Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MONCONG senapan kedua marinir Amerika itu membidik seseorang yang terkapar sekarat di lantai masjid. Sasaran empuk yang tanpa senjata. "Dia hanya pura-pura mati," kata marinir pertama. "Ya, dia masih bernapas," sahut marinir kedua. Saat layar video mendadak lenyap, terdengar tembakan beruntun disertai kutukan, "Nah, mampus kau sekarang!" Rekaman video itu hanya sekelumit horor di Kota Fallujah, Irak, yang terungkap luas setelah digempur pasukan koalisi pimpinan Amerika, pertengahan November lalu.
Pekan lalu, Pentagon memutuskan menambah lagi 12 ribu anggota pasukan AS di Iraksehingga total menjadi 150 ribu personel hingga pertengahan Maret nanti. Berita ini kian menakutkan penduduk Fallujah yang menyaksikan bumi hangus kota itu, tiga pekan lalu. "Sangat mengerikan. Kami melihat ratusan mayat membusuk di mana-mana," ujar Nabila Hussein, 54 tahun, salah satu penduduk Fallujah, tentang peristiwa tersebut. Bumi hangus ini pula yang membuat 20 ribu lebih anggota Partai Keadilan berdemo besar-besaran di Jakarta pada Minggu, 28 November.
Menurut situs Radio Teheran, setelah sepekan penggempuran, pasukan koalisi mengharamkan masuknya badan-badan penyelamatan lokal maupun internasional. Padahal, "Begitu banyak warga sipil yang terperangkap tanpa pertolongan," kata Rana Sidani, juru bicara Komite Palang Merah Internasional di Irak. Itulah operasi militer Amerika paling brutal selama pendudukan Irak. Menurut stasiun televisi Al-Jazirah, setidaknya 1.600 orang terbunuh selama sepekan serangan. Sebagian besar warga sipil, karena pasukan Amerika membombardir serampangan banyak rumah, rumah sakit, bahkan masjid.
Menurut wartawan The New York Times yang nebeng pasukan koalisi, "Hampir setiap beberapa menit pasukan Amerika membombardir kota. Satu kompleks apartemen rata menjadi puing. Sebuah stasiun kereta api lenyap dalam kucuran bom setara satu ton bahan peledak." Selain itu, begitu serangan dimulai, pihak koalisi langsung menutup rapat semua pintu keluar Fallujah. "Saya tak ingin mereka keluar dari sini," kata satu perwira Amerika, Kolonel Michael Formica, kepada Associated Press. "Saya ingin mereka terbunuh atau tertangkap bila kabur."
Padahal, sedikitnya 50 ribu dari sekitar 300 ribu warga, yang ingin agar hartanya selamat dari penjarahan, masih bertahan di dalam kota. Maka, sungguh sepadan tindakan mereka dengan nama operasi itu: Operation Phantom Fury alias Operasi Amuk Setan. "Itu bagian dari upaya menyukseskan pemilu versi mereka," kata pejabat sementara Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring.
Atau, itu mungkin juga jawaban Bush atas kesangsian Kepala Urusan Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Javier Solana. Dalam satu pertemuan di Den Haag, awal November lalu, Solana meragukan pemerintah interim Irak mampu memenuhi jadwal pemilihan umum. "Dari sudut pandang keamanan, tak banyak harapan pemilu bisa berlangsung tepat waktu," kata Solana, seperti dikutip Aljazeera.net. Tapi, meski Bush tampaknya sependapat, ia optimistis kerikil penghalang itu bisa disingkirkan dengan melumat Fallujah yang dianggap sebagai basis kekuatan anti-Amerika di Irak. Seperti ingin meredam kesangsian Solana, Bush berkata kepada kantor berita AP sehari setelah operasi digelar, "(Operasi) itu bertujuan menjamin pemilu sesuai dengan rencana."
Namun, apakah lumpuhnya Fallujah otomatis menjamin amannya pemilu Irak yang diikuti sekitar 120 partai politik itu? "Kalaupun terselenggara, di mata rakyat Irak, terutama warga Fallujah, pemilu itu cacat," kata Tifatul. Ia menunjuk hengkangnya Partai Islam Irak, partai terbesar kaum Sunni di sana, dari pemerintahan Allawi, serta seruan boikot pemilu dari Asosiasi Sarjana Muslim (AMS). AMS punya pengaruh besar di kalangan penganut Sunni, yang populasinya mencakup sekitar 20 persen warga Irak. Ketua Komisi Independen Pemilu, Adil Al-Lami, memperkirakan 7 hingga 8 juta pemilih dari 14 juta pemilik hak suara akan turun memilih.
Selain itu, musuh nomor satu pemerintah dan koalisi, Abu Musab al-Zarqawi, masih lolos. Alih-alih menghancurkan tulang punggung perlawanan sebagaimana klaim Amerika, serbuan itu justru menebar kelompok-kelompok bersenjata eks-Fallujah ke Sammara, Mosul, Ramadi, bahkan Bagdad.
Darmawan Sepriyossa (The Guardian, Al-Jazirah, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo