Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana pengadilan di Blackfriars Crown, London Timur, Inggris, tegang setelah hakim Peter Murphy meminta terdakwa, nona berinisial D, 22 tahun, melepas cadarnya, Senin pekan lalu. Pengacara nona D memprotes, tapi Murphy beralasan penggunaan niqab atau cadar yang hanya memperlihatkan sepasang mata pemakai itu bisa mengintimidasi secara psikologis kepada para saksi. Terdakwa, kata dia, mendapat keistimewaan tak terlihat muka di depan hukum dengan dalih tradisi agama.
"Ini bukan masalah diskriminasi agama, melainkan untuk menegakkan supremasi hukum di masyarakat demokratis," ujar Murphy. Nona D dituduh melakukan percobaan pembunuhan, Maret lalu, dan kini menghadapi sidang pengadilan.
Namun terdakwa menolak permintaan hakim. Dia menyatakan tidak bisa membuka cadarnya di depan laki-laki yang bukan muhrimnya sesuai dengan ajaran agama Islam. "Terdakwa hanya mau membuka penutup wajah di depan wanita, tidak di depan laki-laki," kata Claire Burtwistle, pengacara nona D.
Murphy menunda pelaksanaan sidang sampai terdakwa mau melepaskan cadarnya. Dia menambahkan, terdakwa memang memiliki hak menggunakan cadar sesuai dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Tahun 1998. Namun proses hukum itu memiliki kaidah lebih tinggi. Menurut dia, ada prinsip proses keadilan yang terbuka dan tidak tunduk pada agama mana pun.
Sikap Murphy mengilhami pengadilan lain untuk memaksa wanita muslim melepaskan cadar saat menjalani sidang. Pengadilan Preston Crown di Lancashire memaksa Shaheda Lorgat, 49 tahun, melepas cadarnya selama menjalani sidang dengan tuduhan pencurian 21 ribu pound sterling di kampus tempat dia bekerja, Rabu pekan lalu. Ini bukan "benturan" pengadilan versus cadar yang pertama. Pada 2007, pengadilan yang sama menolak pengajuan permohonan banding siswa yang dilarang memakai cadar di sekolah.
Kini bukan cuma pengadilan yang mengaku terganggu oleh pemakaian hijab atau penutup wajah ini. Dua pekan lalu, The Birmingham Metropolitan College melarang anggota staf pendidik, murid, dan tamu yang berkunjung memakai cadar. Alasannya, penggunaan cadar bisa mengganggu komunikasi dalam proses belajar-mengajar.
Pemerintah Inggris memang memberikan kebebasan kepada sekolah mengatur kebijakan internal. Meski demikian, mereka juga wajib menaati Undang-Undang Kesetaraan 2010 bahwa sekolah tidak boleh mendiskriminasi, melecehkan, atau mengorÂbankan murid berdasarkan seks, ras, cacat fisik, dan agama. Kebijakan di The Birmingham Metropolitan College itu akhirnya ditunda setelah muncul berbagai penolakan.
Rumah-rumah sakit juga mengajukan alasan yang sama untuk melarang cadar: mengganggu komunikasi, terutama pada saat menangani pasien dalam kondisi darurat. Surat kabar Telegraph pekan lalu mengungkapkan bahwa 17 rumah sakit di Inggris telah melarang penggunaan cadar terhadap anggota stafnya. Kebijakan ini juga diberlakukan di sejumlah rumah sakit di wilayah dengan populasi muslim yang tinggi. Di London Timur dan Bradford, misalnya, anggota staf medis hanya diperbolehkan mengenakan cadar pada saat istirahat. Menghadapi ketegangan ini, Menteri Kesehatan Dan Poulter berjanji akan meninjau semua aturan dan meminta regulator melarang penggunaan penutup ini saat bekerja.
Pengadilan, sekolah, rumah sakit, dan tempat-tempat pemeriksaan identitas merupakan wilayah yang terusik oleh keberadaan pemakai cadar. Menteri Dalam Negeri Inggris Jeremy Browne mempertimbangkan pelarangan penggunaan cadar di titik-titik itu. Pemerintah akan berhati-hati dalam menerapkan aturan yang dianggap mendiskriminasi agama.
Jika Inggris menerapkan aturan itu, mereka negeri Eropa yang ketiga setelah Prancis dan Belgia yang melakukannya. Prancis menerapkan pelarangan cadar di tempat umum dua tahun lalu. Alasannya sama saja: demi keamanan, memudahkan komunikasi, dan memperlancar hubungan sosial di masyarakat. Prancis juga khawatir menjadi sasaran teror.
Prancis adalah negara kedua dengan penduduk muslim terbesar, 6 juta orang. Bagi mereka yang melanggar aturan akan dikenai denda 30 ribu franc dan hukuman satu bulan penjara. Hukuman bisa berlipat jika para pelanggar berumur di atas 18 tahun. Meski sempat mendapat tentangan, aturan itu jalan terus.
Belgia menerapkan aturan itu dengan alasan keamanan dan memudahkan polisi mengidentifikasi orang. Dalam voting di senat, aturan ini mendapat dukungan penuh. Hanya dua orang yang memilih abstain. Di Belgia, para pelanggar akan menghadapi ancaman—ini lebih ringan dibanding hukuman di Prancis—denda 137,5 franc dan hukuman tujuh hari penjara.
Penolakan pun bermunculan dari para politikus, aktivis hak asasi manusia, dan warga muslim. Mereka menilai rencana pemerintah itu merupakan kemunduran. Pemimpin Partai Liberal Demokrat, Nick Clegg, mengatakan negara tidak perlu mengatur hingga masuk privasi. Menurut dia, aturan itu cukup berlaku di Prancis dan Belgia. "Ini adalah negara bebas dan mereka bebas memakai apa yang mereka inginkan," ucap wakil perdana menteri ini.
Clegg menilai rencana ini lebih didaÂsari peristiwa bom bunuh diri yang melibatkan empat warga muslim pada 7 Juli 2006. Serangan ini menewaskan 56 orang dan melukai ratusan warga. Menurut dia, pemerintah tidak perlu mengeluarkan kebijakan yang mendiskriminasi. Umat Islam, kata dia, harus diperlakukan sama dengan warga lainnya. "Tidak semua muslim adalah teroris," ujarnya.
Gerakan penolakan kebijakan sekolah dan pemerintah ini juga muncul di jejaring sosial Facebook. Gerakan ini mampu mengumpulkan 9.000 dukungan hanya dalam dua hari. "Muslimah terpinggirkan dalam kehidupan publik di Inggris, pendidikan, dan tenaga kerja. Keputusan seperti ini berbahaya," kata anggota Serikat Pelajar Nasional, Aaron Kielty, salah satu pencetus petisi itu.
Harian Sun—salah satu surat kabar dengan oplah terbesar di Inggris—menerbitkan pemberitaan di halaman depan: debat nasional soal pelarangan jilbab perlu dilakukan sebagai keseimbangan antara keamanan negara dan keagamaan, Selasa pekan lalu. Meski begitu, media itu menyebutkan Inggris memiliki tradisi yang memberi toleransi besar bagi penganut agama mana pun.
Menurut jajak pendapat yang digelar lembaga Pew Research pada 2010, dukungan publik Inggris terhadap kebijakan pelarangan penggunaan cadar relatif kecil. Dukungan tertinggi adalah di Prancis dan Jerman. Inggris hanya kalah dari Amerika Serikat, yang mayoritas warganya menentang pelarangan penggunaan cadar.
Saat ini, jumlah warga muslim yang menetap di Inggris sekitar 2,7 juta. Namun pengguna cadar di sana tidak terlalu banyak. The Islamic Establishment, toko aksesori pakaian online dan salah satu penjual burqa, menyebutkan hanya bisa menjual 50 buah cadar selama sepekan. Cadar dihargai 3-5 franc.
Perdana Menteri David Cameron mengatakan tidak akan mendukung undang-undang yang melarang wanita muslim berpenutup wajah di jalanan. Namun dia menyebutkan pemerintah memiliki hak menetapkan pakaian yang bisa digunakan di tempat kerja. Downing Street menyatakan Cameron juga akan mendukung sekolah jika mereka ingin memaksakan aturan yang melarang cadar.
Eko Ari Wibowo (Telegraph, Guardian, The Independent, Huffington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo