Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senyum mengembang di bibir Perdana Menteri Irlandia, Bertie Ahern. Tak tampak lagi kerut-merut yang menggayut di wajahnya dalam dua pekan belakangan, ketika negara anggota Uni Eropa menugasinya agar segera menghasilkan nama Presiden Komisi Eropa. "Saya senang mengabarkan bahwa Perdana Menteri Barroso terpilih secara aklamasi," katanya dalam konferensi pers di Brussel, Belgia, Selasa pekan lalu. Sebanyak 25 negara anggota Uni Eropa akhirnya sepakat memilih Perdana Menteri Portugal, Jose Manuel Durao Barroso, 48 tahun, sebagai Presiden Komisi Eropa, menggantikan Romano Prodi.
Jalan menuju terpilihnya Barroso agaknya tidaklah mulus. Sebab Uni Eropa, yang terbelah dalam kubu Eropa lama dan baru, masing-masing ngotot mengajukan jagonya. Dua kubu ini tercipta sejak Uni Eropa terbelah dalam isu Perang Irak. Kubu Eropa lama yang anti-Perang Irakterdiri dari Prancis, Jerman, dan Belgiamenjagokan Guy Verhofstadt, Perdana Menteri Belgia. Tapi Inggris memvetonya dengan alasan Verhofstadt dianggap pro-federalisme Uni Eropa, dan lebih dari itu Verhofstadt termasuk kubu penentang Perang Irak. Sedangkan keputusan Inggris didukung negara pro-Perang Irak, yakni Italia, Polandia, Latvia, Lithuania, dan Republik Cek. Sebaliknya Paris dan Berlin menolak calon yang diajukan Inggris, Chris Patten, pejabat Inggris untuk Komisi Hubungan Luar Uni Eropa. Tinggal Ahern dirudung kebingungan.
Sebenarnya Ahern sempat membujuk Barroso, tapi Perdana Menteri Portugal ini menolak. Maklum, selain akan menimbulkan masalah di dalam negeri selama dua tahun sisa masa pemerintahannya, Barroso tahu diri bahwa jabatan penting sebagai Presiden Komisi Eropa terlalu tinggi untuk Portugal, yang merupakan anak bawang di Uni Eropa. Ahern juga mendekati Perdana Menteri Luksemburg, Jean-Claude Juncker. Hasilnya sama saja, Juncker menolak karena ia baru saja terpilih sebagai perdana menteri.
Tenggat 18 Juni terlewati, tapi Ahern tak jua berhasil menemukan "orang ketiga" di luar jago dua kubu yang berseteru. Dengan wajah tampak kusam ia ngebut kembali ke Lisabon menemui Barroso dan Presiden Jorge Sampaio, setelah kasak-kusuk ke negara anggota Uni Eropa untuk meyakinkan bahwa Barroso memang bukan kandidat yang paling dijagokan tapi dialah kandidat yang tak banyak menimbulkan masalah antara kubu Eropa lama dan baru. Ahern akhirnya memperoleh restu kubu Inggris dan Prancis. "Saya yakin dia akan melakukan pekerjaan yang hebat," ujar Perdana Menteri Tony Blair.
Terpilihnya Barroso bisa dibilang kemenangan kubu pro-Perang Irak. Dialah yang menggiring Portugal satu gerbong dengan Amerika Serikat dan Inggris mengobarkan Perang Irak sembari menutup kuping rapat-rapat terhadap protes rakyat Portugal. "Adalah suatu kesalahan mencoba menjadi lawan (AS). Eropa seharusnya menjadi mitra AS, bukannya menjadi seteru," kata Barroso ketika itu. Tak mengherankan bila Barroso pada Maret 2003 nekat memfasilitasi pertemuan antara Presiden Amerika Serikat George Bush, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, dan Perdana Menteri Spanyol Jose Maria Aznar, untuk merancang gebrakan akhir penyerbuan ke Irak.
Faktor lain yang akhirnya membuat Barroso menerima tawaran jabatan puncak Uni Eropa ini ialah jalinan hubungan baik dengan Presiden Prancis Jacques Chirac. Apalagi dengan ditunjang kefasihannya berbahasa Prancis. Bekas pengacara ini juga didukung pendatang baru anggota Uni Eropa dari negara bekas Blok Timur yang selama ini sering terpojok oleh dominasi dan perilaku congkak Prancis dan Jerman dalam soal disiplin anggaran zona Eropa. "Dia (Barroso) berasal dari negara kecil, cocok untuk kami," kata Perdana Menteri Latvia, Indulis Emsis.
Raihul Fadjri (The Guardian, AFP, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo