Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#CC0000>Libya</font><br />Cukup Sampai di Mesir

Satu lagi kapal kemanusiaan gagal menembus blokade Israel di Gaza. Lobi seorang pengusaha Austria keturunan Yahudi.

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah empat hari yang me negangkan, Kamis pekan lalu, marinir Israel bisa menarik napas lega. Kapal kemanusiaan asal Libya, Amalthea, akhirnya menepi ke Pelabuhan El-Arish, Mesir. Tadi nya kapal yang membawa bantuan kemanusiaan sumbangan anak Muammar Qadhafi, Saiful Islam, itu berencana menembus blokade kapal perang Israel menuju Gaza.

”Syukur kami akhirnya tidak melakukan sesuatu yang dramatik kali ini,” kata seorang tentara Israel kepada The Jerusalem Post. Menurut dia, jika Amalthea berkeras, kejadian di atas kapal kemanusiaan Turki, Mavi Marmara, akhir Mei lalu bisa terulang. Ketika serangan militer Israel menyebabkan sembilan relawan di atas kapal itu terbunuh.

Kapal yang dicarter Qadhafi itu masuk perairan Mesir dikawal empat kapal perang Israel. Mereka membawa 2.000 ton makanan dan obat-obatan untuk warga Gaza yang terkepung.

Sehari sebelumnya sempat beredar kabar bahwa mesin kapal berbendera Moldovan itu rusak sehingga hanya bisa mengapung di perairan internasional sekitar 100 kilometer dari pantai Gaza.

Tapi kabar itu belakangan dibantah Alex Angelopoulos, pengusaha Yunani pemilik kapal. ”Kegagalan mesin cuma tipuan kapten agar badan kemanusiaan Libya punya waktu mencari dukungan internasional, memaksa Israel membiarkan Amalthea berlabuh di Gaza.”

Selain mengantarkan bantuan kemanusiaan, seperti kapal kemanusiaan lain yang berlayar ke Gaza, Amalthea punya misi lain, yakni membuka blokade Israel yang kini genap tiga tahun. Untuk tujuan ini sebenarnya Amalthea bukan yang pertama, dan jelas bukan pula yang terakhir.

Di London, misalnya, kantor pusat organisasi Wanita untuk Gaza belum lama ini telah mengumumkan niat mereka mengirim sebuah kapal berisi 400 relawan perempuan dari berbagai negara ke Gaza. Perjalanan dengan tujuan menembus barikade laut Israel itu mereka namai Freedom 2.

Itu sebabnya, meski dipimpin langsung oleh anak Muammar Qadhafi, Amalthea tetap dibendung. Seorang tentara Israel mengatakan mereka tak akan pernah membuka blokade. Menurut dia, letusan senjata tak sempat terjadi karena masyarakat internasional terlibat aktif meminta para relawan Libya tak melanjutkan niat mereka ”menabrak” blokade.

Konon, begitu kapal itu lepas sauh dari Yunani, Sabtu malam pekan lalu, Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lie berman, melalui pihak ketiga, mengupa yakan agar Amalthea diarahkan ke Mesir. Dia juga yang mengurus agar Mesir mau membiarkan kapal itu berlabuh di sana, membongkar muatan, dan membiarkan bantuan kemanusiaan dibawa lewat darat menuju Gaza yang cuma sekitar 45 kilometer dari El-Arish.

Pihak Israel sempat dag-dig-dug pada Rabu siang. Ketika itu belum jelas apakah upaya mengalihkan Amalthea ke Mesir disetujui para relawan Libya. Eh, tiba-tiba ada pernyataan Perdana Menteri Hamas Ismail Haniyah, yang meminta Amalthea tetap berlayar menuju Gaza. ”Konvoi laut dan darat harus berlanjut,” kata Haniyah. ”Kami berharap negara-negara Islam membantu melepaskan kami dari blokade.”

Baiknya, tak berapa lama setelah itu, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair membuat pernyataan sebaliknya, meminta Amalthea tak melanjutkan perjalanan ke Gaza. ”Hal paling pen ting adalah menghindari konfrontasi,” katanya.

Toh, sepanjang hari itu kapal perang Israel tak sedikit pun menjauh dari Amalthea yang terus melintasi perairan internasional dekat pantai Gaza. ”Kami pa sang mata pada kapal itu,” kata seorang tentara Israel. Tentara Israel bahkan sempat mengancam kapten kapal berkebangsaan Kuba bahwa dia yang akan dimintai tanggung jawab jika sesuatu terjadi pada kapal itu lantaran mengabaikan perintah menjauhi Gaza.

Semua ketegangan berakhir pada Kamis malam. ”Demi keselamatan semua penumpang, kami memutuskan berganti arah menuju El-Arish,” kata Yusef Sawan, direktur lembaga sosial Libya itu.

Menurut Jerusalem Post, ada dugaan Martin Schlaff—pengusaha Austria keturunan Yahudi—berada di balik upaya diplomatik untuk ”mempertemukan” Israel dan organisasi kemanusiaan Libya yang didanai anak Muammar Qa dhafi itu.

Philipus Parera (Al-Jazeera, CNN, DP-News.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus