TEHERAN kembali dilanda demonstrasi besar. Sekali ini anti
Saudi sifatnya Lebih 200 ribu orang turun ke jalan -- memenuhi
anjuran Ayatullah Hussein Ali Montazeri, Imam sembahyang umat
di Qom -- menuju Universitas Teheran. Mereka mengacung-acungkan
berbagai slogan yang tidak bersahabat. Mereka antara lain
menyerukan "hukuman mati" bagi Pemimpin PLO (Organisasi
Pembebasan Palestina) Yasser Arafat. Dia rupanya dimusuhi karena
mendukung rencana perdamaian di Timur Tengah yang diusulkan
Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Fahd.
Demonstrasi besar pekan lalu itu seolah mencerminkan sikap
pemerintah Iran kini. Sebelumnya, PM Iran Hussein Mousavi
mengecam Arafat sebagai "pemimpin Palestina yang tengah memasang
perangkap sendiri" dengan menggantungkan nasibnya pada "rezim
(Saudi yang) reaksioner". Selain dari Libya, PLO memang sudah
sejak lama mendapat bantuan keuangan Saudi.
Arafat menganggap usul delapan butir Pangeran Fahd itu sebagai
"permulaan yang baik". Fahd dalam dokumen 22 halaman yang
diumumkan 7 Agustus antara lain mengusulkan agar Israel mundur
dari seluruh daerah Arab yang didudukinya sejak Perang 1967.
Termasuk kawasan Tepi Barat Sungai Jordan, jalur Gaza, dan
Dataran Tinggi Golan. Di situ, ia juga mengusulkan pembentukan
negara Palestina merdeka dengan ibukota Jerusalem Timur, dan
mengakui hak hidup semua negara di kawasan tersebut.
Secara tersirat usul Fahd itu juga mengakui hak hidup
(eksistensi) Israel sebagai sebuah negara berdaulat penuh.
Anggota Liga Arab berhaluan keras seperti Libya, Suriah, dan
'Yaman Selatan -- menganggap usul itu suatu pengkhianatan. Sebab
selama ini mereka tak pernah mau mengakui hak hidup Israel.
Liga- Arab -- beranggotakan 23 negara -- berkonperensi di Fez,
Maroko pekan ini membahas usul Fahd tadi. Diduga akan timbul
perpecahan di kalangan bangsa Arab karenanya.
Pemimpin Libya Kolonel Muammar Qaddafi, seperti dikutip KeMter,
menyatakan ia tak akan menghadiri Pertemuan Puncak di Eez itu.
Alasannya ialah "rakyat Arab belum memberikan mandat pada
pertemuan itu membicarakan usul (Fahd) dan mengakui musuh
(Israel)." Dan Kantor Berita Libya, Lana, menganggap usul Saudi
itu satu "bagian dari rencana (terselubung) AS." Sementara itu
PM Suriah Abdul Rauf Kasim mengkritiknya Rencana itu "tidak
efektif," katanya. Tapi Presiden Suriah Hafez Assad dikabarkan
menaruh perhatian terhadap usul tadi.
Akankah sikap keras Kolonel Qaddafi mendapat dukungan? Belum
jelas. Tapi para pemimpin Dewan Kerjasama Negara Teluk (GCC) --
Oman, Qatar, Persatuan Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, dan Saudi -
dalam pertemuan pekan lalu menyatakan mereka mendukung usul
perdamaian ahad.
Dalam upaya melunakkan anggota Liga Arab perhaluan keras, Saudi
mulai memainkan kartu Soviet. Riyadh menyatakan pekan lalu bahwa
pada prinsipnya Saudi bersedia membuka hubungan diplomatik
dengan Uni Soviet pada waktu yang tepat. Keinginan Saudi itu ka
barnya sudah disampaikan Arafat ketik. pemimpin PLO itu
berkunjung ke Moskow.
Ayatullah Khomeini, menjelang demonstrasi besar di Teheran tadi,
menila rencana perdamaian Fahd itu "tidak konsisten dengan
Islam." Rencana tersebut justru akan menempatkan Israel sebagai
majikan dunia Arab dan Islam, demikian Khomeini. Segera radio
pemerintah Saudi membalas dan menyebut tokoh seperti Khomeini
sedang menyesatkan Iran. "Apa yang dilakukan para pemimpin Iran
sek arang justru berbeda dengan nilai Islarm. baik dalam sikap,
tindakan maupun pemikiran," tulis koran Saudi, Oka. Sejak
Riyadh mengusir sejumlah jamaah haji Iran yang membuat onar di
Mekkah, permusuhan kedua negara tampak semakin hebat.
Reaksi PLO sendiri beraneka rupa. Salah satu fraksi kiri
berhaluan keras dalam organisasi itu, misalnya, menuduh rencana
perdamaian tadi hanya suatu "kuda Troya buatan Amerika." Faraok
Kaddoummi, ketua bagian politik PLO, juga tak ingin
menerimanya--terutama butir ketujuh yang secara tersirat
mengakui eksistensi Israel. Menurut dia, sangat sulit menerima
kenyataan hadirnya negara Israel di Timur Tengah.
TAPI Fatah, salah satu organisasi utama dalam PLO, menyatakan
akan segera memperkuat barisan dengan Saudi jika Washington mau
menerima rencana Fahd. "Segera sesudah AS menerima tanpa syarat,
kami akan mengambil langkah serius, dan duduk (berunding)," kata
Abu Iyad, Wakil Arafat di Al Fatah. Menurut dia, jika AS dan
Israel tidak menerima, maka PLO juga akan menolaknya. Yang
jelas, demikian Iyad, "semua (8) butir dalam rencana perdamaian
tadi bisa diterima" bangsa Palestina.
Bagi AS, tentu saja, soalnya tidak mudah. Jika Washington
menerima usul perdamaian Fahd, itu sama saja dengan mengakui
hadirnya negara Palestina berdaulat -- yang mungkin dipimpin
PLO. Washington selama ini tak mau mengakui (secara formal) PLO
sebagai satusatunya organisasi perjuangan rakyat Palestina.
Dengan berbagai upaya lobby kaum Yahudi berusaha mempengaruhi
politik luar negeri AS itu.
Peristiwa terpukulnya Dubes AS di PBB Andrew Young merupakan
contoh nyata Pada suatu hari, pertengahan 1979, Young diam-diam
bertemu dengan pengamat PLO di PBB Zehdi Labib Terzi di rumah
duta besar salah satu negara Arab. Pertemuan itu rupanya
tercium Mossad, dinas rahasia Israel. Dengan serta merta
kelompok lobi Yahud dan Israel melancarkan kecaman. Kendati
Departemen Luar Negeri AS berusaha menjelaskan bahwa banyak
diplomat Amerika sebelumnya pernah bertemu dengan utusan PLO,
Young toh terpaksa mengundurkan diri pada 15 Agustus 1979.
Sejak itu Presiden Jimmy Carter menghindari kontak formal
pejabatnya dengan PLO. Namun pemerintahan Carter masih
memelihara hubungannya dengan organisasi pembebasan itu. Ketika
sejumlah staf Kedubes AS di Teheran disandera mahasiswa radikal
setempat, Washington meminta jasa baik Arafat. Dengan suatu
usaha keras, utusan Arafat hanya berhasil meminta pemebasan se
jumlah sandera wanita dan pria Negro. Dalam berbagai peristiwa
pergolakan di Lebanon, lewat CIA, Washington juga sudah beberapa
kali meminta jasa baik PLO menyelamatkan sejumlah diplomat AS.
Diam-diam pula Yasser Arafat melancarkan ofensif diplomatik.
Secara terbuka dua tahun lalu Kanselir Austria Bruno Kreisky
menerima Arafat dalam suasana bersahabat. Dia juga diterima oleh
Perdana Menteri Suarez dari Spanyol. Oktober lalu, dia juga
diterima dengan hangat di Beijing, Pyongyang, Hanoi dan Tokyo.
Pers Jepang menyebut pertemuannya dengan PM Zenko Suzuki kelak
akan membantu "melenyapkan kesan PLO sebagai organisasai
teroris."
Hasil kunjungan itu ternyata membawa angin baik di AS. Bekas
Presiden Carter dan Gerald Ford, misalnya, segera mendesak
Presidcn Reagan agar segera membuka dialog dengan PL.O. Adalah
Carter juga yang pernah dua kali berusaha mengajak PLO duduk di
meja perundingan dalam upaya menciptakan perdamaian di Timur
Tengah. Zhigniew Brzezinski, Penasihat Keamanan Nasional di
zaman Carter, juga mengemukakan desakan serupa.
Brzezinski memperingatkan AS supaya "tidak membuat kesalahan
sepeltl Prancis " Ketika perang kemerdekaan Aljazair meletus,
Prancis menolak berunding dengan Front Pembebasan Nasional
Aljazair yang kemudian justru membawa negeri itu ke kemerdekaan.
Menurut dia, dialog dengan PLO "akan membantu memecahkan soal
tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Caza."
Bersediakah Presiden Reagan berdialog dengan PLO. Dengan sikap
hati-hati Reagan mengungkapkan kemungkinan tersebut terbuka.
Menurut dia, tidak selamanya AS menolak berunding. Tapi dialog
dengan PLO itu baru bisa diselenggarakan "sesudah mereka mau
mengakui hak eksistensi Israel sebagai bangsa." Pendeknya Reagan
menghendaki PLO lebih dulu mengakui Israel, sebelum duduk
membicarakan soal nasib Palestina.
DENGAN sikap demikian, Reagan mengharapkan lobi Yahudi tidak
cepat terusik, dan naik darah. Dia tentu masih ingat akan
kegigihan lobi Yahudi di Senat ketika berusaha menggasak
rencana penjualan perlengkapan militer AS ke Saudi-termasuk
pesawat AWACS -- bernilai US$ 8,5 milyar. Hanya dengan
perjuangan panjang, Gedung Putih akhirnya berhasil menggolkan
rencana penjualan tadi. Kendati demikian, Reagan menganggap usul
Fahd itu merupakan "langkah awal menuju perundingan". Secara
lebih terperinci dia mengatakan, "Bagian terpenting (dari usul
Fahd) ialah mereka (Saudi) mengakui Israel sebagai bangsa yang
patut diajak berunding."
Namun Menlu Saudi Pangeran Saud al-Faisal menyatakan pengakuan
terhadap hak hidup Israel baru akan datang sesudah negara
Palestina, yang diperintah PLO, terbentuk. "Saya tidak bisa
membayangkan sebuah negara Palestina yang bebas tanpa
kepemimpinan dan pengakuan PLO," kata Saud. Pendeknya, "Tak akan
ada perdamaian tanpa pengakuan kedua pihak akan hak hidup
masing-masing."
Washington, tentu saja, tidak akan menyerah begitu saja
menghadapi tekanan semacam itu. Dalam situasi sulit sekalipun,
AS niscaya lebih mengutamakan kepentingan Israel, sekutunya.
Bagi musuh-musuh Israel, inilah pangkal kesulitan. "Anda
terlalu) memanjakan anak nakal, Israel. Kelak anak nakal itu
akan merampas semua kepentingan anda di Timur Tengah," kata
Yasser Arafat pekan lalu memperingatkan seperti dikutip koran
Boston Globe.
Menurut pemimpin PLO itu, akan lebih bijaksana bagi AS jika
Washington berusaha lebih memahami Palestina ketimbang membagi
Timur Tengah menjadi dua bagian. Jika Gedung Putih mengundang,
"saya akan mengusahakan agar sper power Amerika memahami
situasi saya, dan perjuangan rakyat saya," tambah Arafat.
Pangeran Abdullah juga pernah jengkel melihat kebijaksanaan
AS--terutama Senat yang nyaris dikuasai lobi Yahudi pimpinan
Rabbi Alexander Schindler. Panglima Garda Nasional Saudi itu,
seperti dikutip majalah TIME, sesungguhnya lebih senang jika
Senat tidak menyetujui penjualan AWACS ke Riyadh. Bila
keputusannya demikian, rakyat Amerika akan tahu bahwa
"kebijaksanaan politik AS ditentukan di Tel Aviv," ujarnya.
Kecaman pedas semacam itu belum tentu akan menggoyahkan sikap
Reagan. Tapi jika pertemuan Fez menerima usul Fahd, Reagan
diduga akan mendapat tekanan moral dari Eropa Barat. Adalah
Menlu Inggris Lord Carrington yang pertama kali menanggapi
rencana perdamaian itu sebagai suatu hal yang positif.
Sambil menyindir Perjanjian Camp David, Carrington mengatakan
perdamaian hanya mungkin akan tercapai jika ada keadilan bagi
semua pihak. Termasuk keadilan bagi bangsa Palestina, yang tidak
hanya sekedar fisik dan kemanusiaan, tapi juga di bidang
politik."
Karena Carrington juga menjabat Ketua Dewan Menteri Masyarakat
Ekonomi Eropa, tanggapannya itu bisa dianggap merupakan pendapat
MEE. Israel tentu saja mengecamnya. PM Menachem Begin
memperingatkan bahwa negerinya mungkin tak akan mengizinkan
Inggris, Prancis, Italia dan Belanda bertindak sebagai pasukan
pemelihara perdamaian di Sinai, April 1982.
Masih dengan kepala panas, PM Begin menilai usul Fahd tadi
bertujuan melenyapkan Israel. "Kami menolak rencana Saudi
tersebut dari butir pertama sampai ke delapan," katanya.
"Pokoknya, kami tetap (hanya) terikat dengan Persetujuan Camp
David (1978)."
Di luar dugaan Washington, Jerusalem bereaksi dengan sensitif.
Israel seolah, demikian koran Ne7D York Times, melihat Eropa
Barat dan AS, yang bersekutu dengan Saudi, siap menggulung
negeri Yahudi itu. Merasa terancam demikian rupa, Jerusalem
kemudian melancarkan sejumlah gerakan politik dan militer.
Menteri Pertahanan Ariel Sharon.
misalnya, memerintahkan pembukaan wilayah pemukiman baru di
Pegunungan Hebron (Tepi Barat Sungai Jordan) dengan menempatkan
sejumlah pasukan para. "Jawaban kami atas usul delapan butir
(Fahd) adalah delapan wilayah pemukiman baru," kata Sharon.
Jerusalem juga mengirim sebuah delegasi parlemen bipartisan ke
Washington yang dipimpin Moshe Aren. Kepada Menlu Haig, kata
Aren, dia bercerita bahwa "Israel bersedia duduk berunding
dengan Saudi asal tanpa syarat pendahuluan." Maksudnya, Saudi
harus menyingkirkan seluruh butir perdamaian yang diajukan Fahd.
Ketika membicarakan soal otonomi Palestina di Kairo, Menteri
Dalam Negeri Israel Yosef Burg memperoleh jaminan baik dari
Dubes AS di Mesir Alfred Atherton Jr. "Presiden Keagan
mengatakan kami tetap berpijak pada Camp David sebagai dasar
pembicaraan," kata Atherton.
Dari Beirut, Arafat pekan lalu menuduh Israel menggerakkan empat
brigade pasukannya ke perbatasan Lebanon dan Dataran Tinggi
Golan. Sebaliknya, Menteri Pertahanan Sharon justru menyebut
bahwa PLO kini menggalang kekuatan dengan persenjataan baru.
Sejak gencatan senjata 24 Juli, katanya, terjadi 30 kali
pelanggaran yang dilakukan PLO. Tapi Sharon, tentu saja, tidak
mengemukakan sejumlah serbuan Jerusalem atas sasaran sipil di
berbagai kota Lebanon yang meminta banyak korban.
Dengan sengaja tampaknya Israel melancarkan provokasi militer
untuk mengalihkan perhatian. PM Begin, misalnya, mengungkit
kembali soal deretan Peluru Kendali Darat ke Udara (SAM-6)
Suriah yang ditempatkan di Lembah Be Kaa, Lebanon. Begin
mengancam, jika AS gagal membujuk Suriah menarik peluru kendali
itu, Israel akan menghancurkannya. "Kami kini menghadapi situasi
berbahaya (di Lebanon) sejak gencatan senjata," kata Sharon.
"Jika AS gagal mengurus soal pelanggaran gencatan senjata, kami
akan memutuskan sendiri, dan bertindak."
Dalam rangkaian kegiatan provokasi itu, sejumlah pesawat tempur
Israel beberapa kali terbang di atas wilayah udara
Saudi--terutama melewati pangkalan udara Tabuk, dekat perbatasan
kedua negara. Riyadh segera memberi peringatan keras.
Perkembangan panas, yang mengarah pada kontak senjata itu, tentu
sangat-memprihatinkan AS. Pekan ini utusan khusus Presiden
Reagan, Philip C. Habib dijadwalkan terbang kembali ke Lebanon.
Berusaha menunjukkan iktikad baik menyambut misi itu, Jerusalan
berjanji tidak akan membuka tembakan peruma sebelum Habib tiba.
Bagaimana sikap Saudi selanjutnya? Akankah dia menekan AS dengan
tindakan ekonomi? Di tengah melimpahnya minyak (glut) di pasaran
dunia-sekitar tiga juu barrel/hari--Saudi dan negara Teluk
lainnya diduga tak akan berani melancarkan embargo minyak.
Kendati demikian, Washington diduga akan bersikap hati-hati.
Riyadh lewat tangan Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA)
misalnya menanamkan dana di berbagai perusahaan Amerika meliputi
US$ 30 milyar. Di perusahaan telepon AT&T, SAMA punya kekayaan
US$ 50 juta, sedangkan di IBM dan US Steel, masing-masing US$
300 juta dan US$ 200 juta.
Berbeda dengan Saudi yang konservatif, Kuwait dianggap lebih
maju dalam memutar petrodollarnya. Di berbagai perusahaan AS,
Kuwait menanam uang lebih US$ 7 milyar. Negeri itu baru saja
menggegerkan Washington ketika tanpa diduga membeli maskapai
minyak Santa Fe Int. sebesar US$ 2,5 milyar. Ketika Kuwait tahun
70-an berusaha membeli perusahaan mobil Daimler-Benz, Jerman
Barat juga gempar. Sejumlah bank Jerman Barat yang membentuk
konsorsium kemudian mencegat usaha itu.
Akankah Saudi menggunakan petrodollar itu untuk menekan AS dan
Israel? Dengan nada mengejek PM Begin berkata: "Milyaran
Petrodollar tetap tak akan membantu Saudi menggolkan rencana
Fahd. Jerusalem yang satu akan tetap berada selamanya di bawah
kedaulaun Israel.
Tapi sekali ini Saudi tampaknya bertekad menyelesaikan masalah
Palestina dengan berbagai cara. Di Saudi kini tinggal sekitar
300 ribu orang Palestina berketrampilan tinggi yang bekerja di
sektor industri minyak. Jika soal Palestina tak secepatnya
selesai. Saudi mengkhawatirkan mereka akan menimbulkan banyak
problem sosial politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini