Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Usul damai arab saudi gagal! usul damai arab saudi gagal ? 8 butir bagi anak manja

Perdamaian di timur tengah yang diusulkan pangeran fahd, ditolak oleh anggota liga arab berhaluan keras & israel. tapi rencana fahd masih akan didengar di ktt pekan ini.

28 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEHERAN kembali dilanda demonstrasi besar. Sekali ini anti Saudi sifatnya Lebih 200 ribu orang turun ke jalan -- memenuhi anjuran Ayatullah Hussein Ali Montazeri, Imam sembahyang umat di Qom -- menuju Universitas Teheran. Mereka mengacung-acungkan berbagai slogan yang tidak bersahabat. Mereka antara lain menyerukan "hukuman mati" bagi Pemimpin PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) Yasser Arafat. Dia rupanya dimusuhi karena mendukung rencana perdamaian di Timur Tengah yang diusulkan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Fahd. Demonstrasi besar pekan lalu itu seolah mencerminkan sikap pemerintah Iran kini. Sebelumnya, PM Iran Hussein Mousavi mengecam Arafat sebagai "pemimpin Palestina yang tengah memasang perangkap sendiri" dengan menggantungkan nasibnya pada "rezim (Saudi yang) reaksioner". Selain dari Libya, PLO memang sudah sejak lama mendapat bantuan keuangan Saudi. Arafat menganggap usul delapan butir Pangeran Fahd itu sebagai "permulaan yang baik". Fahd dalam dokumen 22 halaman yang diumumkan 7 Agustus antara lain mengusulkan agar Israel mundur dari seluruh daerah Arab yang didudukinya sejak Perang 1967. Termasuk kawasan Tepi Barat Sungai Jordan, jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Di situ, ia juga mengusulkan pembentukan negara Palestina merdeka dengan ibukota Jerusalem Timur, dan mengakui hak hidup semua negara di kawasan tersebut. Secara tersirat usul Fahd itu juga mengakui hak hidup (eksistensi) Israel sebagai sebuah negara berdaulat penuh. Anggota Liga Arab berhaluan keras seperti Libya, Suriah, dan 'Yaman Selatan -- menganggap usul itu suatu pengkhianatan. Sebab selama ini mereka tak pernah mau mengakui hak hidup Israel. Liga- Arab -- beranggotakan 23 negara -- berkonperensi di Fez, Maroko pekan ini membahas usul Fahd tadi. Diduga akan timbul perpecahan di kalangan bangsa Arab karenanya. Pemimpin Libya Kolonel Muammar Qaddafi, seperti dikutip KeMter, menyatakan ia tak akan menghadiri Pertemuan Puncak di Eez itu. Alasannya ialah "rakyat Arab belum memberikan mandat pada pertemuan itu membicarakan usul (Fahd) dan mengakui musuh (Israel)." Dan Kantor Berita Libya, Lana, menganggap usul Saudi itu satu "bagian dari rencana (terselubung) AS." Sementara itu PM Suriah Abdul Rauf Kasim mengkritiknya Rencana itu "tidak efektif," katanya. Tapi Presiden Suriah Hafez Assad dikabarkan menaruh perhatian terhadap usul tadi. Akankah sikap keras Kolonel Qaddafi mendapat dukungan? Belum jelas. Tapi para pemimpin Dewan Kerjasama Negara Teluk (GCC) -- Oman, Qatar, Persatuan Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, dan Saudi - dalam pertemuan pekan lalu menyatakan mereka mendukung usul perdamaian ahad. Dalam upaya melunakkan anggota Liga Arab perhaluan keras, Saudi mulai memainkan kartu Soviet. Riyadh menyatakan pekan lalu bahwa pada prinsipnya Saudi bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet pada waktu yang tepat. Keinginan Saudi itu ka barnya sudah disampaikan Arafat ketik. pemimpin PLO itu berkunjung ke Moskow. Ayatullah Khomeini, menjelang demonstrasi besar di Teheran tadi, menila rencana perdamaian Fahd itu "tidak konsisten dengan Islam." Rencana tersebut justru akan menempatkan Israel sebagai majikan dunia Arab dan Islam, demikian Khomeini. Segera radio pemerintah Saudi membalas dan menyebut tokoh seperti Khomeini sedang menyesatkan Iran. "Apa yang dilakukan para pemimpin Iran sek arang justru berbeda dengan nilai Islarm. baik dalam sikap, tindakan maupun pemikiran," tulis koran Saudi, Oka. Sejak Riyadh mengusir sejumlah jamaah haji Iran yang membuat onar di Mekkah, permusuhan kedua negara tampak semakin hebat. Reaksi PLO sendiri beraneka rupa. Salah satu fraksi kiri berhaluan keras dalam organisasi itu, misalnya, menuduh rencana perdamaian tadi hanya suatu "kuda Troya buatan Amerika." Faraok Kaddoummi, ketua bagian politik PLO, juga tak ingin menerimanya--terutama butir ketujuh yang secara tersirat mengakui eksistensi Israel. Menurut dia, sangat sulit menerima kenyataan hadirnya negara Israel di Timur Tengah. TAPI Fatah, salah satu organisasi utama dalam PLO, menyatakan akan segera memperkuat barisan dengan Saudi jika Washington mau menerima rencana Fahd. "Segera sesudah AS menerima tanpa syarat, kami akan mengambil langkah serius, dan duduk (berunding)," kata Abu Iyad, Wakil Arafat di Al Fatah. Menurut dia, jika AS dan Israel tidak menerima, maka PLO juga akan menolaknya. Yang jelas, demikian Iyad, "semua (8) butir dalam rencana perdamaian tadi bisa diterima" bangsa Palestina. Bagi AS, tentu saja, soalnya tidak mudah. Jika Washington menerima usul perdamaian Fahd, itu sama saja dengan mengakui hadirnya negara Palestina berdaulat -- yang mungkin dipimpin PLO. Washington selama ini tak mau mengakui (secara formal) PLO sebagai satusatunya organisasi perjuangan rakyat Palestina. Dengan berbagai upaya lobby kaum Yahudi berusaha mempengaruhi politik luar negeri AS itu. Peristiwa terpukulnya Dubes AS di PBB Andrew Young merupakan contoh nyata Pada suatu hari, pertengahan 1979, Young diam-diam bertemu dengan pengamat PLO di PBB Zehdi Labib Terzi di rumah duta besar salah satu negara Arab. Pertemuan itu rupanya tercium Mossad, dinas rahasia Israel. Dengan serta merta kelompok lobi Yahud dan Israel melancarkan kecaman. Kendati Departemen Luar Negeri AS berusaha menjelaskan bahwa banyak diplomat Amerika sebelumnya pernah bertemu dengan utusan PLO, Young toh terpaksa mengundurkan diri pada 15 Agustus 1979. Sejak itu Presiden Jimmy Carter menghindari kontak formal pejabatnya dengan PLO. Namun pemerintahan Carter masih memelihara hubungannya dengan organisasi pembebasan itu. Ketika sejumlah staf Kedubes AS di Teheran disandera mahasiswa radikal setempat, Washington meminta jasa baik Arafat. Dengan suatu usaha keras, utusan Arafat hanya berhasil meminta pemebasan se jumlah sandera wanita dan pria Negro. Dalam berbagai peristiwa pergolakan di Lebanon, lewat CIA, Washington juga sudah beberapa kali meminta jasa baik PLO menyelamatkan sejumlah diplomat AS. Diam-diam pula Yasser Arafat melancarkan ofensif diplomatik. Secara terbuka dua tahun lalu Kanselir Austria Bruno Kreisky menerima Arafat dalam suasana bersahabat. Dia juga diterima oleh Perdana Menteri Suarez dari Spanyol. Oktober lalu, dia juga diterima dengan hangat di Beijing, Pyongyang, Hanoi dan Tokyo. Pers Jepang menyebut pertemuannya dengan PM Zenko Suzuki kelak akan membantu "melenyapkan kesan PLO sebagai organisasai teroris." Hasil kunjungan itu ternyata membawa angin baik di AS. Bekas Presiden Carter dan Gerald Ford, misalnya, segera mendesak Presidcn Reagan agar segera membuka dialog dengan PL.O. Adalah Carter juga yang pernah dua kali berusaha mengajak PLO duduk di meja perundingan dalam upaya menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Zhigniew Brzezinski, Penasihat Keamanan Nasional di zaman Carter, juga mengemukakan desakan serupa. Brzezinski memperingatkan AS supaya "tidak membuat kesalahan sepeltl Prancis " Ketika perang kemerdekaan Aljazair meletus, Prancis menolak berunding dengan Front Pembebasan Nasional Aljazair yang kemudian justru membawa negeri itu ke kemerdekaan. Menurut dia, dialog dengan PLO "akan membantu memecahkan soal tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Caza." Bersediakah Presiden Reagan berdialog dengan PLO. Dengan sikap hati-hati Reagan mengungkapkan kemungkinan tersebut terbuka. Menurut dia, tidak selamanya AS menolak berunding. Tapi dialog dengan PLO itu baru bisa diselenggarakan "sesudah mereka mau mengakui hak eksistensi Israel sebagai bangsa." Pendeknya Reagan menghendaki PLO lebih dulu mengakui Israel, sebelum duduk membicarakan soal nasib Palestina. DENGAN sikap demikian, Reagan mengharapkan lobi Yahudi tidak cepat terusik, dan naik darah. Dia tentu masih ingat akan kegigihan lobi Yahudi di Senat ketika berusaha menggasak rencana penjualan perlengkapan militer AS ke Saudi-termasuk pesawat AWACS -- bernilai US$ 8,5 milyar. Hanya dengan perjuangan panjang, Gedung Putih akhirnya berhasil menggolkan rencana penjualan tadi. Kendati demikian, Reagan menganggap usul Fahd itu merupakan "langkah awal menuju perundingan". Secara lebih terperinci dia mengatakan, "Bagian terpenting (dari usul Fahd) ialah mereka (Saudi) mengakui Israel sebagai bangsa yang patut diajak berunding." Namun Menlu Saudi Pangeran Saud al-Faisal menyatakan pengakuan terhadap hak hidup Israel baru akan datang sesudah negara Palestina, yang diperintah PLO, terbentuk. "Saya tidak bisa membayangkan sebuah negara Palestina yang bebas tanpa kepemimpinan dan pengakuan PLO," kata Saud. Pendeknya, "Tak akan ada perdamaian tanpa pengakuan kedua pihak akan hak hidup masing-masing." Washington, tentu saja, tidak akan menyerah begitu saja menghadapi tekanan semacam itu. Dalam situasi sulit sekalipun, AS niscaya lebih mengutamakan kepentingan Israel, sekutunya. Bagi musuh-musuh Israel, inilah pangkal kesulitan. "Anda terlalu) memanjakan anak nakal, Israel. Kelak anak nakal itu akan merampas semua kepentingan anda di Timur Tengah," kata Yasser Arafat pekan lalu memperingatkan seperti dikutip koran Boston Globe. Menurut pemimpin PLO itu, akan lebih bijaksana bagi AS jika Washington berusaha lebih memahami Palestina ketimbang membagi Timur Tengah menjadi dua bagian. Jika Gedung Putih mengundang, "saya akan mengusahakan agar sper power Amerika memahami situasi saya, dan perjuangan rakyat saya," tambah Arafat. Pangeran Abdullah juga pernah jengkel melihat kebijaksanaan AS--terutama Senat yang nyaris dikuasai lobi Yahudi pimpinan Rabbi Alexander Schindler. Panglima Garda Nasional Saudi itu, seperti dikutip majalah TIME, sesungguhnya lebih senang jika Senat tidak menyetujui penjualan AWACS ke Riyadh. Bila keputusannya demikian, rakyat Amerika akan tahu bahwa "kebijaksanaan politik AS ditentukan di Tel Aviv," ujarnya. Kecaman pedas semacam itu belum tentu akan menggoyahkan sikap Reagan. Tapi jika pertemuan Fez menerima usul Fahd, Reagan diduga akan mendapat tekanan moral dari Eropa Barat. Adalah Menlu Inggris Lord Carrington yang pertama kali menanggapi rencana perdamaian itu sebagai suatu hal yang positif. Sambil menyindir Perjanjian Camp David, Carrington mengatakan perdamaian hanya mungkin akan tercapai jika ada keadilan bagi semua pihak. Termasuk keadilan bagi bangsa Palestina, yang tidak hanya sekedar fisik dan kemanusiaan, tapi juga di bidang politik." Karena Carrington juga menjabat Ketua Dewan Menteri Masyarakat Ekonomi Eropa, tanggapannya itu bisa dianggap merupakan pendapat MEE. Israel tentu saja mengecamnya. PM Menachem Begin memperingatkan bahwa negerinya mungkin tak akan mengizinkan Inggris, Prancis, Italia dan Belanda bertindak sebagai pasukan pemelihara perdamaian di Sinai, April 1982. Masih dengan kepala panas, PM Begin menilai usul Fahd tadi bertujuan melenyapkan Israel. "Kami menolak rencana Saudi tersebut dari butir pertama sampai ke delapan," katanya. "Pokoknya, kami tetap (hanya) terikat dengan Persetujuan Camp David (1978)." Di luar dugaan Washington, Jerusalem bereaksi dengan sensitif. Israel seolah, demikian koran Ne7D York Times, melihat Eropa Barat dan AS, yang bersekutu dengan Saudi, siap menggulung negeri Yahudi itu. Merasa terancam demikian rupa, Jerusalem kemudian melancarkan sejumlah gerakan politik dan militer. Menteri Pertahanan Ariel Sharon. misalnya, memerintahkan pembukaan wilayah pemukiman baru di Pegunungan Hebron (Tepi Barat Sungai Jordan) dengan menempatkan sejumlah pasukan para. "Jawaban kami atas usul delapan butir (Fahd) adalah delapan wilayah pemukiman baru," kata Sharon. Jerusalem juga mengirim sebuah delegasi parlemen bipartisan ke Washington yang dipimpin Moshe Aren. Kepada Menlu Haig, kata Aren, dia bercerita bahwa "Israel bersedia duduk berunding dengan Saudi asal tanpa syarat pendahuluan." Maksudnya, Saudi harus menyingkirkan seluruh butir perdamaian yang diajukan Fahd. Ketika membicarakan soal otonomi Palestina di Kairo, Menteri Dalam Negeri Israel Yosef Burg memperoleh jaminan baik dari Dubes AS di Mesir Alfred Atherton Jr. "Presiden Keagan mengatakan kami tetap berpijak pada Camp David sebagai dasar pembicaraan," kata Atherton. Dari Beirut, Arafat pekan lalu menuduh Israel menggerakkan empat brigade pasukannya ke perbatasan Lebanon dan Dataran Tinggi Golan. Sebaliknya, Menteri Pertahanan Sharon justru menyebut bahwa PLO kini menggalang kekuatan dengan persenjataan baru. Sejak gencatan senjata 24 Juli, katanya, terjadi 30 kali pelanggaran yang dilakukan PLO. Tapi Sharon, tentu saja, tidak mengemukakan sejumlah serbuan Jerusalem atas sasaran sipil di berbagai kota Lebanon yang meminta banyak korban. Dengan sengaja tampaknya Israel melancarkan provokasi militer untuk mengalihkan perhatian. PM Begin, misalnya, mengungkit kembali soal deretan Peluru Kendali Darat ke Udara (SAM-6) Suriah yang ditempatkan di Lembah Be Kaa, Lebanon. Begin mengancam, jika AS gagal membujuk Suriah menarik peluru kendali itu, Israel akan menghancurkannya. "Kami kini menghadapi situasi berbahaya (di Lebanon) sejak gencatan senjata," kata Sharon. "Jika AS gagal mengurus soal pelanggaran gencatan senjata, kami akan memutuskan sendiri, dan bertindak." Dalam rangkaian kegiatan provokasi itu, sejumlah pesawat tempur Israel beberapa kali terbang di atas wilayah udara Saudi--terutama melewati pangkalan udara Tabuk, dekat perbatasan kedua negara. Riyadh segera memberi peringatan keras. Perkembangan panas, yang mengarah pada kontak senjata itu, tentu sangat-memprihatinkan AS. Pekan ini utusan khusus Presiden Reagan, Philip C. Habib dijadwalkan terbang kembali ke Lebanon. Berusaha menunjukkan iktikad baik menyambut misi itu, Jerusalan berjanji tidak akan membuka tembakan peruma sebelum Habib tiba. Bagaimana sikap Saudi selanjutnya? Akankah dia menekan AS dengan tindakan ekonomi? Di tengah melimpahnya minyak (glut) di pasaran dunia-sekitar tiga juu barrel/hari--Saudi dan negara Teluk lainnya diduga tak akan berani melancarkan embargo minyak. Kendati demikian, Washington diduga akan bersikap hati-hati. Riyadh lewat tangan Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) misalnya menanamkan dana di berbagai perusahaan Amerika meliputi US$ 30 milyar. Di perusahaan telepon AT&T, SAMA punya kekayaan US$ 50 juta, sedangkan di IBM dan US Steel, masing-masing US$ 300 juta dan US$ 200 juta. Berbeda dengan Saudi yang konservatif, Kuwait dianggap lebih maju dalam memutar petrodollarnya. Di berbagai perusahaan AS, Kuwait menanam uang lebih US$ 7 milyar. Negeri itu baru saja menggegerkan Washington ketika tanpa diduga membeli maskapai minyak Santa Fe Int. sebesar US$ 2,5 milyar. Ketika Kuwait tahun 70-an berusaha membeli perusahaan mobil Daimler-Benz, Jerman Barat juga gempar. Sejumlah bank Jerman Barat yang membentuk konsorsium kemudian mencegat usaha itu. Akankah Saudi menggunakan petrodollar itu untuk menekan AS dan Israel? Dengan nada mengejek PM Begin berkata: "Milyaran Petrodollar tetap tak akan membantu Saudi menggolkan rencana Fahd. Jerusalem yang satu akan tetap berada selamanya di bawah kedaulaun Israel. Tapi sekali ini Saudi tampaknya bertekad menyelesaikan masalah Palestina dengan berbagai cara. Di Saudi kini tinggal sekitar 300 ribu orang Palestina berketrampilan tinggi yang bekerja di sektor industri minyak. Jika soal Palestina tak secepatnya selesai. Saudi mengkhawatirkan mereka akan menimbulkan banyak problem sosial politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus