Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik orang-orang bosan

Kelompok jazz dari berlin mengisi acara di tim. dengan gaya yang terasa ganjil dan ciri permainan solo berganti-ganti.

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA menyebut dirinya 'jazz bebas'. Berkelompok berdiri ogah-ogahan, berpakaian lusuh, kelima belas musisi jazz berasal dari berbagai negara itu nampaknya memang tidak sedang mengadakan pertunjukan. Mereka seperti sedang mencoba-coba dram, saxofon, selo atau piano. Itulah Globe Unity Orchestra dari irlin. Dua malam berturut-turut, 12 & 13 Februari lalu, kelompok itu mengisi acara Taman Ismail Marzuki di Teater Terbuka -- dengan gaya dan jenis yang agaknya tak begitu hangat bagi sekitar seribu penonton. Bahkan di malam kedua banyak penonton, setengah bergurau setengah kesal, bertanya: "Mereka ini sudah main apa belum, sih." Mula-mula sebuah intro yang bersemangat. Suara gagah dari trombon dan trompet, ditegaskan dengan lenguhan tuba. Dan menyeruak ke tengah suaras suara instrumen tiup adalah derap tambur dan suara gemerincing simbal. Lantas serak selo diam-diam menyelusup, disusul dentingan piano. Tapi selanjutnya, permainan sepertinya tak terbentuk dari intro ini. Tiga belas orang itu tiba-tiba menghentikan permainan. Hanya tinggal suara dram berdialog dengan selo. Dan di panggung, gaya kedua musisi yang tengah asyik itu terasa ganjil seperti orang yang tak tahu bagaimana memainkan alat. Pada bagian-bagian tertentu, derap tambur mengejutkan: seperti kebetulan kena pukul. Efeknya: komposisi, yang sama sekali tidak teringat pada melodi, seperti disengaja menggelitik perut untuk memancing tawa. Kesemua nomor yang disuguhkan memang begitu dengan permainan solo berganti-ganti. Konon memang itulah ciri kelompok ini: memberi kesempatan pada permainan tunggal semua pemain, dan tak memberi kesempatan pada estetika yang telah mapan. "Kami bosan dengan cara-cara lama. Kami ingin meninggalkan jazz konvensional," kata pianis Alex von Schlippenbach, pendiri. Yang diimpikannya, kata pianis itu: "Sebuah jazz bebas yang terbaik. Artinya "sepenuhnya tanpa harmoni, aransemen, dan tanpa komposisi . . . " Memenuhi permintaan satu pemancar radio di Berlin, 1966 Schlippenbach berhasil mengumpulkan 14 musisi jazz dari Belanda, Britania Raya dan Jerman Barat sendiri. Mereka mengandalkan permainan perseorangan, dan "walau dengan partitur tapi 80% improvisasi." Dengan demikian kualitas setiap pertunjukan sedikit banyak tergantung situasi dan kondisi. Seperti malam pertama di Jakarta itu, diakuinya sebagai permainan yang kurang memuaskan. Kecuali hampir tak ada waktu istirahat (mereka datang dari Bandung sudah pukul 17.00), pada pukul 20.00 (saat pertunjukan harus dimulai), semua orang masih bingung: dramnya ternyata belum ada. "Banyak musisi yang agak grogi malam itu," katanya kepada TEMPO. Si Orang Tua Di malam kedua mereka memang lebih baik. Setelah sebuah intro permainan bersama, muncul saxofon tunggal merengek-rengek -- bagai suara sejumlah trompet kertas di malam tahun baru. Lantas kembali lagi permainan bersama. Dan perpaduan 15 instrumen itu memang memberikan satu musik yang aneh. Seperti ada irama yang terhenti di tengah jalan. Ada suara piano yang menyelonong. Ada saat yang kosong, karena pemukul dram (sengaja, tentu) luput memukul tambur. Juga si pemetik bas sangat sering tak memetik senar-senar basnya -- hanya menepuk-nepuk. Bagi sebagian penonton, itu semua terdengar lucu. Mereka -- meski kadang terdengar mengeluh jengkel -- tertawa. Ada juga tepuk tangan, meski beberapa orang meninggalkan Teater Terbuka sebelum usai. Musik memang dibentuk oleh bunyi. Dan jazz ini -- bukan satu-satunya -- adalah yang mencoba memberikan bunyi sebagai bunyi. Terdengar suara sax seperti bunyi trompet kapal tua. Selo bagaikan dengkur pekerja yang sedang ngorok. Dram mengeluarkan suara-suara sebuah pabrik panci. Lihat juga gaya mereka. Penggesek selo menggedruk-gedrukkan kedua kaki, menggoyang-goyangkan tubuh dan kepala bagaikan orang mabuk, sementara tangannya bagai orang diserang demam. Teman-temannya menyebut pemain ini "pemain setan yang sebenarnya." Kelompok ini memang memenuhi selera mereka yang bosan musik rapi dan komposisi besar, apa lagi yang disebut klasik. Bahkan jazz Hannibal yang baruan di Jakarta juga yang kadang si peniup trompet itu jongkok atau turun ke penonton di tengah permainan, terasa jauh lebih sopan. Adakah Globe Unity Orchestra (yang sudah punya 9 piringan hitam, salah satunya berjudul Si Orang Tua yang Memecakan Kesunyiannya), memang sengaja mengejek? "Mungkin saja kelihatan mengejek. Tapi bukan keinginan kita. Kami memang tidak suka pada yang formal. Saya sendiri tidak bisa main piano dengan duduk berpakaian rapi," kata Alex Schlippenbach kepada TEMPO. Jadi semua keanehan itu "demi tercapainya permainan improvisasi yang padu," tambahnya. Dan tentang musik humor itu, katanya: "Kalau pendengar merasakan begitu, wah, itu bagus sekali." Dia pun tertawa -- dan tampak merasa aneh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus