berisiko tinggi terkena stres dan jika melahirkan mengalami gangguan baby blues. ”Orang yang kurang sabar, mudah tersinggung, bicara cepat, hiperaktif, otoriter, dan kaku terhadap waktu masuk di antara yang berisiko,” katanya.

Dalam kasus tertentu, penderita sampai berupaya bunuh diri atau membunuh sang jabang bayi. Sindrom ini muncul karena si ibu sebelumnya punya latar belakang kondisi kejiwaan yang labil, misalnya temperamental dan pernah mengalami gangguan jiwa. Walaupun faktor ekonomi dipastikan tidak termasuk penyebab utama sindrom ini, tekanan itu bisa memicu timbulnya kecemasan.

Perilaku suami yang sering meninggalkan istri di masa awal melahirkan juga jadi penyebab. ”Hanya dukungan keluarga dan suami yang bisa membantu ibu mengatasi sindrom ini,” ujar Natsir.

Jika perempuan normal saja dapat mengalami gangguan kejiwaan setelah melahirkan, apalagi yang memang tengah terimpit berbagai masalah, dari masalah ekonomi sampai berbagai masalah sosial, seperti hamil di luar nikah, pernikahan dini, atau penolakan dari keluarga. Tak aneh jika kasus pembuangan atau pembunuhan bayi meningkat belakangan ini. Tentu saja harus ada pemahaman semua pihak dan pencarian jalan keluar untuk mengatasinya.

Menurut utusan khusus pemerintah dalam pencapaian target pembangunan milenium atau Millennium Development Goals, Profesor Nila Moeloek, baby blues dan postpartum depression syndrome harus bisa diatasi. Sebab, ini berkaitan dengan kesehatan ibu dan bayi. ”Kini kita sedang berusaha menekan kematian ibu akibat melahirkan maupun bayinya,” katanya seusai diskusi meja bundar peluncuran hasil penelitian The Economist mengenai kesehatan di Hotel JW Marriott, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Ahmad Taufik


MENGATASI BABY BLUES SYNDROME

  • Baca majalah, berbincang dengan saudara atau teman dekat.
  • Beristirahatlah sedapat mungkin. Biarkan pasangan atau keluarga membantu dengan kegiatan rumah tangga dan mengurus si kecil sementara.
  • Ambillah waktu untuk diri sendiri, dan carilah kesenangan.
  • Batasilah teman yang akan berkunjung agar menunggu satu atau dua minggu.

GEJALA BABY BLUES SYNDROME

  • Merasa sedih dan depresi disertai menangis tanpa sebab.
  • Mudah kesal, gampang tersinggung, dan tidak sabaran.
  • Tidak memiliki tenaga atau mudah lelah.
  • Cemas, merasa bersalah, dan merasa tidak berharga.
  • Menjadi tidak tertarik kepada bayi atau menjadi terlalu memperhatikan dan khawatir terhadap bayinya.
  • Tidak percaya diri.
  • Sulit beristirahat dengan tenang.
  • Mengalami peningkatan berat badan yang disertai makan berlebihan.
  • Mengalami penurunan berat badan yang disertai tak mau makan.
  • Merasa takut bisa menyakiti diri sendiri atau bayinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum