Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Delapan Peluru yang Mengoyak Belanda

Belanda dilanda sejumlah ketegangan rasial menyusul pembunuhan sutradara Theo van Gogh. Sejumlah masjid dan gereja dibakar.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIDAH api dengan cepat melalap tiga ruangan di Masjid Helden, hanya sehari sebelum tibanya Idulfitri. Terletak di Provinsi Limburg, Helden adalah sebuah kota kecil di perbatasan Jerman-Belanda. Ada sejumlah warga muslim di kota itu, dan masjid menjadi tempat mereka beribadah dan berkumpul sekaligus bertukar kabar. Namun, api itu telah menghabiskan bangunan tersebut. ”Semuanya rusak parah, tak bisa digunakan sama sekali,” ujar Mohamed al-Amriti, imam masjid. ”Benar-benar menyesakkan,” ia melanjutkan. Sang imam tak mau berspekulasi tentang pelaku pembakaran. Juru bicara kepolisian Helden, Peter Raaij, lebih tegas. Katanya: ”Kami menduga kebakaran ini dilakukan secara sengaja.”

Beberapa hari sebelumnya, sebuah sekolah dasar Islam di Kota Eindhoven dikejutkan oleh ledakan bom. Tak ada murid yang terluka. Namun, teror terus berlanjut di berbagai kota. Harian terkemuka Belanda, De Telegraaf, menghitung sedikitnya 20 kebakaran dan perusakan dilakukan terhadap tempat-tempat ibadah muslim sampai pertengahan November. Sejumlah gereja pun tak luput diincar dalam rangkaian vandalisme yang disinyalir kepolisian Eindhoven berkaitan dengan terbunuhnya sutradara Theo van Gogh pada 2 November lalu. ”Hal ini akan menjadi problem serius bagi Eropa,” ujar Rafael Gasso, Kepala Kepolisian Spanyol dan Presiden Dewan Eropa untuk Serikat Polisi.

Theo, 47 tahun, adalah cicit pelukis terkenal Vincent van Gogh (1853-1890) (lihat boks, Provokator dari Negeri Kincir Angin). Namun, tak seperti leluhurnya yang mati bunuh diri dan terlupakan—Vincent baru mendapat perhatian publik 11 tahun setelah meninggal—Theo, yang berprofesi sebagai aktor, sutradara film, produser televisi, dan penulis kolom di surat kabar, justru berkibar namanya dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 1996 ia menerima Gouden Kalf, Piala Oscar versi Belanda, sebagai sutradara terbaik lewat film Blind Date. Beberapa kalangan menjulukinya sebagai ”Michael Moore Belanda”. Bedanya, Theo seorang republiken sejati.

Sebagai anggota Republikeins Genootschap (Masyarakat Republik Belanda), Theo aktif berkampanye untuk penghapusan monarki Belanda. Persahabatannya dengan politisi-cum-profesor sosiologi di Universitas Groningen dan Erasmus, Wilhelmus Simon Petrus Fortuijn, yang lebih dikenal sebagai Pim Fortuyn, ikut membentuk cara pandangnya terhadap berbagai isu sosial seperti soal imigran serta hubungan antar-ras dan agama.

Pim adalah politisi garis keras anti-pendatang, terutama muslim. Ia berkali-kali menyerukan agar pemerintah menyetop masuknya imigran beragama Islam, yang mencapai jumlah 30 ribu orang per tahun. Mayoritas pendatang itu berasal dari negeri-negeri Magribi seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair.

Data statistik rupanya makin membuat Pim dan Theo cemas: populasi muslim sudah mencapai jumlah satu juta orang, atau sekitar 6 persen dari total penduduk. Bahkan, di empat kota terbesar, jumlah penduduk berusia 14 tahun ke bawah sudah didominasi anak-anak dan remaja muslim. Perkembangan yang jauh lebih cepat dari autochtonen (penduduk asli Belanda) itu kelak menjadi salah satu topik favorit Theo dalam upayanya untuk terus menyerang komunitas muslim.

Sementara itu, sikap ultra-radikal yang ditunjukkan Pim bukannya tak berisiko. Posisinya sebagai lijsttrekker (calon nomor urut satu) anggota parlemen dari partai Leefbar Nederland untuk pemilu 15 Mei 2002 justru dibatalkan oleh partainya sendiri. Sehari setelah dipecat, Pim mendirikan partai baru bernama Lijst Pim Fortuyn. Theo menjadi salah seorang simpatisan utama. Sembilan hari sebelum pemilu berlangsung, Pim ditembak mati oleh seorang aktivis perlindungan binatang, Volkert van der Graaf, di halaman parkir sebuah radio di Hilversum. Sebagai penghormatan terhadap sang mentor, Theo membuat film berjudul 0605, yang dijadwalkan akan premiere di Internet pada 15 Desember 2004.

Pasca-kematian Pim, kolom-kolom Theo di surat kabar semakin provokatif, penuh kata-kata vulgar. Ia menyerang semua pihak: Islam, Kristen, Yahudi, tanpa pandang bulu. Theo menggelari Yesus Kristus sebagai ”ikan busuk dari Nazareth” dan imigran muslim Maroko sebagai ”geitenneukers” (”penyanggama kambing”). Para pemuka agama Yahudi dibuatnya marah ketika ia dengan enteng menyebut mereka ”terlalu obsesif terhadap kamp Auschwitz”.

Tapi tak ada yang lebih membuat murka masyarakat muslim Belanda selain Submission, film berdurasi 10 menit yang dibuat Theo berdasarkan skenario Ayaan Hirsi Ali, anggota parlemen perempuan dari Partai Liberal kelahiran Somalia. Film yang diputar jaringan televisi VPRO pada 29 Agustus 2004 itu menunjukkan empat muslimah dalam kondisi telanjang, yang disebut-sebut mengalami kekerasan seksual. Pada tubuh mereka ditorehkan ayat-ayat kitab suci Al-Quran. ”Film ini adalah cara murahan Ayaan Hirsi Ali untuk mendapat perhatian,” ujar Nabil Marmouch, perwakilan Belanda untuk Liga Eropa-Arab.

Tak lama setelah film beredar, Theo dan Ayaan mendapat ancaman mati dari kelompok Takfir wal Hijra, yang juga dikenal sebagai Martyrs for Morocco. Ayaan meminta perlindungan penuh dari aparat keamanan—satu hal yang emoh dilakukan Theo. Hingga pada suatu pagi 2 November, Theo, yang sedang berada di persimpangan jalan Linnaeusstraat dan Tweede Oosterparkstraat, Amsterdam Timur, dihentikan seorang lelaki yang menodongkan senjata genggam HS2000 buatan Kroasia.

Delapan peluru merobek kesenyapan pagi sebelum lelaki itu menggorok leher Theo, menikam dadanya, dan meninggalkan belati maut itu tetap tertancap di sana dan sepucuk surat ancaman untuk Hirsi Ali. Menurut harian Algemeen Dagblad yang terbit di Rotterdam, Theo sempat memohon kepada pelaku yang belakangan diidentifikasi sebagai Mohamed Bouyeri, 26 tahun, pemegang paspor Maroko dan Belanda, agar tak melukainya. Kata-katanya tercekat di kerongkongan. ”Jangan lakukan, jangan lakukan. Maafkan aku, maafkan aku.”

Akmal Nasery Basral (The CS Monitor, DTelegraaf, Algemeen Dagblad, The WPost, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus