TUGAS pastoral keempat rohaniwan itu telah selesai. Gereja Katolik Singapura tak lagi mcmberikan tempat bagi mereka. Karena itu, tak ada alasan bagi Imam Patrick Goh untuk berlama-lama di biaranya. Menurut harian Tl7e Straits Times yang mengutip konfirmasi Vikar Jenderal Francis Lau, ia "berlibur ke Kanada." Dua rekannya bahkan sudah lebih dulu meningalkan 110 ribu urnat Katolik di negara pulau yang berpenduduk 2,6 juta itu. Seperti diberitakan juga oleh The Straits Times, Pastor Edgar d'Souza hengkang ke Australia "bergabung kembali dengan keluarganya". Sedang rekannya, Gauillaume Arotcarena, "pulang ke negara asalnya, Prancis". Dan tampaknya mereka tidak akan menginjakkan kaki lagi di Singapura. Nama mereka sudah tercemar karena dakwaan bahwa mereka terlibat dalam usaha menggulingkan pemerintah. Karena itu jugalah, Uskup Agung Gregory Yong terpaksa menjatuhkan sanksi ekskomunikasi. Hingga awal pekan ini tinggallah Pastor Joseph Ho yang masih bertahan di biaranya. Gereja tak bisa berbuat apa pun. Terlebih setelah pemerintah membongkar apa yang disebut sebagai persekongkolan Marxis yang melibat 16 tokoh masyarakat dan gereja di Singapura. Ditambah dua warga negara Singapura di perantauan yang ikut dituding sebagai biang persekongkolan tadi. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan pula adanya jaringan internasional, mencakup Al Santos, aktor dari kelompok drama radikal Philippines Educational Theater Association (PETA), dan Pastor Edicio de la Torre dari kelompok sempalan Christian for National Liberation yang pro-Partai Komunis Filipina. Santos membantah segala tuduhan. Kepada wartawan The Straits Times dikatakannya, "Saya bukan seorang komunis. Bahkan saya merasa tidak berideologi." Satu hal pasti, tuduhan pemerintah sedikit banyak telah mencemarkan gereja. Mengapa komplotan 16 mendambakan revolusi yang mendasarkan diri pada konspirasi Marxis ? Jawabannya dicetuskan Vincent Cheng - tersangka berat yang dituduh sebagai otak komplotan - dalam wawancara di layar TV Singapura pekan lalu. Menurut dia, Singapura memerlukan perubahan mendasar, yang mustahil dilakukan melalui perjuangan kelas. Alasannya: kelas menengah di Singapura telah mengaburkan polarisasi dan perbedaan kelas. Maka, alternatif lain yang memungkinkan adalah dengan menggunakan institusi gereja. Cara lain adalah dengan menggarap buruh, pemuda, dan partai politik, masing-masing dalam posisinya sebagai kelompok penekan. Diakuinya bahwa kekerasan sebagai cara bukanlah hal yang diharamkan, sejauh tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan. Tapi di atas itu semua, mereka membutuhkan waktu dan kesabaran. Hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah plot menggulingkan pemerintah ini berlandaskan ajaran teologi pembebasan - pemikiran ketuhanan yang berangkat dari kondisi masyarakat setempat yang kalau perlu akan menggunakan kekerasan sebagai alat. Menjawab pertanyaan empat wartawan dalam wawancara televisi pekan lalu, Vincent Cheng, yang oleh pemerintah dianggap sebagai penggerak utama konspirasi Marxis, mengakul bahwa ia sudah mulai beraksi sejak tahun 1981. Dikatakannya gagasan makar itu adalah hasil pemikiran Tan Wah Piaw, mahasiswa hukum Universitas Oxford, London. Karena itu, klop sudah "skenario pemerintah" dengan "pengakuan dosa" Cheng. Satu hal yang perlu dicatat adalah keberhasilan PM Lee Kuan Yew membendung komunisme pada tahap dini. Karena itu, tak heran jika generasi penerus - yang tidak merasakan langsung perjuangan melawan komunisme di akhir tahun 50-an - mempunyai pemikiran searah: tidak memberi kesempatan ideologi tersebut berkembang di sana. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini