Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"SAUDARA Suchinda mundurlah, atau saya mati," seru bekas Gubernur Bangkok Chamlong Srimuang ketika mengawali mogok makannya Senin pekan lalu. Tapi Chamlong mengakhiri mogoknya sebelum mati, dan Perdana Menteri Suchinda Kaprayoon belum juga mundur Sabtu pekan lalu, atau enam hari kemudian. Inilah bagian dari kericuhan antara pemerintah Muangthai hasil pemilu 22 Maret lalu, hasil pemilu yang akhirnya mendudukkan Suchinda yang bukan anggota partai pemenang selaku perdana menteri, dan partai oposisi yang memprotesnya. Bagaimanapun, keputusan Chamlong mengakhiri mogok makannya melegakan banyak orang. Soalnya, bila ia sampai meninggal, dikhawatirkan satu kerusuhan besar bisa melanda Negeri Thai. Jenderal yang memeluk Buddhisme dan hidup sebagai setengah pertapa ia menjauhi banyak hal keduniawian, antara lain makan seperlunya dan menjauhi hubungan seks itu memang sangat dicintai para pendukungnya dalam partai Palang Dharma. Tapi tak berarti ia mundur dari tuntutannya, meski ia mundur dari partai Palang Dharma. Yang dilakukannya kemudian adalah memimpin para demonstran menuju gedung Parlemen, Sabtu itu juga. Tapi gagal, karena dihalangi tentara yang menyandang M16 dan didukung oleh enam mobil penyemprot air. "Tenang, tenang. Kembali ke tempat masing-masing," teriak Chamlong kepada para demonstran, setelah tahu tak mungkin menembus barikade tentara. Inilah demonstrasi terbesar sejak 1976 di Thai, demonstrasi yang meledak karena PM Suchinda dianggap tak konsekuen dengan janjinya. Tahun lalu, ketika Jenderal itu memimpin kudeta militer, alasannya karena ia ingin membersihkan pemerintahan dari kaum koruptor. Tapi pertengahan bulan lalu, dari 49 menteri yang diangkatnya, sebelas di antaranya adalah orang-orang yang tahun lalu dituduh oleh Suchinda sendiri sebagai koruptor. Bahkan, sebelas di antaranya sampai kini masih dalam pengusutan. Dan dari sebelas orang itu, tiga di antaranya diangkat menjadi wakil perdana menteri, dan masih berstatus tahanan. Montri Pongpanich, salah satu di antara tiga wakil perdana menteri itu, misalnya, menghadapi tuduhan menyimpan harta gelap senilai US$ 12 juta. Menurut sejumlah pengamat, mengapa Jenderal Suchinda terpaksa tak konsekuen, karena ia merasa berutang budi pada koalisi lima partai yang mendukungnya menjadi perdana menteri. "Ia tak mempunyai pilihan lain kecuali mengangkat orang-orang titipan kelima partai itu dalam kabinetnya, meski mereka korup," kata Sutichai Yoon, redaktur harian The Nation. Adapun berkukuhnya Suchinda untuk tak meluluskan kehendak oposisi agar ia mundur, memang ada dasar hukumnya. Konstitusi baru Muangthai yang diresmikan tahun lalu -- merupakan hasil kerja sebuah komite khusus yang dibentuk junta militer -- tak lagi menyebutkan bahwa calon perdana menteri harus anggota parlemen. Dari sudut ini tuntutan demonstran agar ia mundur karena bukan anggota partai pemenang, tak punya dasar hukum. "Kalau saya sampai mundur karena didesak orang-orang di jalan, maka setiap hari akan terjadi pergantian pemerintahan di Muangthai," kata Suchinda. Maka itulah, demonstran yang dipimpin oleh Chamlong mengubah tuntutan. Kini yang diminta adalah perubahan konstitusi melalui sebuah amandemen. Dan dalam konstitusi baru nanti haruslah dicantumkan bahwa perdana menteri dipilih dari salah seorang anggota parlemen. Tuntutan oposisi itu akhirnya terpenuhi, Sabtu pekan lalu, setelah mereka bertemu dengan parlemen Thai. "Perubahan konstitusi, setidaknya jalan keluar untuk mengakhiri perbedaan pendapat," tutur Athit Urairat. Ketua parlemen Muangthai itu juga menjelaskan bahwa resolusi amandemen telah disampaikan kepada Raja Bhumibol Adulyadej. Sulitnya, parlemen dikuasai oleh pendukung Suchinda. Sementara itu, sejumlah radio dan televisi masih dikenai larangan memberitakan kegiatan kaum oposisi, kecuali televisi milik angkatan bersenjata dan sebuah jaringan radio yang menjadi corong penguasa. Toh gelombang demonstrasi makin menjalar ke seluruh negeri, terutama ke Provinsi Chiangmai di utara, pekan lalu. Tampaknya, gerakan ini sulit surutnya, sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Bila memang protes jalan terus, satu-satunya jalan untuk mengakhiri krisis politik di Muangthai kali ini adalah turun tangannya Raja Bhumibol Adulyadej. Berdasarkan UU tradisional yang berlaku di Negara Gajah Putih ini, raja mempunyai wewenang memberikan perintah kepada parlemen menyusun amandemen, seperti yang dituntutkan oleh demonstran. Tapi raja pun berhak memberi jalan keluar kepada pemerintah yang dirundung krisis politik, dengan misalnya mengimbau oposisi untuk kompromistis. Kewibawaan raja yang didukung oleh UU tradisional ini memang masih menentukan. Jadi, kata para pengamat, tampaknya Raja bakal menitahkan parlemen mengadakan amandemen bagi perubahan konstitusi secepatnya. Setelah itu, barulah ia perintahkan agar Suchinda mengundurkan diri. Kemungkinan lain, yakni kudeta militer, tampaknya sulit. Hampir seluruh angkatan bersenjata kini berada di bawah pengaruh Suchinda dan kelompoknya. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo