DHAHRAN. Hari-hari ini, perhatian dunia tertuju ke kota di wilayah timur Arab Saudi, di tepi pantai Teluk Persia, tak jauh dari perbatasan dengan Bahrain itu -- kota yang jadi pintu gerbang bagi pasukan AS yang ditempatkan di Arab Saudi. Di sanalah sejumlah pasukan AS, yang berseragam tempur cokelat muda kehijauan berloreng-loreng, berkeliaran, masuk-keluar toko atau hotel. Ada yang menyandang senjata, ada yang lenggang-kangkung. Satu-dua serdadu wanita -- yang cantik langsing, atau yang Negro kekar -- kadang-kadang tampak kencang mengendarai sedan, jip, atau truk. Ada yang jalan berdua atau bertiga dengan serdadu pria. Meski sekitar 350.000 serdadu AS nongkrong di perbatasan Saudi-Irak-Kuwait, terutama di Hafar al-Batin, kota kecil terdekat dari perbatasan, sampai akhir bulan lalu suasana perang tak terasa di Dhahran. Padahal, kubu-kubu pertahanan anti serangan udara dan pesawat-pesawat tempur AS dan Saudi, seperti Skyhawk, siaga penuh di pangkalan udara King Abdul Aziz di Dhahran. Dhahran, yang masih cukup jauh dari Hafar al-Batin, sekitar 350 km, tak terpisahkan dari dua kota kecil lain yang berdekatan: Khubar dan Dammam -- luas ketiga kota itu 1.300 km2, dihuni sekitar 300.000 warga. Inilah kota modern, tak kalah dengan Riyadh: jalan raya dan jalan layang sangat mulus, ada bandar udara antarbangsa dan hotel internasional, ada pasar swalayan. Kota ini berada di Provinsi Timur, wilayah terluas dari lima provinsi di Arab Saudi, kawasan yang menyimpan tak kurang dari 300 milyar barel atau sekitar seperempat persediaan minyak dunia. Dua ladang minyak terbesar di dunia, Ghawar dan Safaniyah, juga terdapat di sana. Begitu pula kawasan industri terpenting, yaitu di Jubail. Perusahaan terpenting di Saudi -- Aramco (Arabian American Oil Company), dengan karyawan 50.000 lebih -- juga di sana. Digali dan dibangun sejak 1933, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia ini telah memproduksi lebih dari 50 milyar barel minyak mentah. Melengkapi ini semua adalah Sekolah Tinggi Perminyakan dan Pertambangan King Fahd di Dhahran. Itu mungkin sebabnya, di sini AS sangat berkepentingan. Provinsi Timur bagaikan perekat antara Saudi dan lima anggota Dewan Kerja Sama Teluk yang lain -- Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Kesultanan Oman, dan Bahrain. Bahkan, pada 1986, Saudi dan Bahrain dihubungkan secara fisik oleh sebuah jembatan sepanjang lebih dari 20 km dengan biaya 2,7 milyar rial. Di Dhahran ada konsulat jenderal dan dinas penerangan AS, USIS, sementara dinas penerangan angkatan bersenjata AS membuka "warung" nonstop 24 jam di sudut banquette hall di hotel mewah Dhahran International. Ruangan di lantai dua itu jadi semrawut setelah disulap jadi press center, tempat para wartawan mendaftar untuk meliput krisis Teluk. Meski sudah memperoleh tanda pengenal, para wartawan tidak dengan sendirinya mulus menuju Hafar al-Batin, yang dianggap front depan. Mereka harus antre. Salah satu sebabnya, helikopter angkatan udara AS hanya mengangkut 10 orang, seminggu sekali. Untuk berangkat 1 Desember, misalnya, daftar tunggu sudah mencapai 90 orang. Seorang wartawan kantor berita Reuters sudah dua bulan menunggu. Merupakan pemandangan yang tak aneh bila puluhan serdadu AS -- dengan atau tanpa senjata -- berjajar di salah satu sudut di belakang front office Hotel Dhahran International. Siap pulang kampung, mereka antre menelepon -- karena sangat rindu keluarga. "Nek, saya segera pulang. Cucumu sangat rindu," kata seorang kopral di pesawat telepon. Ada pula yang jalan-jalan ke pasar swalayan dan toko-toko membeli suvenir khas Dhahran. Kaus oblong Operation Desert Shield -- dengan berbagai variasi lukisan dan huruf Arab -- sangat laku, meski harganya cukup mahal: 30 rial atau lebih dari Rp 14.000. Yang pasti, tak ada yang masuk Mekah atau Madinah, yang hanya khusus untuk kaum muslimin itu. Selain tentara AS, ada tamu lain, yakni pengungsi Kuwait. Menurut dinas penerangan Kuwait di Dhahran, setiap hari rata-rata 50 mobil meloloskan diri dari Kuwait. Setelah dua-tiga kali berusaha, mereka baru berhasil menerobos perbatasan yang dijaga ketat oleh tentara Irak. "Paspor, uang, dan barang-barang kami disita," tutur Zaidan al-Dzufairi, salah seorang pengungsi itu. Berbeda dengan mereka yang lari lewat Yordania, yang ditampung di kemah-kemah, para pengungsi Kuwait di Saudi ditampung sekitar 10 hari di salah satu dari tiga hotel mewah di Dhahran. Semua biaya hidup ditanggung pemerintah Saudi. Setelah menerima tanda pengenal, mereka boleh tinggal di kota mana saja. "Di Saudi ini kami seperti di negeri sendiri. Perlakuan pemerintah Saudi baik sekali," kata Talal al-Najdi, pengungsi Kuwait yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini