Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Reagan memandang dunia senyum di bali setelah tripoli

Reagan berhasil memulihkan krisis kepercayaan diri bangsa as. sikapnya antikomunis & agresif membasmi terorisme. riwayat hidup dan gaya kepemimpinan reagan. hubungan ri-as belum istimewa. (ln)

3 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALI mungkin tempat yang tepat untuk Presiden Reagan setelah puluhan pesawat F-111 Amerika Serikat menggempur Libya. Kepala Negara AS itu perlu sebuah tempat yang ramah di dunia yang kompleks ini, setelah usahanya untuk menghajar terorisme internasional dengan negara Qadhafi sebagai target - tak begitu dapat dukungan, kecuali di AS sendiri. Di mana-mana, termasuk di Indonesia, orang menyesalkan tindakannya itu, yang belum jelas hasilnya, meskipun sudah jelas korbannya. Demonstrasi mengecamnya muncul dl banyak ibu kota, dan musuhnya - yang ia sebut "anjing gila Timur Tengah", Qadhafi - tak lecet. Bahkan tokoh ini tampil dengan publisitas yang menarik simpati (lihat Pokok & Tokoh), dan dengan cercaan pada AS lebih hebat. AS, kata Qadhafi, yang kegemarannya berbicara keras cukup dikenal, adalah "sejenis makhluk yang bukan manusia tapi bukan pula babi". Lalu apa? AS adalah "imperialis". "Imperialis" adalah sebuah makian kuno. Agak membosankan. Toh bagi para pengkritiknya, Reagan, dalam usianya yang di atas 70 tahun, memberi kesan seperti orang tua yang hidup dengan semangat tegar Amerika di tahun 1950-an. Terutama dalam memandang bahaya komunisme dan Uni Soviet. Senator Paul Tsongas dari Massachusetts, misalnya, menilai, "Kecuali refleks anti-Sovietnya, presiden ini tak punya politik luar negeri sama sekali." Memang ada dicatat bahwa Reagan, sampai dua tahun yang lalu, masih punya pandangan kuno tentang hubungan antara AS dan negeri komunis lain, Cina. Waktu ia masih jadi calon presiden, di tahun 1979, ia mengomentari dibukanya hubungan diplomatik dengan RRC, dan putusnya hubungan AS dengan Taiwan, sebagai tindakan "mengkhianati seorang teman dengan darah dingin". Tentu saja pandangan ini dikoreksinya setelah ia dipilih jadi presiden, dan pada Mei 1984 mengunjungi RRC. Pulang dari Beijing, Reagan mulai menyebut RRC sebagai negeri "yang disebut sebagai Cina Komunis". Tapi pandangan Reagan ternyata cocok dengan arus baru yang sedang kuat di AS kini. Kegagalan AS di Vietnam, untuk "menyelamatkan" negeri itu dari tangan komunis, memang bikin orang jera untuk bicara soal kegagahan Amerika yang dulu dilambangkan oleh bintang jagoan dan patriot John Wayne dalam pelbagai filmnya. Ketika Revolusi Iran pecah, dan sejumlah besar diplomat AS disandera oleh orang-orang Iran, rasa tak berdaya makin mengeruyak. Presiden AS waktu itu, Jimmy Carter, mencoba membebaskan para sandera itu dengan sebuah pasukan khusus, tapi gagal. Setelah itu, pelan-pelan, rakyat Amerika seperti perlu memperoleh kepercayaan dirinya kembali. Dan makin tak merasa segan disebut sebagai negara super yang seharusnya bisa mempertahankan diri dari penyanderaan dan teror dan permusuhan terhadap diri mereka. Gaya John Wayne menemukan reinkarnasinya kembali dalam diri tokoh Silvester Stallone, si gempal yang jadi Rambo dan memporakperandakan orang Vietnam dengan sekali gebrak. Film-film sejenis itu laris bukan main, dan bendera Amerika seperti tak putus-putusnya dikibarkan di seluruh negeri. Ke dalam suasana hati semacam itulah Ronald Reagan masuk. Pas. Ia menyadari hal itu. Kata Reagan, "Ada kebangkitan patriotisme. Ada kebanggaan yang demikian nyata di negeri ini," ucapnya dalam sebuah wawancara bulan November 1984. Dia juga melihat bahwa dalam bidang ekonomi rakyat juga merasakan adanya sedikit harapan. "Saya tidak begitu siap menghadapi perasaan seperti ini," kata Reagan lagi. "Saya sendiri benar-benar merasa kan hal yang sama ketika dalam upacara pembukaan Olimpiade menyaksikan ribuan sukarelawan memperkuat pertunjukan yang hebat itu. Dan saya merasa patriotisme menggumpal besar bagaikan bola salju." Harus diakui pameran patriotisme AS itu memang paling menonjol dan jelas kelihatan lewat Olimpiade Los Angeles, Agustus 1984. Diboikot oleh Soviet, Pakta Warsawa berikut negara sekutu lainnya, seluruh lapisan rakyat Amerika terpanggil bahu-membahu menyukseskan pesta olah raga itu. Mereka sadar Soviet sengaja balas dendam, sesudah AS memboikot Olimpiade Moskow empat tahun sebelumnya. Dalam semangat kapitalisme yang khas Amerika, mereka menyulap peristiwa olah raga ini menjadi pesta spektakuler, megah, sekaligus mencerminkan keunggulan di bidang olah raga, teknologi, dan promosi. Belasan rekor dunia pecah dan panitia Olimpiade mencetak keuntungan ratusan juta dolar. Baru sekali itu dalam sejarah, penyelenggara Olimpiade mengeduk untung besar. Adalah wajar jika kemudian Reagan menjelma bagaikan pahlawan di mata rakyat. Ia sudah memulihkan rasa percaya diri sebuah bangsa yang selama ini tergencet di bawah sindrom Vietnam. Adakah ia pemimpin yang istimewa? Pribadinya mungkin tidak, tapi gaya kepemimpinannya diwarnai hal-hal yang tidak terduga. Jika mengingat bagaimana ia membenci komunisme dan Andropov, maka rasanya tidak mungkin bahwa sekali waktu Reagan akan berunding dengan seorang pemimpin Soviet. Tapi justru itulah yang terjadi di Jenewa tahun lalu. Dalam pertemuan itu Reagan tampak bersikap luwes sementara Gorbachev begitu kaku. Presiden AS itu juga murah senyum, sementara tokoh Kremlin itu agak pasif. Di sini terlihat bahwa gaya Reagan yang tegar juga mengenal kompromi yang kental, kesediaan untuk mundur selangkah lalu maju dua langkah. Dia juga tidak mudah ditebak, dan punya kebolehan melancarkan tipuan politik yang pelik. Kendati Reagan tidak terbiasa melakukan analisa - seperti umumnya politikus terkemuka - nalurinya tajam. Ia tidak njelimet, tidak terpaku pada detail, tapi ia tahu apa yang ia inginkan dan bagaimana cara mendapatkannya. Dalam banyak hal pendekatannya terlalu sederhana, hingga mencemaskan para pembantunya. Sekalipun begitu, Menhan Caspar Weinberger berkata, "Penilaiannya selalu lebih tepat ketimbang kami semua." Kolumnis Time Hugh Sidey sekali waktu menceritakan betapa cepat dan jernihnya penalaran Reagan. Ketika itu seorang penumpang kapal pesiar Achille Lauro bernama Leon Klinghoffer baru saja dibunuh oleh sekelompok gerilyawan Palestina. Tak syak lagi, tindakan ini merupakan balas dendam terhadap pengeboman keji yang dilakukan Israel terhadap markas besar PLO di Tunis. Reagan segera memerintahkan Robert McFarlane - waktu itu penasihat Dewan Keamanan Nasional - untuk memanfaatkan sumber intel yang ada dalam upaya melacak pembunuh Klinghoffer. Ia sendiri harus berpidato di perusahaan roti Sara Lee, Chicago. Pada saat-saat gawat, McFarlane menerima informasi bahwa gerilyawan alias teroris itu akan terbang meninggalkan Kairo. Begitu Reagan selesai berpidato, ia merundingkan tindakan pemerintah selanjutnya. Ruang sidang perusahaan itu menggantikan ruang oval dan setelah mendengar laporan, Reagan lalu mempertimbangkan berbagai hal: kepastian tentang identitas teroris, risiko yang bisa menimpa orang awam, risiko yang dihadang Amerika, harga diplomatik yang mesti dibayar. Setelah mendengar jawaban dan menimbang-nimbangnya sebentar, Reagan berkata, "Ayo, mari kita kerjakan." Segala sesuatu yang menyangkut pelaksanaan di lapangan dipercayakan Reagan pada pihak militer. Perintah Reagan dari Sara Lee, dalam tempo 25 menit diterima para penerbang jet tempur F-14 yang berada di geladak kapal induk USS Saratoga di Laut Tengah. Beberapa jam kemudian seluruh dunia mendengar tentang operasi buru sergap Saratoga Sigonela yang membangkitkan amarah Presiden Husni Mubarak, tapi ditinjau dari segi militer, tetap boleh dipuji. Abu Abbas mungkin benar atau berdusta, tapi penyergapan terhadap Egypt Air yang mereka tumpangi tetap saja menarik untuk dikaji. Pesawat itu dapat dipaksa mendarat di Sisilia, kemudian terbang lagi untuk turun di Roma. Hanya karena campur tangan PM Italia Bettino Craxi, maka Abbas bersama seorang kawannya dibebaskan untuk kemudian minta suaka ke Yugoslavia. Sejauh yang menyangkut keberhasilan Reagan, orang tidak lupa menyebut-nyebut adanya kemujuran di samping ketidaktahuan. Bukan rahasia lagi kalau staf ahlinya saling bertanya adakah Reagan mengerti betul teori persenjataan termasuk sistem pertahanan Perang Bintang. Tapi ketika mereka masih serba tidak pasti, Reagan, dengan caranya sendiri, menjabarkan masalah itu, dalam garis besar tentu saja. Dan kalaupun misalnya ia "salah ucap" ataupun "salah mengerti", sang presiden bisa tetap tenang sementara orang lain rikuh bukan buatan. Dan biasanya bakat humor Reagan bisa mengatasi kesulitan semacam itu. Lelucon paling gawat terjadi Agustus 1984. Waktu itu ia sedang mengetes mikrofon - sebelum berpidato - tanpa sadar bahwa pengeras suara itu sudah berfungsi dan disetel tinggi. Tanpa bisa dicegah seloroh Reagan tersiar. Yang dikatakannya, "Pengeboman terhadap Rusia akan dilakukan lima menit lagi." Reaksi keras bersembulan dari segala penjuru. Majalah Jerman Stern terbit dengan kulit muka Reagan yang hidungnya dipoles menirukan hidung badut dan berwarna merah. Di bawahnya tertulis, Lelucon Presiden Reagan: untuk Ditertawakan sampai Mati. Seorang wanita tua Rusia berkomentar, "Kata-kata seperti itu hanya dapat keluar dari seorang yang tak pernah mengalami serangan udara." Tapi keteledoran serupa terulang dengan para wartawan. Reagan sedang membahas masalah reorganisasi Pentagon ketika para wartawan terus saja menanyakan perihal Filipina. Lupa bahwa mikrofon itu hidup Reagan menggerutu, "Anak haram jadah." Mendengar ini para wartawan terhenyak. Bisa jadi Reagan termasuk satu dari sejumlah kecil presiden yang lidahnya ringan mengucapkan kata-kata berat. Lihat bagaimana ia mencercah Qadhafi sejak enam tahun silam dengan kata-kata "barbar, teroris, makhluk paling berbahaya di atas muka bumi". Dan terakhir, "anjing gila". Tidak heran jika Qadhafi terpancing untuk mencap Reagan sebagai "si tolol, si dungu" sedangkan para mulah di Iran menyumpahi dengan teriakan, "Mampuslah Iblis Bedebah", seraya membakar bendera Amerika. Penghinaan ini terjadi pada tahun 1979 ketika warga AS masih disandera di Kedutaan Amerika di Teheran. Penghinaan ini dibalas rakyat Amerika dengan memancangkan tiang bendera Stars and Stripes dipemakaman Hillcrest, Hermitage, Pennsylvania. Inilah pertanda patriotisme yang terluka dari sebuah bangsa besar yang tidak tahu bagaimana seharusnya bersikap terhadap sebuah bangsa miskin, kecil, tidak berdaya dan tidak punya apa-apa. Konflik yang umumnya terjadi antara AS dan berbagai negara Dunia Ketiga bersumber dari harapan berlebihan negara-negara itu sedangkan Amerika bukan saja congkak tapi selalu mau ikut campur. Dan Reagan tidak tahu bahwa apa yang baik untuk AS belum tentu baik untuk negara lain. Lebih dari itu sang presiden dan rakyat Amerika tampaknya tidak tahu mengapa justru mereka yang dijadikan sasaran teror. Sebagai pembalasan, Reagan menghadiahkan pelajaran pada Libya dalam bentuk pengeboman. Sebaliknya, kepada mereka yang berjuang menentang rezim komunis, AS membagi-bagikan senjata, terang-terangan ataupun tersamar. Terhadap pemerintah komunis mana pun, Reagan menegaskan sikap antikomunis yang penuh rasa benci. Berikut ini beberapa negara yang pernah bentrok dengan AS sesudah Reagan berkuasa. * GRENADA. Serangan marinir AS ke negeri ini telah menempatkannya dalam peta. Terletak di timur Laut Karibia, Grenada diserbu marinir AS November 1983 dengan alasan untuk melindungi 600 mahasiswa AS yang bclajar di Universitas St. George. Tapi sasaran sebenarnya adalah personel militer Kuba dan pangkalan udara militer di sana. PM Maurice Bishop, yang bersahabat dengan Soviet dan Kuba, terbunuh di tangan Jenderal Austin Hudson sebelum serangan Amerika dilancarkan. Grenada akhirnya bebas dari tentara Kuba. AS aman dari ancaman komunis yang semula dianggap bertengger di pekarangan belakangnya. * NIKARAGUA. Petualangan AS di negeri ini mirip sekali dengan petualangannya di Iran. Singkatnya, Amerika bekerja sama dengan pihak penguasa yang dimusuhi rakyat. Ketika rezim Somoza jatuh, Reagan terpaksa berhadapan dengan tokoh pemberontak Marxis, Daniel Ortega. Nikaragua pernah mengadukan pemerintah AS karena CIA menanam ranjau laut di perairan negara itu. Kemudian CIA secara terang-terangan membantu pemberontak Contra yang bermaksud menggulingkan Ortega. Dana bantuan untuk Contra yang diusulkan sementara ini ditolak oleh Kongres. Tapi intervensi AS di Nikaragua terus dilancarkan dan soal kedaulatan negara itu tampaknya bagi Washington tidak jadi soal. Yang penting, komunisme mesti ditumpas. * LIBYA. Bentrok senjata antara AS dan Libya pertama kali terjadi pada tahun 1981, ketika pesawat Tomcat milik Amerika merontokkan dua Sukhoi SU-22 di atas Teluk Sidra. Adalah Washington yang lebih dulu menyerang dengan alasan perairan teluk itu merupakan perairan internasional. Alasan yang sama dipakai kembali oleh AS ketika jet tempur mereka menerobos garis maut Qadhafi dan menembaki pangkalan rudal Libya. Apa yang dicari Reagan di Sidra? Yang pertama Qadhafi, dalang terorisme internasional. Kedua, rudal SAM-5 buatan Soviet. Melanggar kedaulatan Libya - seperti halnya kedaulatan Nikaragua tetap diremehkan AS. Reagan tetap tidak mau berkompromi dengan orang yang dituduhnya melatih dan membiayai teroris untuk kemudian membunuhi warga AS di mana saja mereka berada. Tindakan sepihak Reagan 15 April lalu dianggap sudah keterlaluan hingga negara-negara Arab moderat sekalipun tidak dapat memaafkannya. * UNI SOVIET. Reagan terus terang mengakui, sejak menjadi presiden AS, tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mengenal Rusia lebih dekat atau berkunjung ke negara yang sebagian selalu bertutup salju itu. "Saya lebih baik ke Bahama," ujar Reagan bergurau. Tapi ia memang tidak pernah berusaha menutup kebenciannya, terhadap komunisme, Andropov atau penguasa Kremlin mana pun. Pertemuan puncak Jenewa diharapkan bisa menciptakan peredaan ketegangan, tapi AS dan Soviet tidak menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk itu. Soal pembatasan nuklir tidak mencapai kemajuan apa-apa, sementara AS tampak lebih agresif dengan tes-tes nuklir di gurun Nevada. * JEPANG. Konfrontasi perdagangan AS-Jepang tetap runcing. KTT 7 negara industri di Tokyo pekan ini agaknya belum akan mempertemukan formula yang tepat bagi kedua pihak. Dan Jepang tampaknya tidak akan mengompromikan tiga kartu asnya: mutu produksi yang tinggi, surplus perdagangan yang kian tinggi, dan nilai yen yang diatur sedemikian rupa hingga tetap berada di bawah nilai dolar Amerika. * FILIPINA. Di negeri ini Reagan hampir saja mengulangi kesalahan yang dilakukan Jimmy Carter di Iran, yakni bekerja sama dengan penguasa yang dimusuhi rakyat. Sama seperti di Iran, sosok AS klan dibenci dan kedutaannya makin sering didemonstrasi. Persahabatan Reagan-Marcos hampir saja memancing perang saudara, seperti yang diiming-imingkan kelompok Cory Aquino. Kalau akhirnya AS secara halus berhasil menyingkirkan Marcos, mungkin sekali karena pihak Gedung Putih sudah lebih peka dan bisa menentukan kapan harus membela demokrasi dan kapan pula membela kepentingan strategis AS. Hal yang tidak kurang rumitnya juga dihadapi Reagan kini. Semula pada awal masa jabatannya yang kedua, Reagan condong untuk berperan sebagai pencipta perdamaian. Tapi rupanya situasi dan kondisi tidak menunjang. Andai kata Presiden AS itu tetap bersiteguh menumpas teroris dalam cara-cara keras tapi tidak menjamin satu penyelesaian mendasar, besar kemungkinan ia akan terbentur pada sebuah lingkaran setan yang diciptakannya sendiri. Atau lebih dari itu, bisa mengobarkan Perang Dunia III, seperti yang sudah diramalkan oleh Qadhafi. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus