Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tong Sampah DI Teluk Jakarta

Pencemaran minyak mentah berkali-kali terjadi di Kepulauan Seribu. Tak juga jelas siapa biang pencemar.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telepon genggam Blessmiyanda tiba-tiba berdering. Jumat 19 November itu, dia sedang menatap hamparan laut dari Pulau Pramuka. Ini masih hari-hari suasana Lebaran, tapi kabar yang ia terima membuat dahi Kepala Bagian Administrasi Kesejahteraan Masyarakat dan Sumber Daya Laut Kabupaten Kepulauan Seribu itu berkerut. "Aah, datang lagi," keluhnya pendek sambil menutup telepon. Memang, bukan kabar bagus: genangan minyak mentah (crude oil) menyerbu Kepulauan Seribu.

Untung kabar seperti begini bukan pertama kalinya dia terima. Sudah berkali-kali cairan kental minyak hitam legam menyambangi gugusan pulau karang 45 kilometer di sebelah utara Jakarta itu. Bak punya jadwal tetap, dalam setahun terjadi dua kali tumpahan minyak, terutama pada Desember-Januari dan April-Mei.

Bedanya, dan ini yang membuat Blessmiyanda pusing, serbuan minyak kali ini berlangsung lebih cepat dari "jadwal". Jumlah tumpahan pun lebih banyak. Saat datang ke lokasi, dia melihat sendiri minyak sudah menyebar di sekitar Pulau Pantara, Koto, dan Semak Daun. Semakin malam, genangan makin banyak dan tebal. Esoknya, mereka bahkan sudah menyerbu hingga Pulau Bira, Sepa, Putri, dan pulau-pulau lainnya. "Sekitar 30 pulau tercemar," kata dia.

Sejak Desember 2003, tercatat tujuh kali pencemaran. Setelah Desember, kumpulan minyak menghantam 78 dari 87 pulau pada 28 Maret 2004. Selanjutnya, 24 April 2004, genangan mencemari 37 pulau; 2 Mei 2004 terjadi di Pulau Pramuka dan Peniki; dan 5 Mei 2004 di Pulau Pari, Pulau Panjang, dan Pulau Kelapa. Dan Sumarto, Kepala Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, memberi kejutan data lain. "Sebenarnya pencemaran laut oleh tumpahan minyak ini sudah terjadi sejak 20 tahun lalu," katanya.

Ia berkisah, pencemaran terparah berlangsung awal Oktober lalu. Ketika itu, seluruh kawasan dermaga Pulau Pramuka tertutup minyak pekat. Bahkan di antara Pulau Pramuka dan Pulau Panggang seolah terbentang lapangan minyak seluas 1-2 kilometer persegi. Di sebelah barat Pulau Panggang, limbah minyak membentuk aliran sungai mengelilingi kedua pulau. Di malam hari, limbah memadat, menjadi gumpalan keras setebal 4-5 sentimeter.

Bagaimana pencemaran parah seperti ini bisa terjadi? Semula, biang pencemaran diduga datang dari China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan British Petroleum West Java, dua perusahaan minyak yang memiliki wilayah konsesi penambangan terdekat dengan Kepulauan Seribu. Tapi hasil kajian Lembaga Penelitian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral membantah dugaan itu. Dari sampel yang diambil pada Oktober, terbukti komposisi senyawa pentacyclic-triterpane dan ciri-ciri biologis minyak tumpahan bukan berasal dari dua perusahaan minyak tadi.

Dugaan pun bergeser ke aktivitas kapal tanker pengangkut minyak yang lalu-lalang di sekitar perairan Kepulauan Seribu. "Ada kemungkinan yang cukup signifikan bahwa minyak datang dari sumber bergerak, lalu lintas kapal-kapal tanker," kata Kosasih Wirahadikusumah, Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta.

Dugaan itu belum sempat diuji. Tapi, di belakang kilang minyak CNOOC dan British Petroleum memang membentang Alur Lalu Lintas Kapal Internasional (ALKI) yang cukup padat. M.S. Wibisono, peneliti kelompok lingkungan Lemigas menduga, pencemaran bisa saja berasal dari buangan air balas (air yang dimuat untuk menyeimbangkan tanker) dan tar ball dari kapal-kapal tanker yang lewat. "Tanker jenis lama membuang begitu saja air balas yang masih mengandung minyak ke laut," katanya.

Yang makin membuat Blessmiyanda pusing, dengan pencemaran seluas itu, upaya pembersihan total bakal sulit dilakukan. Selain akibat terbatasnya peralatan, kondisi laut di Kepulauan Seribu yang tergolong dangkal juga membuat alat pembersih susah bergerak.

Memang ada cara mudah. Biarkan saja genangan tenggelam ke laut dengan sendirinya dalam 15-30 hari. Tapi justru inilah yang berbahaya. Begitu minyak mulai mengendap ke dasar laut, pencemaran yang sesungguhnya baru saja dimulai. Endapan inilah yang dikhawatirkan bakal memusnahkan ekosistem di Kepulauan Seribu.

Dampak pencemaran sudah terlihat pada menurunnya telur penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) di Pulau Peteloran Timur. Warga Kepulauan Seribu juga bakal merasakan imbasnya. Sekitar 70 persen dari 15.600 jiwa yang tersebar di kawasan seluas 1.180,80 hektare itu menggantungkan hidup mereka dari hasil laut. Belum lagi kerugian lantaran wisatawan yang enggan berkunjung.

Blessmiyanda hanya bisa menatap laut dengan khawatir. Akhir tahun bukanlah waktu yang menyenangkan baginya. "Percaya saya, pasti akan ada lagi, saya berani bertaruh," katanya.

Raju Febrian, Asep Yogi, Deffan Purnama (Bogor)


Mengatasi tumpahan minyak di laut

Minyak bumi mengandung lebih dari 10 ribu senyawa kimia. Menurut Tridoyo Kusumastanto, Direktur Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, senyawa ini terbagi atas lima kelas: hidrokarbon jenuh (10-40 persen), hidrokarbon aromatik (10-30 persen), aspaltene dan resin (5-20 persen); senyawa non-hidrokarbon yang mengandung unsur-unsur nitrogen, sulfur (belerang) dan oksigen (kurang dari 5 persen), dan porphyrines senyawa kompleks yang mengandung logam berat terutama vanadium dan nikel (kurang dari 5 persen).

"Pencemaran laut akan selalu berbahaya karena ada unsur toksik (racun) di sana, meskipun harus diuji di laboratorium," katanya.

Senyawa paling berbahaya adalah senyawa hidrokarbon aromatik karena bersifat karsinogenik (pemicu aktivitas sel kanker) dan mutagenik. Sifat racun ini terkait dengan daya hidrofobisitas (mengikat air) dan solubilitas (pelarutan) yang rendah dari senyawa hidrokarbon aromatik serta pengaruhnya terhadap metabolisme sel.

  1. Cara konvensional dengan melokalisasi tumpahan minyak dengan menggunakan oil boom (penangkap minyak), mengangkut dengan oil skimmer (penyedot minyak), dan dibersihkan melalui oil dispersant.

  2. Menggunakan jaring dengan bantalan kantong seperti kaus kaki yang ditarik kapal di ujung-ujungnya. Selanjutnya gumpalan minyak disedot oleh kapal khusus.

  3. Sistem degradasi pencemaran minyak dengan mikroorganisme. Sedikitnya, ada 90 jenis bakteri dan jamur laut yang diketahui dapat menguraikan beberapa komponen minyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus