Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.
Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah mesti menuruti tatanan simbol yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa.
Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi ini pun sebagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya pengaruh: pemilik taman hiburan, entrepreneur baju dan sepatu, industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa iklan, pengarah kindergarten dan sekolah dasar.
Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilangkan.
Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas. Yang pertama masa ketika kita cemas akan meninggalkan tradisi sisa simptom masyarakat petani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika perubahan teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa bertahan dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar kepada yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang baru.
Tapi masa ini juga masa ketika modal, persaingan, perbedaan, dan perubahan mendesak. Merasa dilecut, orang-orang tua dengan agak gugup dan tak sabar mempersiapkan anak mereka untuk masuk ke dunia yang sebenarnya bukan dunia anak-anak.
Di tengah kecemasan itu, acap kali anak hanya diberi. Tapi dengan sikap yang mendua. Sebab, pada saat yang sama, sang pemberi, si orang tua, merasa diri berkorban, dan dengan pengorbanan itu memposisikan diri lebih mulia. Saya kira ambivalensi itulah yang tercermin dalam satu sajak Amir Hamzah yang ditulis pada tahun 1930-an:
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Jelas, sajak itu mencerminkan pandangan orang tua: si bocah dinilai lasak dan manja, dan orang tua dinyatakan penuh ikhlas melayani. Tapi kita tak memberi peluang bagi si anak untuk menampilkan sudut pandangnya.
Maka bukan hal yang mengherankan anak-anak disi sihkan tiap hari.
Tapi agaknya bukan hanya Indonesia yang menyaksikan ketersisihan itu. Pada awal abad ke-20, ketika kapitalisme industri makin mengukuhkan diri, Eropa merasakan punahnya saat-saat ketika manusia, seperti anak-anak, pernah punya waktu dan imajinasi untuk (dalam kata-kata Tagore) ”duduk di debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”.
Maka orang mencari apa yang hilang itu: sebuah kehidupan yang tak ditentukan oleh ”hasil”, ”guna”, ”perhitungan”, ”efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Dengan kata lain, sebuah situasi yang jauh berbeda dari yang disebut Hegel sebagai ”kehidupan yang bergerak sendiri tapi sebenarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati”, ein sich in sich selbst bewegende Leben des Todes.
Dalam situasi itu, yang semula hidup telah beku. Kebenaran jadi ensiklopedia, panggilan etis jadi undang-undang, cara jadi formula, ibadah jadi ritual, yang disembah jadi berhala, kesenian jadi klise, alam jadi proyek, dan benda yang akrab ke dalam hatiku cuma jadi benda yang tiap saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. Terutama setelah uang berkuasa.
Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. ”Orang dewasa,” kata sang Pangeran Kecil dalam karya Antoine de Saint-Exupéry, ”menyukai angka-angka.” Orang dewasa (sebuah kiasan untuk ”orang modern” yang praktis) ha nya mampu melihat setangkai kembang mawar sebagai eksemplar dari kembang mawar yang lain. Dengan kata lain, ”kembang mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan kehadiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil ditulis de Saint-Exupéry, sastrawan dan penerbang Prancis itu, ketika ia hidup di New York. Buku itu terbit pertama kali pada 1943. Diterjemahkan ke dalam 190 bahasa (termasuk Indonesia), fiksi puitis ini sebenarnya sebuah penyesalan. De Saint-Exupéry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana bukan kalkulasi, melainkan imajinasi bebas, yang jadi paradigma.
Paradigma itulah yang oleh para penyair didapatkan sosoknya dalam diri anak-anak. Sebelum Tagore dan de Saint-Exupéry, Rilke sudah mengemukakan itu, pada 1901: hanya anak, bukan orang dewasa, yang dapat me nemukan keindahan yang muncul ”dari benda yang pa ling kecil, dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di sehelai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakannya. Mereka, tulis sang penyair, kehilangan keindahan itu karena mereka hanya ”berkisar dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri dengan segala detail”.
Tapi Rilke juga menyadari: pada gilirannya anak-anak berubah. Kita telah mengubah mereka. Kita telah menggantikan pandang mereka yang intuitif dengan pandang yang rasional, dengan apa mereka membuat abstraksi dan menghadirkan kebekuan. Seperti ditulisnya dalam Elegi ke-8 dari seri Elegi Duino yang terkenal itu:
… sebab telah kita balikkan arah anak-anak memandang
Hingga ia menatap ke belakang, ke arah apa yang mapan
Bukan ke sana yang terbuka, yang tersembunyi
Dalam tatapan hewan: bebas dari kematian.
Dan hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo