DI sebuah balai pengobatan jauh dari Kota Malang, seorang dokter
berhadapan dengan anak yang kurus kering. Anak itu disiksa
infeksi yang menyerang perutnya. Di dalam kotak obat, dokter
yang masih muda itu hanya menemukan tetrasiklin dari hampir 30
macam antibiotika yang ia ketahui. Tak ada pilihan lain,
akhirnya ia berikan juga obat itu. Sekalipun ia tahu tetrasiklin
akan mengganggu pertumbuhan tulang dan gigi anak yang
menyerahkan diri padanya.
Penggunaan tetrasiklin sampai awal 1977 masih menonjol.
Jangankan di desa terpencil, di Jakarta sekalipun obat bisa
membawa efek jelek itu masih juga digunakan dokter. Padahal
sudah sejak 20 tahun diketahui efek sampingnya terganggunya
pertumbuhan tulang dan gigi.
Sebuah survei yang dilakukan Freddy Wilmana dan kawan-kawan dari
Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta, mencatat tetrasiklin mengambil
bagian 60% dari seluruh resep antibiotika yang dituliskan dokter
umum.
Obat ini digunakan untuk menyembuhkan infeksi akibat serangan
kuman, seperti tifus. Tetapi ada juga dokter yang menggunakannya
untuk mengatasi jerawat. Untuk infeksi, tetrasiklin memang
ampuh, cuma dia juga melakukan pekerjaan yang tercemar, seperti
mengikat zat kapur dalam tubuh sehingga mengganggu pembentukan
tulang. Akibatnya gigi bisa berwarna kuning dan sulit hilang.
Jika diberikan pada ibu yang sedang mengandung obat ini bisa
menembus ari-ari dan mengganggu janin di situ. Setelah lahir
bayi menderita kelainan kerangka tubuh dan pertumbuhan tulangnya
terhambat. Gigi-susunya pun bisa mandek tak tumbuh.
Penggunaan tetrasiklin banyak berkurang sejak awal 1970-an.
"Penderita kolera seringkali tidak perlu mendapat tetrasiklin.
Sebab pada waktu itu pengobatan kolera dengan rehidrasi
berkembang dengan meyakinkan," kata dr. W.A.F.J. Tumbelaka,
kepala bagian anak RSCM, Jakarta. Dia menceritakan tetrasiklin
ini mungkin masih banyak dipergunakan di daerah terpencil.
Dokter di sana terpaksa menggunakannya, karena kabarnya cuma
itlah obat antibiotika yang tersedia.
Embrio
Di kota-kota besar para dokter yang bijaksana tidak lagi
menuliskan obat ini untuk pasien mereka. Ahli kandungan
terutama. "Karena masib banyak jenis antibiotika, tetrasiklin
dan sebangsanya sudah tidak diberikan lagi kepada ibu yang
sedang hamil," kata Dr. Sudraji Sumapraja yang mengepalai
sub-bagian kandungan dan reproduksi manusia, RSCM.
Menurut Sudraji pemilihan obat yang tepat untuk wanita hamil
sangat penting demi kesehatan dan kesejahteraan bayinya di
kemudian hari. Karena anggota tubuh embrio manusia ada saatnya
sangat peka terhadap bahan teratogenik (yang dapat menimbulkan
cacat). Umpamanya pada embrio umur 15 - 25 hari peka terhadap
terjadinya cacat syaraf, 24 - 30 hari peka untuk mata, 24 - 36
hari peka untuk kaki, 20 - 40 hari peka untuk jantung. "Sejauh
yang diketahui sampai sekarang setiap obat yang diberikan kepada
ibu hamil akan sampai juga kepada embrio. Tidak peduli berapa
dosis obat itu atau umur kehamilannya," sambungnya.
Obat-obat lain yang kini dilarang pemakaiannya oleh wanita hamil
adalah Thalidomide, Erometrine, Warfarin, Dietilstibestrol dan
hormon penguji kehamilan (dulu merknya Duogynon). Vaksin-vaksin
yang mengandung virus hidup, karena mudah melewati ari-ari dan
menyergap janin, juga dilarang.
Tablet hormon untuk menguji kehamilan di Indonesia ini masih
dipergunakan. Beberapa negara di Eropa sudah melarangnya.
Singapura juga melarang pemakaian obat ini. Tempo hari tablet
hormon yang beredar di sini menggunakan nama Duogynon. Tapi
begitu Eropa heboh mengenai efek samping obat ini yang bisa
mengakibatkan cacat bawaan, P.T. Schering Indonesia yang
memproduksi obat tersebut di sini, buru-buru menyebarkan surat
kepada para dokter bahwa obat itu sudah tidak dibuat lagi.
Kemudian diperkenalkan obat yang bernama Cumorit dengan unsur
hormon yang sebenarnya sama saja. "Duogynon sudah terjual habis,
sekarang yang dibuat hanya Cumorit," kata seorang staf dari
Schering Indonesia minggu lalu.
Iwan Sendiri
Tablet hormon ini digunakan secara salah oleh sebagian dokter.
Menurut Sudraji wanita yang resah karena haidnya tak kunjung
datang akan mengadukan keluhannya kepada dokter. Biasanya dokter
akan memberikan 2 tablet pil hormon dengan penjelasan: "Kalau
haid datang ibu pasti tidak hamil. Tapi kalau tidak datang
seminggu setelah makan 2 tablet ini, kemungkinan besar ibu
hamil."
Wanita yang mengharapkan dengan memakan tablet hormon itu akan
"menggugurkan " kehamilan sebenarnya meletakkan harapan yang
salah. "Karena suatu kehamilan tidak dapat digugurkan dengan 2
tablet hormon. Lagi pula kalau ingin mengetahui apakah seorang
ibu hamil, tunggu saja beberapa hari lagi. Periksa air
kencingnya. Hamil atau tidak pasti akan diketahui," kata
Sudradji pula.
Bagaimana efek samping sesuatu obat secara spesifik mempengaruhi
orang di sini? Sejak 1975 -- selama 3 tahun -- monitoring
obat-obatan yang dipimpin dr. Iwan Darmansjah, kepala bagian
farmakologi FKUI telah memberikan sumbangan yang memadai untuk
para dokter dan masyarakat luas. Usaha yang baik ini kemudian
"diambil-alih" direktorat jenderal pengawasan obat dan makanan
Depkes tahun 1978.
Tapi sayang, sampai sekarang monitoring boleh dikatakan
terhenti. Pencetakan formulir yang akan disampaikan kepada
dokter-dokter saja tak bisa dilakukan, kata sebuah sumber.
"Kalau sampai bulan April mendatang tidak ada kejelasan mengenai
pekerjaan panitia monitoring itu, saya akan kembali
mengerjakannya sendiri," Iwan Darmansjah bertekad.
Untuk tekad itu Iwan harus berhadapan dengan kesulitan
pembiayaan. Satu tahun ia membutuhkan hanya sekitar Rp 3 juta
untuk mengamati pengaruh pemakaian obat-obatan di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini