PERJAMUAN tari Pajuri La Jala batal dipergelarkan. Padahal, semuanya telah siap. Para penari, dari Desa Ntori, Bima, NTB, telah berada di bibir arena. Dan 35 orang turis mancanegara telah merapat di dermaga pantai Loh Liang, Pulau Komodo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedianya, tarian itu akan disuguhkan kepada para pelancong, sebelum mereka dibawa ke Taman Nasional Komodo. Namun, hari itu, Kamis 22 November lalu, Kapolres Manggarai Letkol. Pol. Y. Sallo punya pendapat lain: "Atraksi itu dicabut izinnya". Pembredelan kesenian itu adalah yang kedua kalinya. Yang pertama terjadi tiga hari sebelumnya. Tarian itu dimaksudkan untuk menambah pesona wisata, seiring dengan program Visi Indonesia Year 1991 yang dikampanyekan dengan gencar. Namun, menurut Sallo, penyelenggaraannya tak mengindahkan prosedur. "Maka, polisi berhak menghentikannya," katanya. Tindakan Sallo itu, tak syak lagi, sekadar mengamankan keputusan Bupati Gaspar P. Elok. Bupati Manggarai itu tak ingin ada grup kesenian dari "luar", seperti Pajuri La Jala yang dari NTB itu, dipentaskan di daerahnya. Lebih dari itu, Gaspar cemas melihat arus wisatawan yang deras. Dikhawatirkan, berduyunnya pelancong justru akan mengganggu keutuhan Taman Nasional Komodo (TNK). Gaspar juga ingin menggiring para pelancong ke arah timur, singgah ke kota kecamatan Labuhan Bajo, empat jam dari Pulau Komodo dengan perahu motor. Dengan mampir ke Labuhan Bajo, diharapkan tekanan arus wisatawan ke Pulau Komodo bisa dikurangi. "Toh Labuhan Bajo juga punya obyek wisata alam yang memikat," ujar Gaspar, sembari menunjuk Pulau Bidadari serta Sibolon, dengan pantai pasir putih dan taman laut yang indah. Tekanan berat atas TNK, kata Gaspar, menyebabkan hewan langka komodo yang berhabitat di situ kehilangan sifat alamiahnya. "Mereka jadi jinak, ayam dan kambing lebih liar dari komodo di situ," katanya. Dan bukan rahasia lagi bahwa reptil raksasa di TNK itu kini bisa diajak berpotret bersama. Seorang pemandu wisata di TNK mengakui keadaan itu. Kawanan komodo kini tak beringas jika didekati wisatawan. Para pemandu wisata itu bisa leluasa menggencet leher hewan itu, dengan kayu bercabang, lalu mempersilakan para pelancong berpose di dekat kadal raksasa itu. "Subsidi" pangan dari para pelancong itu memang makin hari makin besar. Maklum, arus wisatawan ke sana juga kian meningkat. Pada 1987-88, misalnya, pengunjung TNK tercatat sekitar 3.400 orang. Tahun berikutnya naik menjadi 4.900-an, dan melonjak jadi 9.700 pada 1989-90. Lantas selama Januari-Juli 1990 lalu tercatat ada 9.100-an wisatawan. Tentunya, besarnya subsidi pangan itu berbanding lurus dengan arus wisatawan. Maklum, setiap rombongan pelancong selalu "mempersembahkan" kambing potong kepada kawanan komodo. Sebab, hanya dengan umpan kambing itu para komodo mau menampakkan batang hidungnya, keluar dari kerimbunan semak. Tradisi "subsidi" pangan berlangsung sejak awal 1980-an. Ketika itu, di tengah habitat komodo, dibangun sebuah taman, tempat para pelancong bisa menyaksikan reptil liar itu. Tapi komodo ternyata tak gampang keluar dari sarangnya. Agar mereka mau nongol, seekor kambing potong dihidangkan di antara semak. Persembahan kambing potong kemudian berkembang jadi tradisi. Setiap hari, pelancong mengundang komodo dengan kambing. Sampai, setelah hampir sepuluh tahun, "para komodo itu kemudian menetap di situ," kata Ir. Wawan Ridwan, Kepala TNK. "Subsidi" itu, menurut Wawan, memang perlu disetop. "Reptil akan kehilangan sifat liarnya bila biasa kenal dengan manusia," ujarnya. Membiarkan kemanjaan itu terus berlangsung, kata Wawan, akan merugikan kawanan komodo sendiri. Mereka akan kehilangan kemandiriannya. Sebab itu, pengurus Washington Zoo di Amerika Serikat, misalnya, memberi jatah yang ketat bagi komodo yang dikoleksinya. Dalam seminggu, beberapa ekor komodo yang ada di sana hanya mendapat satu dua ekor ayam dan seekor tikus. Maka, sejak dua tahun lalu, Wawan, selaku pengelola TNK, hanya mengizinkan pemberian umpan itu dua kali dalam seminggu. Namun, menurut sumber TEMPO di kalangan pemandu wisata, pada prakteknya sering ada pelanggaran. Rombongan pelancong konon kerap memaksa mempersembahkan kambing potong agar dapat menyaksikan reptil purba itu. Populasi komodo sendiri tersebar di beberapa tempat. Di TNK kini ditaksir ada 2.600 ekor. Di Pinca, pulau kecil di seberang Pulau Komodo, ada 790 ekor. Selain itu, reptil purba ini terdapat pula di Pulau Gili Motang, dan di beberapa tempat di pesisir Flores. Ukuran reptil purba ini beragam. Yang dewasa rata-rata panjangnya 1,83 meter. Tapi pernah dijumpai komodo yang panjangnya sampai 3 meter di Flores Barat. Spesmen komodo bongsor itu kini tersimpan di Museum Senckenberg di Kota Frankfurt, Jerman. Keberadaan komodo itu tak berhubungan dengan kondisi ekosistem setempat seperti kawasan berair dangkal, vegetasi yang setengah terbuka, dan hewan-hewan yang bisa dimangsanya, seperti rusa, babi hutan, kerbau liar, kera, atau kuda liar. Kadang kala, sang mangsa hanya bisa dilukai dengan gigitan atau sabetan ekor. Lalu, mangsa itu disantap setelah roboh tak berdaya. Komodo ini punya indera penciuman yang tajam untuk mendeteksi mangsanya. Tapi pendengarannya buruk. Kini, penciuman tajam itu cuma dimanfaatkan untuk memantau turis datang dan kambing potong. Bukan mangsa yang bisa diterkam. Putut Trihusodo dan Supriyantho Khafid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini