EMOSI massa tak terbendung lagi. Mereka tak cuma mencoba memanjat dan melompati Tembok Berlin. Tapi, Jumat malam pekan lalu, sejumlah orang, dengan martil, tali, dan rantai, bahkan buldozer, menggempur tembok yang telah berdiri angker selama 28 tahun tersebut. Mereka membuat retakan di beberapa tempat, lalu dengan tali dan rantai menarik tembok. Tembok pun jebol, disertai sorak-sorai dan tepuk tangan. Sekali-sekali polisi Jerman Timur menyemprot mereka dengan air. Tapi insiden serius tak terjadi. Mereka, baik orang-orang Jerman Barat maupun Timur terus saja menggempur. "Runtuhkan, runtuhkan," teriak mereka. Beberapa orang membersihkan runtuhan dengan sekop. Dua hari sebelumnya, Kamis sore pekan lalu, sebuah keputusan bersejarah diumumkan oleh Pemerintah Jerman Timur. Yakni, rakyatnya boleh bepergian ke Jerman Barat lewat mana saja, termasuk lewat gerbang Tembok Berlin. Ini mengejutkah, bukan saja bagi Jerman Timur dan Barat, tapi dunia. "Inilah hari besar kebebasan," telepon PM Inggris Margaret Thatcher kepada Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl. Sementara itu, bagi rakyat Jerman Timur keputusan itu segera diterjemahkan dalam aksi yang nyata. Hanya dalam waktu beberapa jam, meski hari mulai gelap, ribuan orang menghambur ke jalan-jalan. Mereka bersorak, bergerak ke satu tujuan: Tembok Berlin sepanjang 45 km -- bagian dari 160 km tembok yang memisahkan Berlin Barat dan Jerman Timur -- yang selama 28 tahun memisahkan penduduk kota yang sebelumnya satu itu. Dan dalam waktu 24 jam, menurut catatan penjaga perbatasan, lebih dari 50.000 orang Jerman Timur melangkah ke Barat. Di dekat Gerbang Brandenburg -- monumen kemenangan yang dibangun pada 1791, persis di tengah kota lama -- sejumlah orang Jerman Timur berhasil membobol tembok. Segera para penjaga, yang rupanya belum menerima instruksi bahwa tembok boleh dibuka, menghambur dan mencoba menutupnya lagi. Perkelahian kecil terjadi antara penjaga -- yang terdiri dari tentara Jerman Timur dan Soviet -- dan mereka yang merayakan kebebasan. Lampu-lampu juru kamera televisi dari berbagai negara segera menyorot insiden ini. Untunglah, meski tembok ditutup lagi, perkelahian tak berlanjut. Suasana kegembiraan jalan terus. Maka, tak bisa disetop lagi, orang-orang itu, sebagian besar anak-anak muda yang belum dilahirkan ketika tembok didirikan, 1961, naik dan bertengger di tembok. Yang lain berputar-putar berdansa. Seorang bernama Jens Richter berteriak-teriak sambil melambai-lambaikan kartu biru yang di peroleh dari penjaga perbatasan, ketika ia melewati Check Point Charlie -- salah satu gerbang penjagaan di Berlin Barat di sektor Amerika. Dengan kartu sakti itu, bukan saja ia bebas melewati perbatasan, tapi juga ber hak menerima uang "selamat datang" 100 DM (Deutsche Mark) dari Jerman Barat yang nilainya sama dengan US$ 55 atau 1.000 DM Jerman Timur, dan naik kendaraan umum gratis. "Tak pernah kubayangkan aku bisa menyentuh tanah ini," katanya. Para polisi perbatasan cuma berdiri diam, kedua tangan ke belakang, mengawasi mereka yang mabuk kegembiraan. Seorang penjaga dalam seragam cokelat kehijauan menggerutu, "Gila. Ini tak mungkin terjadi kemarin." Susah ditebak, apakah ia senang, atau berang. Di sisi tembok bagian Barat, orang-orang menyambut saudara-saudara dari Timur dengan hadiah gratis minuman. Mereka bersiul, bertepuk, bersorak. Toko-toko, yang biasanya tutup pukul 6.30, Kamis itu buka sampai malam. Sejumlah remaja menari-nari mengikuti lagu rock The Wall dari Pink Floyd. Langit biru bersih, bulan bersinar terang, menambah semarak pesta kebebasan. Mungkin karena esoknya mereka harus masuk kerja, sekitar 90% yang pergi ke "wunderland", malam itu pula balik lagi. Tapi mulai Jumat sore, menjelang libur Sabtu dan Minggu, Berlin Barat berubah jadi sebuah teater happening mahabesar. Lihatlah, jalan-jalan di dekat perbatasan, antara lain di Kurfurstendamm -- pusat pertokoan, bank, restoran, bioskop, dan hiburan yang lain -- macet, trotoar penuh orang, sampai larut malam. "Toko dan bank sebaiknya buka terus, untuk membahagiakan orang-orang Jerman Timur," kata seorang pejabat kota. Biasanya, Sabtu toko hanya sampai pukul satu siang, dan Minggu tutup. Penjaga perbatasan tak menghitung lagi berapa orang Jerman Timur yang berlibur akhir pekan di Barat. Soalnya, bukan saja mereka datang dari Berlin Timur yang berpenduduk 1,2 juta, tapi juga dari kota-kota lain. Dan mereka tak cuma masuk dari Tembok Berlin, tapi juga dari perbatasan di sisi barat. Konon, akhir pekan yang tersepi terjadi di Jerman Timur pekan lalu. Komische Oper, grup opera ternama di Berlin Timur, yang malam itu akan mementaskan karya klasik terkenal, Swan Lake, membatalkan pertunjukannya. Sejumlah besar penarinya ikut jalan-jalan ke Barat. Di Berlin Commerzbank, tampak antrean panjang para tamu yang akan mengambil hadiah "selamat datang". Di Deutsche Bank tiba-tiba penjaga menutup pintunya. "Semua akan kebagian, tapi kami tak bisa menampung kalian semua sekaligus," teriaknya. Suatu hal yang sulit dibayangkan di Berlin Barat yang berpenduduk 1,8 juta, yang jumlah mobil dan panjang jalan sangat seimbang, bahwa jalan macet. Soalnya, tamu dari Timur tak cuma jalan kaki. Ada yang bersepeda, banyak yang membawa mobil Trabant dan Wertburg buatan Jerman Timur, atau Lada buatan Rusia. Ada juga yang mengklakson-klakson dari dalam Skoda, mobil buatan Cekoslovakia. Sejak Kamis malam itu, seolah-olah Kurfurstendamm menjadi promosi mobil Eropa Timur yang sederhana. Lalu lintas merangkak lambat. Jarak 1 km bisa ditempuh dalam sejam. Kegembiraan, kegembiraan, hanya itu yang terlihat di Berlin Barat pekan lalu. "Kami memperoleh 100 mark, anak saya juga," teriak Udo Sperling, 45 tahun, insinyur biokimia dari Dresden. Ia, Sabtu pagi pekan lalu, masuk ke Barat lewat gerbang baru -- direncanakan 10 gerbang baru dibuat dengan menjebol Tembok Berlin di beberapa tempat, untuk melayani turis-turis atau imigran dadakan ini. Udo, yang mengendarai Trabant 601S, merasa uang hadiah itu sungguh besar, karena itu ia tak merasa capek meski harus antre lima jam di loket bank. Di negerinya insinyur ini harus kerja sebulan untuk 1.700 mark (170 mark Jerman Barat). Trabantnya, seharga 11.000 mark, ia beli setelah menabung selama 15 tahun. "Frank, anak saya, mendadak ingin beli komputer," katanya. Ia lalu tertawa, "Tapi mana ada komputer berharga 100 mark, meski itu uang Berlin Barat." Toko-toko sepanjang Kurfurstendamm penuh sesak dengan orang-orang yang berpakaian lebih sederhana, lebih tak berwarna-warna dibandingkan dengan pakaian orang Jerman Barat. Beberapa toko lalu memasang penjaga -- bukan untuk mengusir tamu-tamu dadakan itu, tapi untuk mengatur luapan manusia. Tapi boleh dikata sebagian besar mereka cuma melihat-lihat sambil terkagum-kagum bertemu dengan televisi besar, komputer, mesin cuci, disc player yang harganya di luar jangkauan kantung mereka. "Saya merasa sangat miskin," kata Helga Grosser, wanita setengah baya, yang baru pertama kali ini menginjak belahan barat Berlin. Ia merasa negerinya telah 30 tahun bekerja keras, tahu-tahu yang di Barat melaju pesat. Ada sedikit kecemasan dalam wajah wanita ini. "Dulu, ketika belum ada tembok, orang-orang Berlin Barat pergi ke Timur bila hendak potong rambut atau mereparasikan sepatu, karena ongkosnya sangat murah," tuturnya. "Mudah-mudahan sekarang tak begitu, bisa merusak harga." Di rumah-rumah makan mereka pun memenuhi meja, memesan makanan mahal-mahal yang tak mereka jumpai di Timur. Tapi coba amati, wah, mereka pesan seporsi untuk dimakan ramai-ramai. Ini tentu bukan karena mereka ingin mempertahankan sosialisme, tapi semata saku yang terbatas. Di Postdamer, simpang jalan yang terkenal ramai sebelum perang, tembok dijebol selebar 15 meter. Di gerbang baru inilah Wali Kota Berlin Barat Walter Momper dan Berlin Timur Erhard Krack bertemu, Minggu pagi pekan lalu, persis di pertemuan Bellevuestrasse dari Barat dan Leipzigerstrasse dari Timur. Di situ, beberapa warga Berlin Barat menunggu dengan setumpuk cokelat dan gula-gula. Ia genggamkan hadiah itu kepada tiap anak Jerman Timur yang datang. Seorang polisi Jerman Timur matanya berkaca-kaca. Sebuah firma menyediakan karcis gratis bagi warga Jerman Timur untuk menghadiri pertunjukan Berlin Philharmonic, dan 10.000 tiket untuk nonton pertandingan bola. Tiba-tiba saja hampir semua orang Berlin Barat -- negeri berpendapatan nasional hampir US$ 900 milyar, sepuluh kali pendapatan nasional Jerman Timur -- jadi dermawan. Ada yang menyambut peristiwa bersejarah ini dengan caranya sendiri. Mstislav Rostroprovich, musikus Rusia yang terusir, Minggu kemarin, membawa selonya ke sisi tembok, dan memainkan sebuah sonata Bach. Malam itu temperatur cuma 11 derajat Celsius, cukup panas untuk tak usah memakai mantel. Di tempat-tempat menyeberang, begitu lampu hijau menyala, turis-turis dadakan bak air bah bergerak dari seberang ke sisi jalan yang lain, menyumbang kemacetan jalan. Di Bornholmerstrasse (Jalan Bornholmer), Jumat sore pekan lalu, barisan mobil balik ke Jerman Timur pun macet. Sepasang suami-istri muda dengan senang menjawab pertanyaan wartawan. "Hari ini memang gila," selonong suaminya. Ia tak menjawab ketika ada yang bertanya, bagaimana kira-kira hari depan Jerman Timur. Tapi soal tembok ia punya gagasan orisinil: "Runtuhkan saja, dan jual potongan batanya. Kami bisa membungkusnya dalam plastik, dan menjualnya ke Amerika sebagai suvenir. Jerman Timur sedang butuh uang." Benar, tampaknya Tembok Berlin hanya akan tinggal sebagai obyek turisme. Sabtu pekan lalu Kanselir Helmut Kohl berbicara lewat telepon dengan Sekjen Partai Persatuan Sosialis Jerman (SED) Egon Krenz. Kohl kepada wartawan mengatakan bahwa ia menyambut gembira keputusan Pemerintah Jerman Timur. Dan ia berjanji akan membantu pembangunan ekonominya. "Tugas kamilah membantu membangun kembali negara Anda," kata Kohl. Syaratnya, adakan pemilihan bebas. Menurut rencana, Kohl dan Krenz akan bertemu akhir bulan ini atau awal Desember nanti. Sementara itu, Krenz, yang melihat berduyunnya rakyatnya pergi ke Barat begitu tembok dibuka sebagai "pelajaran sejarah", menyerukan kepada rakyatnya agar memandang mereka yang di seberang perbatasan yang sensitif itu sebagai "tetangga yang penuh damai." Dan sungguh, karena imbauan Kohl atau bukan, Senin pekan ini pemilihan ketua parlemen Jerman Timur diselenggarakan dengan terbuka. Terpilih kemudian Guenther Maleuda, 58 tahun. Orang dari Partai Petani ini bukan baru di kursinya. Dua tahun lalu ia sudah duduk di ketua parlemen, tapi tetap saja tak banyak yang diketahui tentang dirinya. Tapi, adakah pesta ini tak akan berakhir? Menurut koresponden TEMPO, mulai Senin pekan ini arus manusia dari Timur sudah berkurang. Dan sementara itu dari Berlin Barat -- hanya di sinilah kegembiraan meluap, sementara di kota-kota lain di Jerman Barat tanggapan dibukanya Tembok Berlin biasa-biasa saja -- mulai muncul kritik dan kecemasan. Frau Kauffmann, 65 tahun, seorang ibu rumah tangga, tak suka melihat arus turis mendadak itu. "Mereka enak saja menerima 100 mark, padahal kami yang kerja keras," katanya kepada TEMPO. Suara lain mencemaskan bila imigran dari Jerman Timur makin membludak, apakah tak berarti akan merebut lapangan kerja. Memang, suara-suara itu untuk sementara masih tersisih oleh gegap-gempitanya mereka yang menyanyi di Tembok Berlin yang tak utuh lagi, "Runtuhkan tembok itu, runtuhkan bata itu...." Bambang Bujono (Jakarta), Asbari N. Krisna (Berlin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini