MENURUT rencana, pada akhir bulan November ini akan diadakan KTT
Arab di Fez, Marokko. Konperensi Tingkat Tinggi yang
diselenggarakan oleh Liga Arab kali ini seperti berbagai KTT
Arab sebelumnya, akan membahas "langkah bersama" Arab dalam
menghadapi Israel.
Inisiatif perdamaian yang dilancarkan oleh mendiang Anwar Sadat
telah mengubah bentuk maupun substansi konflik Arab-Israel.
Setelah Sadat lenyap dari panggung poitik, dan bagian
Persetujuan Camp David yang menyangkut soal otonomi Jalur Gaza
dan Tepi Barat Sungai Yordan sudah tidak mungkin dilaksanakan,
lantas bagaimana kelanjutan konflik Arab-Israel?
Masalah inilah yang pasti menjadi agenda dalam KTT Fez.
Nampaknya Pangeran Fahd dari Arab Saudi akan mencoba agar usul
perdamaian 8 pasal yang diajukannya bisa menjadi patform
bersama negara-negara Arab dalam mencapai perdamaian di Timur
Tengah.
Yang menarik dari usul Fahd adalah adanya pengakuan implisit
terhadap eksistensi srael dan penegasan bahwa Yerusalem akan
menjadi ibukota negara Palestina merdeka.
Rupanya fluiditas politik di Timur Tengah berkembang
menguntungkan Israel. Dua negara pilar di kawasan itu (Mesir dan
Saudi) telah mengakui eksistensi Mesir suatu sikap yang begitu
berbeda dengan sikap negara-negara Arab di zaman Nasser, yaitu
"menendang orang Israel ke laut."
Tetapi bisakah KTT Fez melahirkan kesepakatan Arab yang kemudian
bisa diterjemahkan ke dalam suatu strategi bersama dalam
menghadapi Israel? Atau dilihat dari sisi lain, kesepakatan
dalam mengusahakan proses perdamaian dengan negara Zionis itu?
Walaupun meramalkan suatu proses politik memang sulit, bisa
diduga KTT Fez nanti akan lebih merupakan arena perselisihan
antarpemimpin Arab (andaikata mereka sama hadir) daripada forum
pencarlan srategi bersama.
Terlepas-dari Israel yang nampak tidak berminat dengan suatu
perdamaian komprehensif, ada perbedaan mendasar di kalangan
negara Arab sendiri yang menyulitkan tercapainya kesepakatan
mereka dalam berbagai hal. Paling tidak ada tiga kelompok
ideologis yang berbeda di dunia Arab. Pertama adalah kelompok
negara-negara konservatif, atau istilah halusnya moderat,
seperti Arab Saudi, Yordan, Marokko dan Uni Emirat Arab.
Orientasi politik luar negeri mereka jelas lebih pro-Amerika.
Kedua adalah negara-negara Arab radikal yang percaya pada
sosialisme Arab, walaupun manifestasinya berlain-lainan seperti
Irak, Suriah, Aljazair dan Libya. Negara-neagara ini
berorientasi pro-Soviet.
Jenis ketiga adalah Mesir yang tidak bisa dikatakan konservatif,
tetapi tidak pula percaya pada sosialisme Arab.
Perbedaan ideologis dan orientasi di antara negara-negara Arab
inilah yang sesungguhnya menyebabkan jarang terdapat penilaian
dan sikap-bersama-Arab terhadap masalah penting. Perbedaan ini
sekaligus menjelaskan mengapa solidaritas Arab yang sering
merupakan ikatan emotif dan sloganistis menjadi hancur
dihadapkan dengan kenyataan politik praktis.
Walaupun demikian, paling tidak dalam masaJah nasib rakyat
Palestina yang malang itu seharusnya bisa dicapai konsensus
Arab. Israel di bawah Begin berlaku makin semena-mena terhadap
orang Palestina. Kelompok Yahudi seperti Gush Emunim dan Tehiya
dengan lampu hijau Departemen Pertahanan Israel menganggap orang
Palestina bagaikan bangsa Kan'an modern. Artinya hanya ada tiga
pilihan untuk orang Palestina: tunduk-takluk di bawah Israel,
atau mengungsi, atau terus diperangi. Malah beberapa kelompok
ekstrim Yahudi menganggap rakyat Palestina di wilayah pendudukan
Israel sebagai sub-human.
Nasib PLO
Jelas yang paling getir nasibnya dalam percaturan politik Timur
Tengah adalah PLO. Setelah Camp David, posisi PLO semakin
defensif juga setelah adanya usul perdamaian Fahd. Aneh memang,
baik Sadat dulu maupun Fahd sekarang tidak berani menyebut PLO
dalam usul perdamaiannya.
Padahal KTT Arab 1974 di Rabat memutuskan PLO sebagai
satu-satunya wakil sah rakyat Palestina. Juga resolusi PBB 3236
menegaskan rakyat Palestina adalah "indispensable for the
solution of the question of Palestine" alias tidak mungkin
ditinggalkan dalam pemecahan masalah Palestina. Bahkan PBB
mengusulkan PLO harus memiliki equal footing dalam setiap
negosiasi yang disponsori oleh PBB.
Selain negara-negara Arab yang dalam praktek semakin
mengerdilkan peranan PLO, Amerika juga terus memberikan tekanan
berat padanya. Amerika selalu menekan PLO supaya mengakui
eksistensi Israel, tetapi tidak pernah Amerika menekan Israel
supaya mengakui eksistensi PLO.
Sesungguhnya salah satu kunci pemecahan konlik Arab-Israel
terletak pada partisipasi PLO dalam perundingan perdamaian. PLO
adalah pihak yang bersengketa langsung dengan Israel. Ia bukan
pion yang harus dimainkan ke sana ke mari. KTT Arab bisa saja
diadakan berkali-kali, tetapi tanpa berusaha mendudukkan PLO
secara wajar dalam proses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini