Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Fez, tetap suram

Ktt arab akan diadakan di fez, membahas langkah bersama arab dalam menghadapi israel. perbedaan ideologis dan orientasi negara-negara arab membuat tidak ada sikap kebersamaan, seperti masalah palestina.

28 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT rencana, pada akhir bulan November ini akan diadakan KTT Arab di Fez, Marokko. Konperensi Tingkat Tinggi yang diselenggarakan oleh Liga Arab kali ini seperti berbagai KTT Arab sebelumnya, akan membahas "langkah bersama" Arab dalam menghadapi Israel. Inisiatif perdamaian yang dilancarkan oleh mendiang Anwar Sadat telah mengubah bentuk maupun substansi konflik Arab-Israel. Setelah Sadat lenyap dari panggung poitik, dan bagian Persetujuan Camp David yang menyangkut soal otonomi Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan sudah tidak mungkin dilaksanakan, lantas bagaimana kelanjutan konflik Arab-Israel? Masalah inilah yang pasti menjadi agenda dalam KTT Fez. Nampaknya Pangeran Fahd dari Arab Saudi akan mencoba agar usul perdamaian 8 pasal yang diajukannya bisa menjadi patform bersama negara-negara Arab dalam mencapai perdamaian di Timur Tengah. Yang menarik dari usul Fahd adalah adanya pengakuan implisit terhadap eksistensi srael dan penegasan bahwa Yerusalem akan menjadi ibukota negara Palestina merdeka. Rupanya fluiditas politik di Timur Tengah berkembang menguntungkan Israel. Dua negara pilar di kawasan itu (Mesir dan Saudi) telah mengakui eksistensi Mesir suatu sikap yang begitu berbeda dengan sikap negara-negara Arab di zaman Nasser, yaitu "menendang orang Israel ke laut." Tetapi bisakah KTT Fez melahirkan kesepakatan Arab yang kemudian bisa diterjemahkan ke dalam suatu strategi bersama dalam menghadapi Israel? Atau dilihat dari sisi lain, kesepakatan dalam mengusahakan proses perdamaian dengan negara Zionis itu? Walaupun meramalkan suatu proses politik memang sulit, bisa diduga KTT Fez nanti akan lebih merupakan arena perselisihan antarpemimpin Arab (andaikata mereka sama hadir) daripada forum pencarlan srategi bersama. Terlepas-dari Israel yang nampak tidak berminat dengan suatu perdamaian komprehensif, ada perbedaan mendasar di kalangan negara Arab sendiri yang menyulitkan tercapainya kesepakatan mereka dalam berbagai hal. Paling tidak ada tiga kelompok ideologis yang berbeda di dunia Arab. Pertama adalah kelompok negara-negara konservatif, atau istilah halusnya moderat, seperti Arab Saudi, Yordan, Marokko dan Uni Emirat Arab. Orientasi politik luar negeri mereka jelas lebih pro-Amerika. Kedua adalah negara-negara Arab radikal yang percaya pada sosialisme Arab, walaupun manifestasinya berlain-lainan seperti Irak, Suriah, Aljazair dan Libya. Negara-neagara ini berorientasi pro-Soviet. Jenis ketiga adalah Mesir yang tidak bisa dikatakan konservatif, tetapi tidak pula percaya pada sosialisme Arab. Perbedaan ideologis dan orientasi di antara negara-negara Arab inilah yang sesungguhnya menyebabkan jarang terdapat penilaian dan sikap-bersama-Arab terhadap masalah penting. Perbedaan ini sekaligus menjelaskan mengapa solidaritas Arab yang sering merupakan ikatan emotif dan sloganistis menjadi hancur dihadapkan dengan kenyataan politik praktis. Walaupun demikian, paling tidak dalam masaJah nasib rakyat Palestina yang malang itu seharusnya bisa dicapai konsensus Arab. Israel di bawah Begin berlaku makin semena-mena terhadap orang Palestina. Kelompok Yahudi seperti Gush Emunim dan Tehiya dengan lampu hijau Departemen Pertahanan Israel menganggap orang Palestina bagaikan bangsa Kan'an modern. Artinya hanya ada tiga pilihan untuk orang Palestina: tunduk-takluk di bawah Israel, atau mengungsi, atau terus diperangi. Malah beberapa kelompok ekstrim Yahudi menganggap rakyat Palestina di wilayah pendudukan Israel sebagai sub-human. Nasib PLO Jelas yang paling getir nasibnya dalam percaturan politik Timur Tengah adalah PLO. Setelah Camp David, posisi PLO semakin defensif juga setelah adanya usul perdamaian Fahd. Aneh memang, baik Sadat dulu maupun Fahd sekarang tidak berani menyebut PLO dalam usul perdamaiannya. Padahal KTT Arab 1974 di Rabat memutuskan PLO sebagai satu-satunya wakil sah rakyat Palestina. Juga resolusi PBB 3236 menegaskan rakyat Palestina adalah "indispensable for the solution of the question of Palestine" alias tidak mungkin ditinggalkan dalam pemecahan masalah Palestina. Bahkan PBB mengusulkan PLO harus memiliki equal footing dalam setiap negosiasi yang disponsori oleh PBB. Selain negara-negara Arab yang dalam praktek semakin mengerdilkan peranan PLO, Amerika juga terus memberikan tekanan berat padanya. Amerika selalu menekan PLO supaya mengakui eksistensi Israel, tetapi tidak pernah Amerika menekan Israel supaya mengakui eksistensi PLO. Sesungguhnya salah satu kunci pemecahan konlik Arab-Israel terletak pada partisipasi PLO dalam perundingan perdamaian. PLO adalah pihak yang bersengketa langsung dengan Israel. Ia bukan pion yang harus dimainkan ke sana ke mari. KTT Arab bisa saja diadakan berkali-kali, tetapi tanpa berusaha mendudukkan PLO secara wajar dalam proses.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus