"NEGARA," kata Nietzsche," adalah monster yang terdingin hatinya ddibanding dengan semua monster. Dan dengan hati dingin pula ia berjusta." Ia mengucapkan itu seakan-akan sebagai sabda Zarathustra, seorang nabi yang dikisahkannya dalam Also Sprach Zarathustra: seorang nabi yang naik ke gunung pada umur 30 dan turun menemui manusia kembali 10 tahun kemudian. Adapun bagi Zarathustra, justa yang merayap dari mulut negara, sang monster, bermula pada dalih ini: "Aku, negara, adalah rakyat . . . Tak ada yang lebih kesar di muka bumi dibandingkan aku, telunjuk pengatur dari Tuhan'." Tapi -- sayang sekali - negara tens saja hadir di atas dan di sekitar kita. 'Telunjuk pengatur dari Tuhan" itu pada akhirnya tak bisa dielakkan. Manusia umumnya bukanlah Superman. Hanya sebuah impian yang sia-sia untuk mengharapkan "orang kebanyakan" bisa jadi manusia yang serba unggul dan tak perlu untuk diatur, atau dibimbing, atau dibutuhkan kesetiaan dan pengabdiannya. Hanya sebuah utopia untuk mengharapkan negara hilang. Lenin dan kaum komunis pernah memperhitungkan bahwa pada suatu ketika negara akan mundur memudar, tapi apa yang terbukti? Barangkali itulah sebabnya belakangan ini orang (maksud saya, tentu, para ahlil mulai berpikir kembali tentang "negara" - baik lantaran ide deregulasi maupun tidak. Adakah dia benar satu "monster", yang mengekang dan menindas? Ataukah dia seperti konon kata Hegel -- si penjaga kepentingan dan kebaikan bersama? Bila ia mengekang, siapakah yang mendorongnya untuk tertindak represif, dan siapa pula yang dikekangnya? Bila ia penjaga kepentingan bersama, bagaimana terjadinya satu kesimpulan, bahwa tindakan "A" adalah buat "kepentingan bersama" dan bukan kepentingan suatu golongan yang sedang berkuasa atau dominan? Bisakah, dan sejauh mana bisa, negara punya semacam otonomi dari pelbagai desakan golongan di masyarakat? Dengan pertanyaan semacarn itu lalu lalang di kepala, pada suatu hari saya pergi ke seorang dokter yang memeriksa kuping kanan saya ia mengatakan bahwa kuping itu menderita infeksi, suatu keadaan yang tiap kali akan berulang. Tapi ia menghibur, "Kuping adalah karunia Tuhan yang memang sering terganggu Bila Anda bukan orang pemerintah, kuping tersedia untuk dijewer. Bila Anda pejabat, telinga tersedia untuk menerima kritik. Keduanya tidak enak." Saya tahu dia bergurau. Tapi tiba-tiba dengan itu saya mendadak sadar (tanpa berseru "aha!") bahwa tak semua orang setuju dengan Prof. Supomo yang dalam sebuah diskusi 43 tahun yang lalu - ketika sedang mencari dasar bagi negara kita menggambarkan "negara" ibarat bapak yang bijaksana bagi anak-anaknya yang disebut "rakyat". Bukankah, dalam pengalaman republik muda ini, sudah terbukti bahwa "si bapak" pernah berbuat salah terhadap "anak-anak"? Atau, setidaknya, terhadap sebagian dari "rakyat", lantaran "rakyat" bukanlah suatu kesatuan yang bulat dan absolut? Pada akhirnya meman harus diakui bahwa ketegangan antara "negara" dan "masyarakat warga negara" adalah sesuatu yang lumrah. Kini soalnya bagaimana mengatur agar ketegangan itu bisa berjalan beres - tanpa sengketa panjang ataupun kebohongan yang terus-menerus. Bagi banyak negeri yang sudah panjang usianya dalam mengatur perkara ini, jawaban sudah tersedia - tinggal meneruskan prakteknya dan memperbaikinya di sana-sini Tapi bagi negeri-negeri baru? Ada yang mengusulkan bahwa rumusnya adalah "demokrasi terpimpin". Ada yang menyarankan bahwa resepnya adalah "demokrasi dengan sentralisme". Tapi seorang rekan yang tldak mudah yakin punya sebuah cerita tentang hal yang satu ini. "Demokrasi terpimpin", kata rekan itu, seperti halnya "demokrasi dengan sentralisme", bisa dilukiskan dengan satu kisah Sepasang kakak beradik tinggal di sebuah rumah, tanpa orangtua. Pada suatu hari ad si kakak mengatakan kepada adiknya bahwa di rumah itu akan berlaku sistem "demokrasi dengan sentralisme". "Jangan takut," kata si kakak, "kau dan aku punya hak yang sama." "Contohnya, Kak?" tanya si adik. "Begini, sahut si kakak, yang kemudian naik pohon. Di bawah, adiknya menunggu. "Lihat," kata si kakak, lalu diludahinya kepala si adik. "Itu hakku sebagai pemimpin," kata si kakak. "Sekarang gunakan hakmu sebagai yang dipimpin: balas ludahilah aku!" Kita tahu bahwa itulah yang sulit dilakukan orang yang di bawah: meludah ke atas. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini