Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#CC0000>Jeremy Browne:</font><br />Kita Tak Mau Investasi Lari ke Negara Lain

26 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah Partai Konservatif, Inggris mengetatkan kebijakan ekonominya. Efisiensi di lakukan Perdana Menteri David Cameron di dalam negeri seraya mensosia lisasikan kepada negara-negara sahabat untuk tak khawatir dengan kebijakan tersebut. Untuk kepentingan itu pula, pekan lalu Menteri Negara Luar Negeri Jeremy Browne datang ke Jakarta.

Menteri dari Partai Demokrat koalisi Konservatif itu mengurus soal Asia Timur dan Pasifik. Browne adalah salah satu menteri berusia muda di kabinet Cameron. Dalam dua hari kun jungannya, dia juga menjelaskan kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri kebijakan antiteror yang masih tetap berjalan dengan Indonesia, negara yang disebutnya "negara terbesar di Asia Tenggara".

Jumat pekan lalu, kepada Tempo dan dua wartawan lain, Browne menjelaskan berbagai kebijakan Cameron di kediaman Duta Besar Inggris Martin Hatfull.

Kebijakan keuangan Inggris sekarang begitu ketat, apakah tak takut menimbulkan kesulitan dalam hubungan dengan negara lain?

Kami punya masalah defisit anggaran yang tak stabil. Pemerintah baru mesti cepat bergerak menyeimbangkan keuangan kami. Kami ingin memberikan penjelasan kepada negara yang penting bagi kami, seperti Indonesia. Bahwa kami serius mengontrol anggaran dan ingin tetap bekerja sama untuk bisnis dengan Indonesia. Saya berharap pemerintah Indonesia paham bahwa penting bagi kita meningkatkan kerja sama.

Bagaimana hubungan ekonomi dengan Cina dan India?

Semua orang paham akan kebangkitan Cina yang menjadi kekuatan ekonomi kedua dunia. Tapi tak semua Asia adalah Cina, dan Asia bukan Cina. Ada Jepang, Korea Selatan, yang sangat penting. Asia Tenggara punya bagian 10 persen dari populasi di Asia, punya pertumbuhan ekonomi yang signifikan daripada Eropa. Dan yang terbesar di Asia Tenggara adalah Indonesia. Apalagi Indonesia adalah anggota G-20 yang punya komitmen dalam arsitektur dunia.

Apakah Inggris akan mengikuti Amerika mereformasi kebijakan di bidang keuangan?

Kita semua belajar dari masalah sistem perbankan beberapa tahun terakhir yang sangat berdampak pada Inggris karena ekonomi kami sangat mengandalkan jasa keuangan. Tapi pasar keuangan sedang meningkat dan banyak kelas menengah yang masih membutuhkan, seperti 35 juta orang di Indonesia yang membeli asuransi dan produk keuangan. Kami mesti hati-hati dengan kebijakan keuangan agar tak jadi masalah seperti di masa lalu.

Apa masalah dalam hubungan kerja sama antara Indonesia dan Inggris?

Saya harap tak ada masalah besar. Salah satunya adalah mengatasi terorisme dan ekstremisme. Saya harap ini tak jadi masalah bagi Indonesia untuk menarik negara lain berinvestasi. Kita tak mau investasi malah lari ke negara lain karena masalah keamanan. Itu akan sangat buruk buat Indonesia.

Indonesia dan Amerika punya persoalan dalam kerja sama pertahanan karena persoalan hak asasi manusia. Apakah Inggris berniat mengisi kekosongan yang ditinggalkan Amerika?

Kami juga sangat memperhatikan hak asasi manusia. Tapi ini bukan berarti Inggris mengajari negara lain apa yang harus dilakukan. Pemerintah mesti menjadi pelayan bagi war ganya, bukan bos. Bagi Inggris, penegakan hak asasi manusia berarti menghargai martabat manusia.

Bagaimana pemerintah Inggris melihat sengketa rekening di Guernsey milik Tommy Soeharto?

Saya tak berwenang menjawab. Tapi begini, banyak insitusi (keuangan) di dunia yang puas dengan Inggris. Kami dipercaya, misalnya, oleh pegawai negeri Amerika, karena kami bisa memberikan pelayanan yang baik.

Bagaimana kebijakan Inggris tentang Papua?

Sikap kami tak berubah seperti sebelum pemilihan umum. Ini kelanjutan kebijakan pemerintah yang lalu. Kami menghargai integritas dan wilayah Indonesia. Ada debat memang di Inggris tentang desentralisasi, apakah komunitas lokal bisa mendapatkan wewenang lebih banyak. Yang penting peningkatan transparansi pemerintah Indonesia atas apa yang terjadi di Papua.

Apakah bom yang meledak di subway menandakan terjadinya perubahan dalam kehidupan warga muslim Inggris?

Ya, memang ada peristiwa itu. Empat pengebomnya adalah orang Inggris. Ada masalah radikalisasi di semua negara, tak cuma di Inggris, yang mesti diselesaikan. Bom itu jelas tak memilih korban. Tapi mayoritas muslim di Inggris sama khawatirnya dengan warga lain. Tentu kita mesti mengatasi soal keamanan ini, karena tak seorang pun mau hidup di kota yang membahayakan nyawa mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus