Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tiga tahun memimpin Medecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas, Unni Krishnan Karunakara akan mengoperkan kursinya kepada penerusnya pada akhir September ini. Toh, pekan-pekan terakhir tugasnya tetap diwarnai sejumlah agenda mendesak—yang membawa dia ke Indonesia pada akhir Agustus lalu.
Salah satu agendanya selama di Jakarta adalah membahas penyakit negara-negara miskin. "Indonesia amat berpengaruh di ASEAN dan Organisasi Konferensi Islam," kata Unni kepada Tempo. "Maka kami amat mengharapkan bantuannya untuk mengatasi penyakit di negara-negara miskin," dia menambahkan.
Unni khawatir terhadap efek perjanjian Trans-Pacific Partnership—yang membahas perdagangan bebas di antara sejumlah negara Asia-Pasifik. Diikuti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Vietnam, perjanjian ini, menurut Unni, berpotensi menyulitkan akses obat murah bagi masyarakat kecil.
MSF adalah organisasi internasional yang menyediakan pelayanan kesehatan di wilayah "panas", seperti area perang dan konflik, lokasi bencana, serta daerah epidemi, juga bagi mereka yang ditelantarkan sistem. Dengan obat generik murah, organisasi itu telah menyelamatkan ribuan nyawa. "Sebanyak 80 persen obat kami untuk pasien HIV adalah obat generik," ujar Unni. Itu sebabnya Presiden MSF ini sungguh-sungguh menekankan pentingnya akses obat murah.
Beroperasi di sekitar 70 negara di dunia, MSF pernah hadir di Indonesia selama 14 tahun. Pada 2009, mereka pergi karena, "Kapasitas pemerintah Indonesia menyediakan sarana kesehatan saat bencana kami pandang sudah kuat," kata Unni.
Bergabung dengan MSF pada 1995 dalam program pemberantasan tuberkulosis di Ethiopia, dokter 49 tahun ini telah bekerja di sekitar 80 negara. Dia juga tercatat sebagai salah satu profesor yang mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Columbia, Amerika Serikat.
Setelah puluhan tahun melanglang, dokter asal India ini berencana kembali ke tanah airnya selepas serah-terima tugas. Agenda pertamanya setelah "pulang kampung" adalah bersepeda 5.000 kilometer melintasi India untuk menggalang dana bagi MSF.
Sebelum meninggalkan Jakarta pada pengujung Agustus, Unni memberikan wawancara kepada wartawan Tempo Hermien Y. Kleden, Sadika Hamid, dan Philip Jacobson.
Apa saja urgensi utama untuk penyakit-penyakit negara miskin yang butuh perhatian khusus?
Riset! Sedikit sekali riset penyakit khas negara miskin, seperti penyakit tidur (African trypanosomiasis), yang banyak menyerang penduduk Afrika. Contoh lain penyakit kala-azar, yang banyak diderita penduduk India, Bangladesh, dan Nepal. Penelitian HIV anak-anak juga amat sedikit. Di negara kaya, tak ada anak yang mengidap HIV. Di Afrika, setiap tahun 500 ribu anak dilahirkan dengan virus itu. Pasar telah gagal memenuhi kebutuhan orang miskin, jadi sekarang saatnya negara turun tangan.
Anda membahas soal itu dengan Menteri Kesehatan?
Kami meminta bantuan Menteri Kesehatan Indonesia menyuarakan ke dunia internasional pentingnya riset dan pengembangan penyakit yang diderita penduduk negara miskin. Kita tahu sebagian besar penelitian obat dilakukan oleh industri farmasi dan mereka cenderung mau cari untung saja.
Memang Indonesia bisa melakukan ini sendirian? Kan, ini harus menjadi inisiatif internasional?
Tapi harus ada negara yang menyatakan penyakit-penyakit itu terabaikan. Setiap tahun, pada Mei, semua menteri kesehatan datang ke Jenewa menghadiri Majelis Kesehatan Dunia, badan pembuat keputusan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di sinilah kita mengajukan topik dan mendapat kesepakatan internasional. Jika tercapai mufakat, (institusi internasional) akan mendanai inisiatif ini.
Seberapa besar dampak pendanaan global tersebut di bidang kesehatan masyarakat?
Lama sekali kita tak tahu cara mendanai pengobatan HIV di Afrika. Sekarang ada Global Fund, yang mendapat bantuan uang dari berbagai sumber. Pada 2000, tak satu pun pasien di Afrika mendapat perawatan dengan dana publik. Sekarang ada 8 juta orang (yang telah dibantu). Biaya merawat pasien HIV pada masa ini adalah US$ 10.500 per orang (kini setara dengan Rp 126 juta). Sekarang hanya US$ 150 per kepala. Kita bisa menekan harganya karena menggunakan obat generik. Jadi, harga akan turun jika ada kompetisi. Tapi Trans-Pacific Partnership memaksa negara membatasi produksi obat generik dan memperpanjang paten.
Sejauh mana kesepakatan Trans-Pacific Partnership bisa mempengaruhi kesehatan masyarakat?
Kami mendiskusikan hal ini dengan pejabat di Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kesehatan Indonesia. Beberapa aspek perjanjian itu, terutama yang berkaitan dengan obat generik dan paten, patut kita khawatirkan. Jika berjalan terus seperti sekarang, pengaruhnya pada kemampuan kita merawat pasien amat besar. Negara yang mau menerapkan jaminan kesehatan juga akan menghadapi masalah. Kami telah mengangkat isu itu ke pemerintah Indonesia dan kami tahu ÂASEAN akan membahas masalah ini dalam beberapa bulan ke depan. Secara global, perjanjian ini akan lebih membatasi hak kekayaan intelektual. Misalnya, Indonesia bakal lebih susah mengembangkan industri obat generik.
Dan Anda menentangnya?
Kami tak menentang upaya orang mencari untung, tapi keuntungan bisnis tak boleh mengalahkan hidup orang.
Bagaimana Indonesia bisa mempengaruhi negosiasi negara-negara yang terlibat Trans-Pacific Partnership?
Pemerintah Indonesia dapat membawanya ke forum ASEAN, berdiskusi dengan negara yang ikut negosiasi. Saya tahu ÂASEAN akan membentuk blok ekonomi. Jika empat negara ASEAN ikut perjanjian dagang dengan negara lain, pasti ada implikasinya.
Ada komentar terhadap kebijakan Indonesia dalam mengatur produksi obat generik?
Indonesia telah mengeluarkan lisensi wajib untuk obat HIV. Ini tanda negeri Anda berupaya memprioritaskan hidup orang di atas keuntungan. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sepakat bahwa negara anggota dapat mengeluarkan lisensi wajib. Artinya, khusus untuk kepentingan kesehatan publik, mereka dapat membebaskan diri dari paten dan memproduksi obat generik.
Apa kejadian paling berat yang pernah Anda alami sebagai seorang dokter lintas batas?
Pada 2002, terjadi krisis nutrisi di ÂAngola, yang sudah terlibat perang sipil panjang. Tatkala perang berhenti, penduduk berdatangan kembali. Saya menyaksikan begitu banyak manusia merangkak di jalanan karena terlalu lemah untuk berdiri. Kami mengirim truk-truk untuk mengangkut korban ke klinik. Tapi mustahil mengangkut mereka semua. Jadi, setiap truk kembali, sebagian orang sudah mati. Saya betul-betul syok.
Bukannya Anda sudah sering menyaksikan kondisi berat di medan perang?
Berulang kali saya melewati situasi berat dan berbahaya, menyaksikan manusia bertahan hidup dalam perang. Tapi, bagi saya pribadi, peristiwa di Angola jauh lebih berat: saya menyaksikan dari dekat pria, wanita, dan anak-anak yang tak berdaya bahkan untuk berdiri. Mereka betul-betul hanya tulang berpalut kulit. Saya mengingat semua detail itu dengan terang-benderang, sampai hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo