Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

'Haram' Di Kawasan Teluk

Negara-negara di kawasan Teluk Persia tertutup bagi pengungsi. Khawatir timbul masalah keamanan dan ekonomi.

14 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan warga Jerman bersorak, bernyanyi, dan bertepuk tangan menyambut kedatangan pengungsi asal Suriah di stasiun-stasiun kereta Muenchen dan Frankfurt pekan lalu. Mereka memegang poster bertulisan "Selamat Datang Pengungsi". Di sebuah titik di stasiun, mereka menumpuk pakaian, kue, pizza, minuman, bahkan mainan, makanan bayi, dan popok bayi.

Sikap Jerman yang bersedia menerima hingga 800 ribu pengungsi menjadi kritik keras bagi negara-negara kaya di sepanjang Teluk Persia. "Lima negara Teluk-Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Kuwait, dan Bahrain-tidak menawarkan tempat untuk pengungsi Suriah," demikian pernyataan Amnesty International dalam situsnya. Lembaga ini membandingkannya dengan Libanon, yang hingga akhir tahun lalu sudah menerima 1,1 juta pengungsi, Turki sebanyak 1,6 juta, Yordania 618 ribu, Irak 225 ribu, dan Mesir sebanyak 142 ribu.

Pengungsi dari Suriah memang mengalir deras. Sebanyak empat juta warga negara itu meninggalkan kampung mereka akibat perang saudara sejak 2011. Perang ini merupakan akibat dari efek domino Revolusi Musim Semi Arab: rakyat Suriah memprotes Presiden Bashar al-Assad, tapi justru mendapat respons represif. Keadaan menjadi lebih buruk dengan masuknya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang menduduki wilayah timur. Di antara kemelut itu, sebenarnya negara-negara Teluk, langsung ataupun tak langsung, ikut campur dengan mendanai dan mempersenjatai milisi pemberontak melawan Assad.

Kritik atas bungkamnya negara-negara Teluk juga dilontarkan Bobby Ghosh, editor situs berita Quartz. Padahal, menurut dia, negara-negara Teluk sebenarnya lebih mampu menyambut pengungsi Suriah dibanding negara sekitarnya yang miskin. Sebab, mereka bisa membangun perumahan dengan cepat. "Perusahaan konstruksi raksasa yang mendirikan menara-menara berkilau di Dubai, Abu Dhabi, dan Riyadh harus dikontrak untuk membangun naungan pengungsi," katanya. Arab Saudi, yang biasa menerima jutaan anggota jemaah haji di Mekah, dianggap bisa menggunakan kapasitasnya untuk tujuan kemanusiaan.

Abdulkhaleq Abdulla, profesor dari United Arab Emirates University, mengungkapkan negara-negara Teluk ragu menerima pengungsi karena khawatir terhadap keamanan negara mereka. Negara-negara Teluk yang stabil tak mau mengambil risiko. "Kami tidak berpengalaman," ucapnya, seperti dilaporkan CNN, Selasa pekan lalu. Mereka khawatir pengungsi mengambil alih lapangan kerja.

Selain itu, negara-negara Teluk menganggap menerima warga Suriah yang kabur dari ISIS berarti mengikuti skenario kelompok yang dinilai radikal tersebut. "Ini akan makin memicu kekerasan di Suriah," ujar Abdulla.

Berbeda dengan negara-negara Eropa, negara-negara Teluk tak kenal istilah pengungsi. Mereka tak punya kebijakan yang berkaitan dengan pengungsi dan tak menandatangani konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1951 tentang pengungsi. Untuk masuk ke negara-negara Teluk, pengungsi harus mengajukan visa-yang jarang disetujui. Juru bicara Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi mengatakan ada 500 ribu orang Suriah di Arab Saudi, tapi tidak seluruhnya dikategorikan pengungsi. Tidak jelas pula kapan mereka bermigrasi ke sana.

Para pejabat negara-negara Teluk membela diri dengan dalih telah mengucurkan jutaan dolar kepada PBB untuk membantu pengungsi. UEA, misalnya, mengklaim sudah memberi US$ 530 juta, termasuk membiayai tenda pengungsi dan rumah sakit di Yordania. "Qatar sudah menyediakan lebih dari US$ 2 miliar untuk membantu rakyat Suriah sebagai tambahan US$ 106 juta yang disediakan institusi semi-pemerintah Qatar," kata diplomat Qatar yang tak disebut namanya oleh Times of India, Senin pekan lalu. Pada Mei, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud juga memerintahkan untuk membangun pusat bantuan kemanusiaan di Yaman.

Pengungsi Suriah sendiri merasa lebih nyaman di Eropa meski negara Arab punya budaya, bahasa, dan agama yang sama dengan mereka. Yassir Batal, 36 tahun, salah satu pengungsi Suriah, bercerita, di Eropa, dia bisa mendapat perawatan untuk penyakit polionya, menyekolahkan anak-anak, punya tempat bernaung, dan hidup bermartabat. "Negara Teluk menutup pintu untuk orang Suriah," ujarnya, seperti dikutip Bloomberg, Jumat dua pekan lalu.

Atmi Pertiwi (the Washington Post, Times Of India, Cnn)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus