PANGKOPKAMTIB Laksamana Sudomo menimang sejenak bungkusan
berwama cokelat muda itu, kemudian menyerahkannya kepada Jaksa
Agung Muda bidang Oyerasi Mohamad Salim. Penyerahan ini
merupakan realisasi janji Menhankam Jenderal M. Jusuf kepada DPR
beberapa waktu lalu," kata Sudomo yang disambut senyum lebar
oleh Salim. Ini adalah inti upacara sederhana penyerahan berkas
"perkara Imran" di Aula Kopkamtib Selasa minggu lalu.
Kemudian' Sudomo menambahkan: "Berkas perkara itu baru merupakan
hasil pemeriksaan secara intelijen. " Artjnya, bahan pemeriksaan
itu dilakukan unuk mengetahui duduk persoalan sebenarnya yang
berguna bagi bahan operasi lanjutan. "Jadi belum merupakan hasil
pemeriksaan pro justitia, " tambahnya. Namun Sudomo juga
menyatakan: "Kami melihat cukup alasan, perkara itu bisa
diajukan ke pengadilan."
Berdasarkan hasil pemeriksaan sejak ditangkap di daerah Kuningan
Jakarta pertengahan April lalu, Imran bin Muhammad Zein, 31
tahun, dianggap terlibat 3 peristiwa. "Imam" Imran diduga
sebagai "otak" penyerbuan pos polisi di Cicendo, Bandung 11
Maret 1981, peristiwa pembajakan pesawat Garuda "Woyla" 28 Maret
1981, dan subversi untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
"Penyerahan berkas perkara ini bukan sekedar suatu sbow, tapi
supaya diketahui secara terbuka," ucap Sudomo.
Bahkan menurut Sudomo, anggota kelompok Imran yang terlibat
ketiga peristiwa tersebut juga sudah diuhan. "Rangkaian dari
kelompok ini sudah ditangkap semua. Apakah mereka juga akan
dibawa ke pengadilan, itu terserah pada pengadilan," katanya.
Pangkopkamtib tidak menyebutkan jumlah pengikut "Imam" Imran
yang "diinapkan" petugas keamanan.
Tapi T. Mulya Lubis, Direktur LBH lakarta--berdasarkan pengaduan
beberapa keluarga mereka--menyebut sekitar 400 orang yang
ditahan di seluruh Indonesia. Mereka tersebar di seluruh
Indonesia, seperti Jakaru sekitar 100 orang, Bandung 50 orang
dan sisanya di kota-kota besar lainnya.
Konon, mereka bukan hanya pengikut Imran, tapi juga yang
terlibat kasus teror Warman, Koneksi Libya dan gerakan ekstrim
lainnya.
DPR sendiri sampai sekarang masih kelihatan tenang saja.
"Ceritera macammacam memang beredar di luar, sehingga saya
berpendapat perlu ada kejernihan," kata H. Jusuf Hasyim, anggota
FPP dari Komisi I DPR yang membidangi Hankam, Luar Negeri dan
Penerangan. Berdasarkan laporan yang diterimanya, penahanan
memang dikaitkan dengan gerakan itu. "Ada istri seorang yang
ditahan menceritakan, petugas mengambil suaminya waktu subuh.
Melalui walkie talkie, mereka melaporkan tidak menemukan
dokumen yang berhubungan dengan Lilya Connecion dan senjata,"
kata Jusuf Hasyim. "Tapi suami pelapor ke F-PP itu toh dibawa
pula."
Sedang Sekjen DPR/MPR Wang Suwandi pada apel bendera 10 November
juga mengumumkan ada 13 karyawan Setjen DPR/MPR diberhentikan
sementara karena melakukan pelanggaran. Wang Suwandi tidak
menjelaskan secara terperinci alasannya. Tapi beberapa hari
kemudian suratkabar Yelita, dengan mengutip keterangan Hubungan
Masyarakat DPRIMPR Ruslan Salamun, memberitakan bahwa mereka
ditahan dengan tuduhan terlibat apa yang dinamakan "Komando
Jihad".
Munculnya kembali istilah yang kurang enak didengar telinga,
terutama bagi orang-orang dari kalanga'n Islam itu, sempat
mengundang pertanyaan. Masalahnya, sudah ada kesepakatan antara
pemerintah dengan pemuka Islam 20 April 1981 untuk tidak
menggunakan lagi sebutan itu karena dikhawatirkan akan lebih
mencemarkan agama. Konsensus itu tercapai dalam silaturahmi yang
berlangsung setelah keterangan pemerintah mengenai latar
belakang pembajakan pesawat Garuda "Woyla", yang antara lain
dihadiri Amin Iskandar, almarhum Buya Hamka dan Menteri Agama
Alamsyah.
Sebelum Pemilu
Sementara belum ada kejelasan, Kepala Humas DPR/MPR Ruslan
Salamun yang menjadi sumber berita Yeita membantahnya. "Saya
tidak segila itu mengecap orang," katanya pada TEMPO. Dalam
surat bantahannya yang dikirim ke harian itu dia menyatakan:
"Kami tidak pernah menyatakan pegawai tersebut terlibat Komando
Jihad."
Sumber TEMPO di DPR menyebut kan sebagian besar karyawan itu
dari Bagian Keuangan Setjen DPR/MPR. Orang pertama yang
"disimpan" petugas keamanan itu kabarnya memang mempunyai
pengajian dan menjadi penatar P4. "Beberapa yang ditahan memang
ikut aktif di pengajiannya," katanya.
Laksusda V Jaya yang "menyimpan" mereka di tahanan Pomdam Guntur
sampai awal minggu belum bersedia bicara banyak. "Masalah
penahanan itu adalah proyek pusat. Kami hanya aparat pelaksana,"
kata Kepala Pendarn V Jaya Letkol Haridhon. Ia juga menolak
menyebutkan jumlahnya.
Jawaban sama juga diucapkan Panglima Kodam IV Sriwijaya Brigjen
Tri Sutrisno. "Buat apa mengungkapkannya Yang penting, kita bina
kerukunan dan kemantapan masyarakat agar bisa tidur dengan
nyenyak," katanya pada TEMPO mengutip pernyataan Menhankam.
Namun sumber TEMPO di Palembang menyebut ada 4 tahanan kelas
"kakap" yang terlibat kasus teror Warman seperti Bardan Kindarto
--yang diminta dibebaskan oleh pembajak "Woyla"--Thohlon A.R.,
A. Gaffar Gana dan Batara Pulungan.
Sedang di Bandung, kelompok Imran saja konon sebanyak 40 orang
pernah ditahan Laksusda setempat. "Setelah selesai diinterogasi,
sebagian dibebaskan," kata sumber TEMPO Sekarang, tinggal 5
orang pengikut Imran yang ditahan. Mereka antara lain diduga
terlibat penembakan kantor polisi Cicendo, Bandung, dan mencoba
membunuh dr. Syamsudin Manaf, pengurus Masjid Istiqamah Bandung.
Soal jumlah, menurut seorang pejabat Puspen Hankam, masih akan
terus berubah menurut hasil pemeriksaan. Berbagai pihak
mengharapkan nasib mereka tidak terkatung-katung untuk waktu
yang lama. Mungkin mereka masih harus sabar di "penginapan" itu
sampai perkara Imran disidangkan, yang konon akan dimulai
sebelum Pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini