CERITA tentang penyerbuan ke Masjidil Haram di Mekah belum tamat
rupanya. Nasib kaum perusuh yang menduduki masjid itu selama
seminggu lebih itu sudah jelas. Para pelaku uramanya, sebanyak
63 orang, sudah dihukum mati dengan dipenggal. Itu terjadi 9
Januari lalu di berbagai kota di Arab Saudi. Sedang selebihnya,
yang terdiri dari wanita dan anak belasan tahun, hanya dihukum
penjara maksimum selama 2 tahun.
Juayman, pemimpin mereka, bersama-sama 14 orang lainnya dihukum
mati di depan salah satu pintu gerbang Masjidil Haram yang
disebut BabMalil Abdul Aziz. Eksekusi ini disaksikan
orang-orang yang kebetulan lewat di tempat itu. Entah kenapa
pelaksanaan hukuman mati kali ini berbeda dengan sebelumnya. Tak
ada pengumuman baik melalui teve maupun masjid-masjid. Tapi
ketika pelaksanaan itu berlangsung, dikabarkan hampir semua
orang yang menyaksikan bertepuk tangan bila setiap seorang
terhukum selesai dipenggal lehernya.
Mengapa Prancis?
Bergembirakah orang bahwa perkara ini sudah selesai -- dan
kekuasaan kerajaan berhasil mengatasi suatu onar yang
menggegerkan dunia?
Mungkin. Namun majalah Le Point yang terbit di Paris baru-baru
ini mengungkapkan bahwa keberhasilan tentara Saudi membebaskan
Baitullah itu karena adanya bantuan kelompok antiteroris
Prancis. Dalam edisinya awal Februari, majalah itu membeberkan
bahwa Raja Khalid -- melalui suatu kontak rahasia -- meminta
bantuan Kepada Presiden Vallery Giscard d'Estaing. Rupanya
tentara Saudi diakui tak berdaya dalam mengatasi kaum perusuh
itu.
Semula, begitu versi Le Point, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi,
Nayef bin Abdul Azis, sudah memutuskan untuk mengerahkan tentara
pilihan. Dan ini dicobakan pada hari pertama pendudukan Masjidil
Haram, 21 November 1979. Walaupun dengan semangat memerangi kaum
pendurhaka agama, prajurit Saudi itu ternyata kurang ampuh
menghadapi 1500 orang kaum pelawan yang kelihatannya cukup
terlatih.
Apalagi kerusuhan juga timbul di beberapa kota. Juga di Riyadh,
begitu Le Point, sebuah bom telah meledak di Istana Kerajaan.
Menurut versi ini, kaum pelawan itu sengaja menyerbu Baitullah
dengan maksud agar tentara kerajaan terpusat perhatiannya --
hingga kerusuhan yang berlangsung di tempat-tempat lain berjalan
baik.
Setelah Menteri Dalam Negeri mengumumkan kepada para jamaah haji
agar menjauhi masjid itu, pasukan Saudi pun mencoba memasuki
lantai bawah tanah tempat kaum perusuh bersembunyi. Mereka
membutuhkan waktu 5 hari memasuki tempat itu. Juga tak efektif.
Melihat keadaan itu pemerintah Saudi memutuskan untuk meminta
bantuan dari luar negeri. Mengapa Prancis? Penguasa di Saudi
rupanya sadar bahwa mereka tak bisa mengharapkan Amerika Serikat
yang sedang sibuh menghadapi masalah sandera di Teheran. Di
Riyadh tersebar desas-desus bahwa Mendagri Nayef bin Abdul Ais
sudah lama menjalin huhungan baik dengan Alexandre de Merenches,
Kepala Intelijen Prancis.
23 November, lima orang ahli dari grup hala bantuan Korps Polisi
Militer (GIGN) bertolak menuju Mekah. Mereka ini bcrtugas untuk
mengatur dan memimpin penyerbuan 3.000 orang tentara Saudi.
Ketika mereka memberikan penjelasan kepada penguasa Saudi
tentang bagaimana cara-cara operasi akan dilakukan, kata sumber
Le Point, banyak di antara yang hadir "gemeletuk giginya."
Mungkin karena mendengarkan betapa ngerinya cara yang akan
ditempuh pasukan itu untuk membebaskan Masjidil Haram.
Tanggal 2 Desember, sebuah pesawat Prancis yang membawa tabung
bahan peledak dan peluru tiba di Mekah setelah tertunda di
Suriah selama beberapa jam. Setibanya di Mekah grup anti teroris
ini mulai melancarkan serangannya ke arah perusuh. Keesokan
harinya tentara Saudi memblokade Mekah dan anggota Korps Polisi
Militer itu kembali ke Paris. Menurut versi Le Point ini akibat
kerusuhan itu 5.000 orang mati terbunuh. Ini jumlah yang teramat
besar -- bila dibandingkan dengan pemberitaan pers lain, yang
rata-rata menyebut angka 500 atau 600 orang.
Benarkah semua cerita ini? Sampai penerbitan berikutnya (10
Februari), Le Point menuliskan lagi sebuah artikel tentang tak
adanya bantahan, baik dari Pemerintah Prancis maupun dari
Pemerintah Arab Saudi. Hanya dari Kedutaan besar Arab Saudi di
Paris ada pernyataan: "Tak satu kekuatan asing pun yang ambil
bagian dalam usaha tentara Saudi nlengusir perusuh-perusuh-dari
Masjidil Haram." Sebab, begitu bunyi pernyataan itu, pintu-pintu
ke Kota Mekah hanya terbuka bagi kaum muslimin.
Menanggapi pernyataan ini, Le Point rupanya perlu menegaskan:
majalah ini tak pernah menyebut bahwa orang-orang Prancis itu
ikut ambil bagian dalam penyerbuan ke masjid. Yang disebut ialah
bahwa mereka hanya menyusun rencana dan melatih tentara Saudi.
Dan Le Point sekali lagi menjamin kebenaran berita-berita yang
dikumpulkannya itu. Lalu majalah itupun mencoba menyimpulkan,
"jika Raja Khalid sampai memutuskan untuk mengundang bantuan
dari luar, artinya ada usaha untuk mendirikan sebuah Republik
Islam di Arab Saudi."
Menurut Le Point, Raja sengaja tidak mengerahkan seluruh
kekuatan militernya ke Mekah, demi menyelamatkan tahtanya.
Laporan Le Point itu ditulis oleh korespondennya, Jean-Michel
Gourevitch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini