Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajahnya tampak letih. Wanita berjilbab cokelat muda bernama Chayma Mehssen itu memperhatikan anak-anak yang asyik bercengkerama di Taman Maximilian, taman bermain yang kini menjadi lautan tenda warna-warni dan beragam ukuran.
Taman itu jadi tempat penampungan seribuan pengungsi yang terdampar di Brussel, Belgia. Para pengungsi pada umumnya disambut dengan hangat oleh warga kota. Sejak akhir Agustus mereka mulai berdatangan, baik dengan kereta api maupun bus. Taman di belakang stasiun kereta Noord ini kebetulan dekat dengan kantor Departemen Luar Negeri dan Imigrasi, tempat pengungsi mengurus surat-surat dan status suaka.
Taman yang awalnya hanya berisi beberapa puluh tenda kini hampir penuh. Hingga Kamis pekan lalu, sudah berdiri 325 tenda dengan kapasitas seribu pengungsi dan diperkirakan terus bertambah. Taman itu juga dilengkapi infrastruktur layaknya sebuah desa kecil: dapur umum, klinik, sistem sanitasi, sekolah darurat, dan segala hal untuk keperluan dasar pengungsi.
Di samping taman, berdiri tenda besar yang menampung pakaian bekas sumbangan warga setempat. Beberapa orang sibuk memilah-milah tumpukan pakaian yang jumlahnya terus bertambah setiap hari.
Chayma, 24 tahun, datang bersama suaminya, Shaker el-Mahmoud, 26 tahun, menuju tenda besar untuk mencari pakaian hangat dan sepatu buat menghadapi serangan dingin yang mulai memayungi kota sejak awal September.
Mereka berasal dari Mosul, Irak. Ketika Mosul jatuh ke tangan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sekitar Juni tahun lalu, Chayma dan Shaker terhindar dari malapetaka karena sedang berdagang di Bagdad. Tapi perang di Mosul membuat keluarga mereka tercerai-berai. "Menurut kabar, kakak lelaki saya tewas, tapi saya tidak pernah tahu pasti nasibnya," kata Chayma.
Chayma tidak berani pulang. Sedangkan keluarga Shaker sudah berpencar untuk mencari selamat. Pasangan yang baru menikah dua tahun itu akhirnya meninggalkan Irak pada Juli lalu.
Emirat Arab bukan pilihan buat mereka. "Lebih sulit masuk ke wilayah Emirat. Di sana kami hanya akan jadi budak dan kecil kemungkinan kami akan diterima menjadi warga negara. Uni Eropa menawarkan kemungkinan yang lebih baik," kata Chayma.
Seperti para pengungsi dari Timur Tengah lainnya, mereka melalui jalur Balkan dengan menyusup ke Turki, lalu naik kapal menuju Yunani, kemudian ke Makedonia, Serbia, dan Hungaria. "Hingga Hungaria, pada umumnya perjalanan kami mulus. Kami beruntung bertemu dengan petugas-petugas patroli yang masih punya belas kasihan dan membiarkan kami lewat," tutur Shaker.
Di Hungaria, mereka tertahan. "Di perbatasan Hungaria kami diperlakukan buruk sekali, sehingga kami kembali ke Serbia dan masuk ke Austria melalui Kroasia," kata Chayma.
Selama di perjalanan, jika beruntung, mereka bisa naik bus beramai-ramai. Kalau tidak, mereka berjalan kaki. "Apa pun kami lakukan untuk berlari sejauh-jauhnya dari Irak, dari konflik, dari perang," ujar Shaker.
Tujuan awal mereka adalah Jerman. Tapi, setiba mereka di Wina, Austria, uang menipis. "Bersama beberapa pengungsi lain, kami patungan menyewa bus dan akhirnya kami sampai di sini," kata Shaker.
Chayma dan Shaker sudah berada di jalan selama hampir dua bulan. "Saya akan tinggal di negara mana pun yang mau memberi kami suaka. Saya capek ketakutan terus. Saya hanya ingin menetap dengan damai tanpa rasa takut," ujar Shaker.
Meskipun sebagian besar pengungsi bisa bernapas lega karena sudah berada di Eropa, kekhawatiran masih mewarnai wajah mereka. Banyak yang enggan diajak berbicara dan sebagian lagi menolak dipotret. "Keluarga saya sebagian besar masih ada di Suriah. Jangan sampai pemberitaan media membahayakan kehidupan mereka yang sudah susah di sana," kata seorang pengungsi yang baru saja tiba bersama istri dan tiga anak yang masih bayi. Keluarga ini rencananya akan meminta suaka ke Belanda.
Asmayani Kusrini (belgia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo