Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Agar Rawan Mati Berarti

Bocah delapan tahun tewas pada malam pertama. Usia minimum pernikahan kembali diperjuangkan.

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar mengejutkan itu datang dari Haradh. Kota kecil di Provinsi Hajjah di perbatasan Yaman dan Arab Saudi itu menjadi perhatian dunia tiga pekan lalu, setelah beredar cerita seorang bocah perempuan berusia 8 tahun tewas pada malam pertama pernikahannya.

Kisah ini pertama kali diungkapkan Arwa Othman, Ketua Yayasan Cerita Rakyat Yaman sekaligus aktivis hak asasi manusia, kepada Reuters. Ia menuturkan nona cilik yang disebut Rawan itu tewas setelah melangsungkan pernikahan dengan seorang pria 40 tahun. "Setelah hubungan seksual pertama, dia mengalami perdarahan hebat karena rahimnya sobek," kata Othman. "Keluarga mertua Rawan membawanya ke klinik, tapi ia tak tertolong."

Sejumlah pihak mengutuk kisah ini sejak terungkap di media internasional. Kepala Hubungan Luar Negeri Uni Eropa ­Catherine Ashton mendesak pemerintah Yaman menyelidiki kasus tersebut hingga tuntas dan menyeret orang-orang yang bertanggung jawab ke meja hijau. Namun Gubernur Provinsi Hajja Ali al-Qaissi membantahnya. Kepada kantor berita SABA, dia menyatakan melihat dengan mata kepala sendiri Rawan masih hidup, lagi pula sehat.

"Tapi dia kini berada dalam pusat perlindungan sosial setelah menjalani tes fisik dan psikologi di rumah sakit setempat," ujar Al-Qaissi. Cerita berbeda dilaporkan penggiat hak anak Ahmed al-Quraishi, ketua organisasi Siyaj. Menurut Al-Quraishi, sejumlah aktivis yang menyelidiki informasi ini memastikan Rawan benar-benar tewas.

Keprihatinan mengenai pernikahan dini di Yaman kembali menjadi perhatian dunia. Rawan bukan korban pertama di Yaman. Pada 2011, Elham Assi yang baru berusia 13 tahun meninggal karena perdarahan hebat setelah diperkosa suaminya pada malam pertama. Sang suami langsung ditahan polisi.

Kisah yang paling menghebohkan dunia terjadi pada 2008. Nujood Ali, yang saat itu berusia 10 tahun, mengajukan gugat cerai di pengadilan Ibu Kota Sanaa. Perjuangan Nujood kemudian ditulis menjadi sebuah buku bersama seorang wartawan Prancis dan menjadi salah satu buku terlaris di dunia. Kasus Nujood kemudian memicu perdebatan nasional tentang pernikahan dini di Yaman pada 2009.

Sejatinya, hingga 1999, Yaman memiliki aturan usia minimum pernikahan, yaitu 15 tahun, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang kemudian dicabut atas desakan sejumlah pihak yang menilai hukum ini melanggar ajaran Islam. Pada 2009, mayoritas anggota parlemen Yaman menetapkan usia pernikahan minimum 17 tahun. Tapi tentangan dari sejumlah kelompok radikal Islam membuat rancangan aturan ini batal disahkan hingga sekarang.

Syekh Mohammed al-Hazmi, anggota Partai Islah Yaman, merupakan salah satu penentang aturan ini. Menurut Hazmi, penetapan usia minimum pernikahan justru melanggar Al-Quran dan Hadis. "Apa-apa yang tidak dilarang dalam agama berarti diperbolehkan," Hazmi menegaskan kepada AP.

Interpretasi agama, adat, dan kemiskinan—Yaman negara termiskin di Jazirah Arab—menurut Menteri Hak Asasi Manusian Hooria Mashhour, menjadi penyebab tingginya angka pernikahan dini di Yaman. Berdasarkan data Badan Dunia untuk Anak (Unicef) pada 2006, sekitar 14 persen anak perempuan Yaman menikah di bawah usia 15 tahun. Sedangkan 52 persen lainnya menikah di bawah usia 18 tahun.

"Hampir separuh dari 24 juta rakyat Yaman berada di bawah garis kemiskinan dan memiliki banyak anak. Untuk meringankan beban mereka, sang ayah kemudian menikahkan anak perempuannya pada usia dini," tutur Mashhour dalam surat elektronik kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Kematian Rawan kembali membakar semangat penggiat hak asasi manusia dan anak Yaman. Mashhour menegaskan akan memperjuangkan kembali aturan batas minimum pernikahan, yang telah terbengkalai selama empat tahun, ke parlemen. "Menjelang pemilu mendatang, akan semakin banyak perempuan dan anggota parlemen dengan pemikiran terbuka yang terpilih. Saya yakin aturan ini akan segera terlaksana."

Sita Planasari Aquadini (Huffington Post, Al-Jazeera, Pacific Standard)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus