HANYA di negeri yang sungguh-sungguh demokratis seperti Amerika, sosok macam Reagan, bekas bintang film kelas dua yang tak percaya pada Teori Evolusi, bisa terpilih menjadi presiden. Ini sama sekali bukan berarti demokrasi sekali-sekali bisa juga main-main, atau membolehkan siapa pun jadi presiden. Lebih dari itu: Reagan adalah refleksi Amerika masa kini - dambaan sekaligus kecemasan. Ronald Reagan tampil bagai kilat ketika mendung melatari imaji kebanyakan orang Amerika. Seperti tokoh film Rambo yang ingin memutar kembali sejarah perang Vietnam dan menjadikannya sebuah cerita kemenangan, Reagan adalah sebuah kebangkitan dari semacam krisis nasional Amerika yang berkepanjangan - sejak digasak kekalahan demi kekalahan setelah tentara Amerika mundur dari Vietnam, 1976. Reagan kemudian digelari "komunikator akbar" karena ia menyadari arus kecemasan yang melanda masyarakat Amerika. Dan ini menunjukkan, ia seorang politikus ulung. Sekaligus ia seorang ideolog. Retorikanya yang tajam mengisyaratkan ada kepercayaan yang tak tergoyahkan padanya - walau sederhana. Ia, menurut sejumlah pengamat, menyusutkan komplikasi Amerika menjadi lambang-lambang sederhana gambaran tentang baik dan buruk, Amerika dan bukan-Amerika. Ini memungkinkannya menghindar dari kerumitan masalah-masalah yang tidak menyangkut kepentingan umum. Amerika mungkin memang membutuhkan tokoh macam itu setelah kegagalannya mempertahankan Vietnam dan harus mundur secara memalukan. Lalu susutnya pamor negara adidaya itu di mata internasional pada masa Presiden Jimmy Carter, pendahulu Reagan. Krisis Amerika diawali Skandal Watergate pada masa Nixon yang secara tak langsung menghancurkan hampir seluruh instalasi dinas rahasia Amerika. Inilah yang membuat politik luar negeri Carter jadi terbata-bata: Amerika Tengah bergolak akibat sikap maju mundur Amerika, dan kekuatan persenjataan Uni Soviet tiba-tiba menjadi unggul karena tidak akuratnya data intel. Direktur CIA dinas rahasia AS - ketika itu, Standfield Turner, mengatakan bahwa demokrasi telah membuat Amerika berulang kali melakukan bunuh diri. Pada titik simpang yang membingungkan itu, Ronald Reagan adalah jawaban. Ia bukan orang keras yang serta merta memetik picu senjata nuklir, tapi ia juga jauh dari kelunakan yang ditampilkan presiden pendahulunya, Jimmy Carter. Ia presiden yang tegak di antara dua sikap itu, dan kadang-kadang menunggu angin. Di tahun 1964, Ronald Reagan pernah melakukan kampanye televisi untuk calon presiden dari Partai Republik yang dikenal bergaris ultrakeras, Barry Goldwater. Sukses kampanye ini membuat sejumlah jutawan California memintanya menjadi gubernur. Reagan, di tengah semangat mendukung Goldwater, tak tergiur. "Kalian harus mencari calon lain, saya akan berkampanye untuk dia," katanya ketika itu. Apakah itu berarti Reagan mengagumi dan mencontoh Goldwater? Sikap tegar Goldwater - yang dalam karikatur biasanya digambarkan memeluk bom nuklir - memang ada pada Reagan, tapi tidak keras. Wartawan Leslie Gelb yang pernah mewawancarainya mengibaratkan Reagan sebagai pedagang kuda sejati yang tak segan-segan mengompromikan posisinya untuk gerakan dan tujuan politik. Persisnya di mana posisi Reagan, sulit ditentukan. Banyak lawan politiknya menyebutnya sebagai presiden yang penuh dengan kontradiksi. Para stafnya mencoba menjelaskan begini: jalan pikiran Presiden berkisar pada dua kutub filosofi, kebenaran dan kebutuhan. Kebenaran harus diartikan dalam pengertian yang paling sederhana: sesuatu yang dikenalnya. Apakah ia seorang pemikir? Tidak seorang pun yang pernah mengatakan bahwa Reagan adalah seorang intelektual yang memiliki rasa ingin tahu dan berpikir secara analitis. Justru sebaliknya. Reagan, kata para pembantunya, adalah seorang politikus kelas berat yang memiliki naluri yang tajam. Ia tahu persis kapan ia harus mundur dan kapan ia harus bertempur. Kemampuan berpikirnya, kata mereka yang mengenalnya dekat, dibentuk oleh seluruh sejarah perkembangan pribadinya, dan bukan kearifan yang muncul dari merenungi buku-buku sejarah. Sudah sejak di masa sekolah, Reagan, yang lahir di Tampico, Illinois, tahun 1911, menunjukkan minat pada organisasi. Juga, pada kepentingan orang banyak dan daya kekuatan sebuah gerakan. Pada usia sembilan tahun, Reagan untuk pertama kalinya menduduki suatu jabatan. Ia menjadi ketua organisasi pelajar di sekolahnya di Dixon, Illinois. Lalu, ketika ia masuk sekolah lanjutan Eureka College, ia menjadi pemimpin gerakan protes menentang kebijaksanaan sekolah yang mengubah kurikulum dengan alasan kurangnya dana. Ia berhasil dan belakangan tamat dari sekolah itu dengan gelar B.A. dalam ekonomi. Politik dikenal Reagan juga bukan sejak kemarin sore. Tak lama setelah ia menamatkan sekolahnya, di tahun 1933, ayahnya Jack Reagan terlibat dalam kampanye calon presiden Franklin Delano Roosevelt. Dan peristiwa itu tampaknya mulai mewarnai sikap politik Ronald Reagan. Hingga kini, banyak kalangan menilai, ciri-ciri Roosevelt - idola Reagan di masa muda - masih tampak pada sikap politiknya. Sebagai bintang film, sesudah ia berpindah-pindah kerja, antara lain komentator olah raga di radio, Reagan sekali lagi terjun ke organisasi dan politik. Ia menjadi ketua serikat bintang layar putih antara 1947 dan 1952. Ia dikenal kala itu sebagai seorang liberalis sejati yang sangat antikomunis. Reagan dengan bersemangat mencoba membendung apa yang dilihatnya sebagai pengaruh komunisme di kalangan bintang film. Secara diam-diam, ia pernah menyerahkan daftar nama tokoh komunis ke tangan dinas rahasia. Ini terjadi pada saat menjalarnya ketakutan terhadap komunisme di Amerika yang antara lain dimotori oleh Senator McCarthy. Sikap antikomunis Reagan masih nyata sampai kini. Ia mencoba mengejar keseimbangan kekuatan persenjataan nuklir dengan Uni Soviet dengan mengemukakan gagasan pertahanan "keras" yang kemudian dikenal sebagai "Star Wars" - sistem penghancuran peluru kendali nuklir lewat satelit-satelit yang mengorbit di ruang angkasa. Sikap berdamainya dengan Cina, yang sekilas tampak meneruskan program Nixon, harus dilihat dalam konteks anti-Rusia, bukan untuk berbaik-baik dengan sebuah negara komunis. Persekutuan AS dengan Cina secara langsung menyodok kelemahan "punggung" Uni Soviet di kawasan Siberia, di Pasifik Utara. Pendekatan Reagan pada negara-negara pasifik dan Asia Tenggara, agaknya, dapat pula dilihat pada konteks ini. Toh Reagan bukan seorang ahli strategi perang walau ia tercatat jauh lebih berhasil dari pendahulu-pendahulunya dalam perundingan pembatasan senjata dengan Uni Soviet. "Ia tak pernah ambil bagian dalam pertemuan, dan hanya mengikuti masalah dari apa yang diceritakan pembantu bidang hankamnya," ujar seorang anggota Komisi Presiden untuk Urusan Kekuatan Strategis. "Ia hanya tahu bahwa apa yang sedang kami rekomendasikan adalah mendapatkan peluru kendali MX," kata anggota komisi itu lagi. Lalu dengan sikap sedikit sok tahu, Reagan maju ke kongres dan berjuang untuk mendapat persetujuan. "Hasilnya: ia mendapatkan peluru kendali itu," ujar si anggota komisi yang tak bisa menyembunyikan kekaguman - dan sedikit rasa heran. Reagan memang bukan prototip presiden yang suka membaca usulan dan laporan berjilid-jilid yang dibuat para pembantunya. Menurut para anggota badan legislatif yang mengenalnya, ia tak begitu berminat pada soal baca-membaca. Ia juga tak memiliki pengetahuan yang mendalam perihal pokok-pokok yang didiskusikan. Adu argumentasi sering membuatnya lelah. Dalam perdebatan, presiden yang sembari mendengarkan suka mencoret-coret dan menggambar kartun itu sering kali menggantungkan diri pada informasi para stafnya yang ditulis pada kartu-kartu indeks. Tapi kartu-kartu itu dibacanya dengan tekanan-tekanan seorang orator. Boleh percaya atau tidak, dengan cara itu ia ternyata mampu membangun keyakinan anggota Kongres. Sejak ia menjadi presiden di tahun 1980 dan terpilih kcmbali pada 1984, Reagan mempunyai cara sangat sederhana dalam mendapat informasi bagi tugas-tugas kepresidenannya. Menurut para pembantunya, ia biasanya mulai dengan membaca memo stafnya, yang sudah tentu tidak disertai analisa yang terinci. Kemudian, ia mengambil beberapa inti persoalan dari sejumlah headline surat kabar, khususnya yang mengandung anekdot. Lalu, ia mencoba mengkaji satu dua tajuk rencana, dan memperkirakan posisi. Kalau informasi sudah diolah, tak ada seorang pun stafnya yang mengetahui dengan persis apa yang ada dalam ingatan Reagan. Yang bisa menerkanya hanya Nancy Reagan, sang istri tercinta. Karena itu, sudah umum diketahui, Nancy mempunyai pengaruh besar terhadap presiden itu. Bagi para pengamat, pengaruh itu terutama terlihat dalam penentuan pembantu dekat Reagan dan penjagaan sekuriti sang presiden. Yang terakhir ini makin menonjol sejak Reagan tertembak di Washington Hilton pada awal tahun 1981. Rencana kunjungan Reagan ke Indonesia yang gagal pada tahun 1983, menurut sumber Gedung Putih, juga disebabkan oleh kecemasan Nancy atas keselamatan suaminya yang terpaksa mampir di Manila jika kunjungan tak dibatalkan. Waktu itu Filipina sedang dilanda kekacauan akibat tertembak matinya Aquino beberapa waktu sebelumnya. Nancy sendiri tak menyangkal ikhtiarnya menjaga dan membantu Reagan membuat keputusan. "Bila Anda menjadi saya," katanya dalam sebuah wawancara, "dan Anda tidak belajar dan mencoba berubah, Anda seorang yang bodoh." Apa yang sebetulnya ingin dikatakannya? "Saya kira saya tidak bodoh," ujar Nancy lagi. Di luar urusan keputusan, pasangan Reagan dan Nancy di mana-mana pun tampak senantiasa mesra - foto-foto mereka mengingatkan orang pada Hollywood. Namun, inilah sisi lain dari citra Amerika: keluarga presiden Amerika haruslah keluarga yang harmonis. Reagan, seperti biasanya, sungguh menyadarinya. "Saya rasa hal yang pokok dalam politik adalah akting dan memainkan peran," katanya dalam sebuah wawancara, "dan saya tahu bagaimana melakukannya." Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini