YEREVAN jadi kota hantu. Aksi besar-besaran yang dinamakan "pertemuan solidaritas", dan sedianya dilaksanakan di ibu kota Republik Soviet Armenia itu, Sabtu pekan lalu, keburu dihadang oleh ribuan serdadu. Sementara itu, beberapa helikopter terus meraung-raung di atas kota. Menurut kantor berita Reuters, masih sempat terjadi demonstrasi kecil, tapi selanjutnya senyap. Kabarnya, para pimpinan aksi lalu mengubah cara protes. Yakni, di akhir pekan itu mereka mogok total, artinya tak keluar dari rumah sama sekali. Konon, di hari itu, di jalan-jalan yang terlihat cumalah tentara dan polisi. Itulah reaksi orang-orang Armenia setelah resolusi yang dikirimkan ke Moskow, setebal ribuan halaman, kandas. Tuntutan mereka, agar wilayah Nagorno-Karabakh, yang sejak 1923 di bawah pemerintahan Republik Soviet Azerbaijan, dimasukkan lagi dalam Republik Soviet Armenia, ditolak mentah-mentah oleh para penguasa di Kremlin. Pimpinan PKUS (Partai Komunis Uni Soviet), dalam sidang hari Rabu pekan lalu, memutuskan tuntutan itu tak bisa dipenuhi. Sebagai gantinya, direncanakan perbaikan kondisi sosial dan ekonomi di Nagorno-Karabakh. Protes orang Armenia, seperti diketahui, meledak beberapa waktu lalu salah satunya karena pembangunan di Nagorno-Karabkh, yang 75% penduduknya orang Armenia, dianaktirikan oleh pemerintah Azerbaijan. Untuk itu, pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev menawarkan perbaikan, yang oleh kebanyakan pengamat dianggap langkah tak terduga. Bapak glasnost itu menyatakan perlunya perubahan sistem pertanian. Yaitu, ladang pertanian mestinya dikelola dan dimiliki oleh para petani, bukan negara. Ini bukan langkah menuju kapitalisme. Bagi Gorbachev sistem koperasi model lama sudah kelewat primitif. Yang modern itu, kata dia, petam mestinya secara bersama memiliki balai-balai pertanian, mesin-mesin, dan membagi sendiri hasil penjualan. Selama ini, mereka praktis menjadi pegawai koperasi, yang mendapat gaji tetap per bulan. Tapi harian Pravda berbeda nadanya. Corong utama PKUS itu mengecam orang Armenia sebagai "antisosialis", pimpinan gerakan mereka dituduh diracuni oleh pengaruh dari luar negeri. Yakni pengaruh pendapat yang percaya bahwa sosialisme di Soviet bisa dikalahkan dengan memecah-belah kerukunan antarsuku bangsa. Soal suku bangsa di negeri yang hampir separuh benua itu memang selalu rawan. Seperti demonstrasi orang Tartar, yang pekan lalu meledak lagi di Moskow. Mereka menuntut agar diizinkan kembali ke tanah leluhur di Semenanjung Krim. Sedangkan demonstrasi lain, yang tak kalah hebatnya, juga pernah dilakukan oleh orang-orang Republik Soviet Ukraina, Bellorussia, Georgia, dan Uzbekistan. Tuntutan mereka ya itu-itu juga: minta otonomi yang lebih leluasa. Maka, pengembalian Nagorno-Karabakh ke dalam Armenia kembali akan berdampak politis. Sebab, kalau daerah-daerah lain mengikuti langkah Armenia, apa yang bakal terjadi pada persatuan bangsa dan negara, tulis Pravda. Dan sampai pekan lalu 15 republik mengecam pertikaian Armenia Azerbaijan itu. Toh, Kremlin tetap mencoba menarik hati orang Armenia. Dua pekan lalu pemimpin Partai Komunis dan Kepala Polisi Kota Sumgait di Azerbaijan dipecat dari jabatan dan keanggotaannya dalam partai Sedangkan wali kota Sumgait hanya disingkirkan dari jabatannya. Mereka dianggap bertanggung jawab atas bentrokan orang Armenia dan Azerbaijan di Sumgait, yang menewaskan 32 orang dan melukai hampir 200 orang. Kerusuhan ketika itu, menurut saksi mata sungguh menakutkan: terjadi perampokan dan perkosaan terhadap orang Armenia. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini