Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

"The French connection"

Kelompok anti teroris Prancis yang merencanakan dan melatih tentara Saudi untuk membebaskan Masjidil Haram. (ln)

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA tentang penyerbuan ke Masjidil Haram di Mekah belum tamat rupanya. Nasib kaum perusuh yang menduduki masjid itu selama seminggu lebih itu sudah jelas. Para pelaku uramanya, sebanyak 63 orang, sudah dihukum mati dengan dipenggal. Itu terjadi 9 Januari lalu di berbagai kota di Arab Saudi. Sedang selebihnya, yang terdiri dari wanita dan anak belasan tahun, hanya dihukum penjara maksimum selama 2 tahun. Juayman, pemimpin mereka, bersama-sama 14 orang lainnya dihukum mati di depan salah satu pintu gerbang Masjidil Haram yang disebut BabMalil Abdul Aziz. Eksekusi ini disaksikan orang-orang yang kebetulan lewat di tempat itu. Entah kenapa pelaksanaan hukuman mati kali ini berbeda dengan sebelumnya. Tak ada pengumuman baik melalui teve maupun masjid-masjid. Tapi ketika pelaksanaan itu berlangsung, dikabarkan hampir semua orang yang menyaksikan bertepuk tangan bila setiap seorang terhukum selesai dipenggal lehernya. Mengapa Prancis? Bergembirakah orang bahwa perkara ini sudah selesai -- dan kekuasaan kerajaan berhasil mengatasi suatu onar yang menggegerkan dunia? Mungkin. Namun majalah Le Point yang terbit di Paris baru-baru ini mengungkapkan bahwa keberhasilan tentara Saudi membebaskan Baitullah itu karena adanya bantuan kelompok antiteroris Prancis. Dalam edisinya awal Februari, majalah itu membeberkan bahwa Raja Khalid -- melalui suatu kontak rahasia -- meminta bantuan Kepada Presiden Vallery Giscard d'Estaing. Rupanya tentara Saudi diakui tak berdaya dalam mengatasi kaum perusuh itu. Semula, begitu versi Le Point, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Nayef bin Abdul Azis, sudah memutuskan untuk mengerahkan tentara pilihan. Dan ini dicobakan pada hari pertama pendudukan Masjidil Haram, 21 November 1979. Walaupun dengan semangat memerangi kaum pendurhaka agama, prajurit Saudi itu ternyata kurang ampuh menghadapi 1500 orang kaum pelawan yang kelihatannya cukup terlatih. Apalagi kerusuhan juga timbul di beberapa kota. Juga di Riyadh, begitu Le Point, sebuah bom telah meledak di Istana Kerajaan. Menurut versi ini, kaum pelawan itu sengaja menyerbu Baitullah dengan maksud agar tentara kerajaan terpusat perhatiannya -- hingga kerusuhan yang berlangsung di tempat-tempat lain berjalan baik. Setelah Menteri Dalam Negeri mengumumkan kepada para jamaah haji agar menjauhi masjid itu, pasukan Saudi pun mencoba memasuki lantai bawah tanah tempat kaum perusuh bersembunyi. Mereka membutuhkan waktu 5 hari memasuki tempat itu. Juga tak efektif. Melihat keadaan itu pemerintah Saudi memutuskan untuk meminta bantuan dari luar negeri. Mengapa Prancis? Penguasa di Saudi rupanya sadar bahwa mereka tak bisa mengharapkan Amerika Serikat yang sedang sibuh menghadapi masalah sandera di Teheran. Di Riyadh tersebar desas-desus bahwa Mendagri Nayef bin Abdul Ais sudah lama menjalin huhungan baik dengan Alexandre de Merenches, Kepala Intelijen Prancis. 23 November, lima orang ahli dari grup hala bantuan Korps Polisi Militer (GIGN) bertolak menuju Mekah. Mereka ini bcrtugas untuk mengatur dan memimpin penyerbuan 3.000 orang tentara Saudi. Ketika mereka memberikan penjelasan kepada penguasa Saudi tentang bagaimana cara-cara operasi akan dilakukan, kata sumber Le Point, banyak di antara yang hadir "gemeletuk giginya." Mungkin karena mendengarkan betapa ngerinya cara yang akan ditempuh pasukan itu untuk membebaskan Masjidil Haram. Tanggal 2 Desember, sebuah pesawat Prancis yang membawa tabung bahan peledak dan peluru tiba di Mekah setelah tertunda di Suriah selama beberapa jam. Setibanya di Mekah grup anti teroris ini mulai melancarkan serangannya ke arah perusuh. Keesokan harinya tentara Saudi memblokade Mekah dan anggota Korps Polisi Militer itu kembali ke Paris. Menurut versi Le Point ini akibat kerusuhan itu 5.000 orang mati terbunuh. Ini jumlah yang teramat besar -- bila dibandingkan dengan pemberitaan pers lain, yang rata-rata menyebut angka 500 atau 600 orang. Benarkah semua cerita ini? Sampai penerbitan berikutnya (10 Februari), Le Point menuliskan lagi sebuah artikel tentang tak adanya bantahan, baik dari Pemerintah Prancis maupun dari Pemerintah Arab Saudi. Hanya dari Kedutaan besar Arab Saudi di Paris ada pernyataan: "Tak satu kekuatan asing pun yang ambil bagian dalam usaha tentara Saudi nlengusir perusuh-perusuh-dari Masjidil Haram." Sebab, begitu bunyi pernyataan itu, pintu-pintu ke Kota Mekah hanya terbuka bagi kaum muslimin. Menanggapi pernyataan ini, Le Point rupanya perlu menegaskan: majalah ini tak pernah menyebut bahwa orang-orang Prancis itu ikut ambil bagian dalam penyerbuan ke masjid. Yang disebut ialah bahwa mereka hanya menyusun rencana dan melatih tentara Saudi. Dan Le Point sekali lagi menjamin kebenaran berita-berita yang dikumpulkannya itu. Lalu majalah itupun mencoba menyimpulkan, "jika Raja Khalid sampai memutuskan untuk mengundang bantuan dari luar, artinya ada usaha untuk mendirikan sebuah Republik Islam di Arab Saudi." Menurut Le Point, Raja sengaja tidak mengerahkan seluruh kekuatan militernya ke Mekah, demi menyelamatkan tahtanya. Laporan Le Point itu ditulis oleh korespondennya, Jean-Michel Gourevitch.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus