MEREKA menyebut dirinya 'jazz bebas'. Berkelompok berdiri
ogah-ogahan, berpakaian lusuh, kelima belas musisi jazz berasal
dari berbagai negara itu nampaknya memang tidak sedang
mengadakan pertunjukan. Mereka seperti sedang mencoba-coba dram,
saxofon, selo atau piano.
Itulah Globe Unity Orchestra dari irlin. Dua malam
berturut-turut, 12 & 13 Februari lalu, kelompok itu mengisi
acara Taman Ismail Marzuki di Teater Terbuka -- dengan gaya dan
jenis yang agaknya tak begitu hangat bagi sekitar seribu
penonton. Bahkan di malam kedua banyak penonton, setengah
bergurau setengah kesal, bertanya: "Mereka ini sudah main apa
belum, sih."
Mula-mula sebuah intro yang bersemangat. Suara gagah dari
trombon dan trompet, ditegaskan dengan lenguhan tuba. Dan
menyeruak ke tengah suaras suara instrumen tiup adalah derap
tambur dan suara gemerincing simbal. Lantas serak selo diam-diam
menyelusup, disusul dentingan piano. Tapi selanjutnya, permainan
sepertinya tak terbentuk dari intro ini.
Tiga belas orang itu tiba-tiba menghentikan permainan. Hanya
tinggal suara dram berdialog dengan selo. Dan di panggung, gaya
kedua musisi yang tengah asyik itu terasa ganjil seperti orang
yang tak tahu bagaimana memainkan alat. Pada bagian-bagian
tertentu, derap tambur mengejutkan: seperti kebetulan kena
pukul. Efeknya: komposisi, yang sama sekali tidak teringat pada
melodi, seperti disengaja menggelitik perut untuk memancing
tawa.
Kesemua nomor yang disuguhkan memang begitu dengan permainan
solo berganti-ganti. Konon memang itulah ciri kelompok ini:
memberi kesempatan pada permainan tunggal semua pemain, dan tak
memberi kesempatan pada estetika yang telah mapan.
"Kami bosan dengan cara-cara lama. Kami ingin meninggalkan jazz
konvensional," kata pianis Alex von Schlippenbach, pendiri. Yang
diimpikannya, kata pianis itu: "Sebuah jazz bebas yang terbaik.
Artinya "sepenuhnya tanpa harmoni, aransemen, dan tanpa
komposisi . . . "
Memenuhi permintaan satu pemancar radio di Berlin, 1966
Schlippenbach berhasil mengumpulkan 14 musisi jazz dari Belanda,
Britania Raya dan Jerman Barat sendiri. Mereka mengandalkan
permainan perseorangan, dan "walau dengan partitur tapi 80%
improvisasi." Dengan demikian kualitas setiap pertunjukan
sedikit banyak tergantung situasi dan kondisi. Seperti malam
pertama di Jakarta itu, diakuinya sebagai permainan yang kurang
memuaskan. Kecuali hampir tak ada waktu istirahat (mereka datang
dari Bandung sudah pukul 17.00), pada pukul 20.00 (saat
pertunjukan harus dimulai), semua orang masih bingung: dramnya
ternyata belum ada. "Banyak musisi yang agak grogi malam itu,"
katanya kepada TEMPO.
Si Orang Tua
Di malam kedua mereka memang lebih baik. Setelah sebuah intro
permainan bersama, muncul saxofon tunggal merengek-rengek --
bagai suara sejumlah trompet kertas di malam tahun baru. Lantas
kembali lagi permainan bersama. Dan perpaduan 15 instrumen itu
memang memberikan satu musik yang aneh. Seperti ada irama yang
terhenti di tengah jalan. Ada suara piano yang menyelonong. Ada
saat yang kosong, karena pemukul dram (sengaja, tentu) luput
memukul tambur. Juga si pemetik bas sangat sering tak memetik
senar-senar basnya -- hanya menepuk-nepuk.
Bagi sebagian penonton, itu semua terdengar lucu. Mereka --
meski kadang terdengar mengeluh jengkel -- tertawa. Ada juga
tepuk tangan, meski beberapa orang meninggalkan Teater Terbuka
sebelum usai.
Musik memang dibentuk oleh bunyi. Dan jazz ini -- bukan
satu-satunya -- adalah yang mencoba memberikan bunyi sebagai
bunyi. Terdengar suara sax seperti bunyi trompet kapal tua. Selo
bagaikan dengkur pekerja yang sedang ngorok. Dram mengeluarkan
suara-suara sebuah pabrik panci.
Lihat juga gaya mereka. Penggesek selo menggedruk-gedrukkan
kedua kaki, menggoyang-goyangkan tubuh dan kepala bagaikan orang
mabuk, sementara tangannya bagai orang diserang demam.
Teman-temannya menyebut pemain ini "pemain setan yang
sebenarnya."
Kelompok ini memang memenuhi selera mereka yang bosan musik rapi
dan komposisi besar, apa lagi yang disebut klasik. Bahkan jazz
Hannibal yang baruan di Jakarta juga yang kadang si peniup
trompet itu jongkok atau turun ke penonton di tengah permainan,
terasa jauh lebih sopan.
Adakah Globe Unity Orchestra (yang sudah punya 9 piringan hitam,
salah satunya berjudul Si Orang Tua yang Memecakan
Kesunyiannya), memang sengaja mengejek? "Mungkin saja kelihatan
mengejek. Tapi bukan keinginan kita. Kami memang tidak suka pada
yang formal. Saya sendiri tidak bisa main piano dengan duduk
berpakaian rapi," kata Alex Schlippenbach kepada TEMPO. Jadi
semua keanehan itu "demi tercapainya permainan improvisasi yang
padu," tambahnya.
Dan tentang musik humor itu, katanya: "Kalau pendengar merasakan
begitu, wah, itu bagus sekali." Dia pun tertawa -- dan tampak
merasa aneh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini