SEJAK namanya disebut sebagai pengganti John H. Holdridge di bulan Januari, Duta Besar Paul D. Wolfowitz hanya memerlukan waktu sembilan hari untuk menunggu upacara penyerahan surat-surat kepercayaan kepada Presiden Soeharto di Istana Negara, 11 April silam. Semua terjadi begitu cepat. Dan lancar. Kendati ia belum sempat mengenal puluhan nama pembantunya, agenda pria gempal ini sudah dipenuhi acara meletihkan: audensi dengan pejabat-pejabat penting di sini sekaligus mempersiapkan kedatangan presidennya. Tidak sedikit pendapat yang mengatakan bahwa diterimanya Wolfowitz, seorang pejabat tinggi AS yang terkenal cemerlang, mengisyaratkan keinginan Gedung Putih: perhatian pemerintah Amerika tidak sekadar basa-basi. Walau begitu, pertanda serupa sebenarnya sudah diperlihatkan sejak Soeharto mengadakan kunjungan resmi ke Amerika, musim gugur lima tahun berselang: Reagan menyebut nama John Holdridge sebagai dubesnya. Big John - begitu julukannya - memang bukan orang sembarangan. Kala ditunjuk, ia masih memangku jabatan pembantu menteri luar negeri urusan Asia Timur dan Pasifik. Sebelumnya setumpuk jabatan karier lainnya di kementerian luar negeri telah dipegangnya mulai dari Singapura hingga Beijing. Begitu pula halnya dengan Wolfowitz. Ia pun masih menjadi pembantu menlu urusan Asia Timur dan Pasifik ketika Reagan menunjuknya ke Jakarta. Apakah tradisi ini akan langgeng? Tak ada seorang pejabat di Jakarta atau Washington yang berani menebaknya. "Tanyakan sendiri kepada Reagan atau penggantinya nanti," kata seorang di antara mereka. Bagaimanapun, penunjukan Wolfowitz punya keuntungan tersendiri. Istrinya, Clare Selgin, bisa berbahasa Indonesia dan Jawa hal yang jarang terdapat pada istri dubes lainnya. Wolfowitz, yang telah beberapa kali mengunjungi Jakarta sebelum ini, juga menunjukkan bahwa ia seorang yang mengenal Indonesia, dan masalah-masalahnya. Hal itu ditunjukkannya, misalnya, dalam wawancaranya dengan jaringan televisi CBS, yang disiarkan di Amerika Senin dan Selasa silam. Wolfowitz melihat, kendati pendapatan penduduk Indonesia per kapita rendah (sekitar US$ 500) dan ditambah dengan inflasi, masih ada "peningkatan kehidupan di sini". Menurut Wolfowitz, jalan yang harus ditempuh bangsa Indonesia masih panjang. Ia memuji keberhasilan Indonesia berswasembada beras. Dalam jangka panjang, tidak ada alasan bagi mereka untuk gagal mencapai tingkat pertumbuhan yang berarti. Dan itu tidak bergantung pada sumber daya fisik. Ia percaya dengan sumber daya manusianya Indonesia akan mampu melanjutkan keberhasilannya untuk dua dasawarsa lagi. Ketika diminta membandingkan Indonesia dengan Filipina semasa Marcos, Wolfowitz membantah bahwa pemerintahan Marcos tak ubahnya kediktatoran tunggal seperti anggapan orang Amerika umumnya. Dengan nada berhati-hati, ia melihat pengawasan politik di Indonesia sebenarnya lebih ketat. Pemilihan umum bukanlah seperti pemilu yang dikenal di Amerika maupun di Filipina. "Keadaan serta budaya di sini berbeda jauh. Negara ini sudah beratus tahun melandaskan diri pada pemerintahan monarki. Mereka bangga dengan itu. Mereka bangga dengan tradisi Jawa mereka," ujarnya. "Karena itu, untuk menilai keadaan politik di sini haruslah dicamkan bahwa landasan tradisinya berbeda dengan Filipina, yang pada dasarnya mewarisi tradisi demokrasi politik Amerika." Mengenai korupsi di Indonesia dan Filipina? Wolfowitz mengingatkan, semacam uang pelicin tampaknya selalu ada di Asia. Namun, di Indonesia tidak ada monopoli perorangan seperti di Filipina. Industri minyak tidak dimonopoli oleh satu perusahaan di Indonesia. Karena itu, ia merasa "kekayaan yang ada tclah didistribusikan dengan cukup baik". Sebenarnya hubungan AS - RI sejak pertemuan Soeharto - Reagan di Washington biasa-biasa saja. Atau menurut istilah diplomatiknya cordial. Karena itu, wajar kalau dipertanyakan: apakah kunjungan Reagan ke Bali akan lebih menghangatkan hubungan tersebut. Agaknya, tidak banyak yang bisa diharapkan. Reagan cuma "mampir" di Bali dalam perialanannya ke Tokyo. Pembicaraan mereka agaknya lebih menitikberatkan kepada masalah ekonomi. Ketimbang politik, hubungan RI - AS lebih diwarnai oleh masalah-masalah ekonomi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia menjadi salah satu korban sikap proteksi Amerika - yang sebenarnya ditujukan untuk menutup defisit neraca perdagangannya. Kendati masing-masing muncul dengan angka yang berbeda-beda, neraca perdagangan masih mencatat surplus buat Indonesia. Namun, merosotnya harga minyak sampai mendekati angka US$ 10 per barel bisa menggoyahkan neraca tersebut. Patut dicatat, 80 persen lebih ekspor Indonesia ke negara adidaya tersebut berupa minyak. Dan angka tersebut hampir tidak bergeming selama lima tahun terakhir ini. Karena itu. Indonesia melancarkan strategi baru: membuka pasaran komoditi nonmigas. Serangkaian upaya dijalankan. Mulai dari kunjungan misi dagang Indonesia ke Amerika, mendirikan pusat perdagangan, dan menyederhanakan peraturan ekspor. Toh upaya tersebut agaknya masih sulit bersaing dengan sekitar 300 RUU perdagangan, yang sebagian besar sudah mendekati masa penyelesaiannya di Kongres. Salah satu di antaranya adalah RUU Jenkins. Rancangan itu, kalau diterima, bisa memotong 81 persen dari nilai ekspor tekstil Indonesia untuk tahun 1984 yang senilai US$ 234 juta. Masih ada lagi kerepotan lain. Setelah menaklukkan Singapura, Amerika kini mencoba menggebah Indonesia dengan senjata Intellectual Property Right. Selama ini Amerika beranggapan bahwa Indonesia adalah sarang pembajakan terbesar. Masalah ini agaknya mendapat porsi khusus dalam pembicaraan Soeharto-Reagan. Ganjalan berikutnya: Soal Timor Timur. Masalah yang diperkirakan hampir tenggelam di forum PBB ini, pekan lalu, dimunculkan lagi. Tercatat 125 anggota Kongres dan 23 senator, secara terpisah, melayangkan keinginan mereka agar dalam pertemuannya dengan Soeharto, Reagan membicarakan lagi soal "pelanggaran hak-hak asasi di Timor Timur". Mungkin masalah ini tidak akan masuk dalam agenda karena, menurut juru bicara Gedung Putih, Larry Speakes, Reagan tidak berminat membicarakan hal tadi dengan Soeharto. Kendati begitu, desakan para wakil rakyat Amerika tadi menunjukkan masih banyaknya batu penghalang dalam hubungan kedua negara. Sebelum pembicaraan kedua kepala negara itu dimulai, kerikil baru muncul. Dua wartawan Gedung Putih berkebangsaan Australia yang mengikuti rombongan Presiden Reagan, Richard Palfreyman dan Jim Middleton, ditolak masuk ke Indonesia. Sementara wartawan The New York Times berkebangsaan Amerika, Barbara Crossette, diusir dari Bali, beberapa jam sebelum kedatangan Reagan. (lihat Nasional). Hubungan Indonesia-Amerika saat ini memang rata. Sementara pihak di Jakarta mungkin mengharapkan agar AS bisa lebih memberikan perhatian terhadap Jakarta. Namun, tampaknya dalam waktu dekat harapan ini agaknya belum akan terlaksana. Indonesia memang negara dengan penduduk nomor lima terbesar di dunia. Tapi ia tidak termasuk negara yang dipandang perlu mendapat perhatian khusus. Masyarakat AS sendiri kurang mengenal Indonesia. Pertanyaan wartawan CBS pada Wolfowitz mencerminkan ketidakacuhan mereka. "Jika tidak ada Bali dan The Year of Living Dangerously, hanya sedikit orang Amerika yang tahu tempat ini. Mengapa orang Amerika harus peduli dengan apa yang terjadi di sini?" Ketidakacuhan itu memang khas sifat Amerika, yang memandang kebanyakan bangsa dari Dunia Ketiga dengan memicingkan sebelah mata - termasuk pada sekutunya sendiri. Mungkin itu memang ciri setiap bangsa yang menganggap dirinya nomor satu dan paling kuat di dunia. Apakah ini berarti: mengharapkan Amerika akan memandang Indonesia sebagai mitra sejajar merupakan harapan yang terlalu tinggi dan sia-sia? Memang kita tak bisa berharap terlalu banyak dari Amerika, walau dalam wawancaranya dengan enam media massa Asia Tenggara (termasuk Kompas), menjelang keberangkatannya ke Bali, Reagan kembali menegaskan komitmennya untuk tetap "menjaga stabilitas yang mendorong kemajuan ekonomi, politik, dan sosial di Asia Timur". Tampaknya, itu berarti AS akan mempertahankan kehadirannya di Asia Pasifik dan ikut mempertahankan stabilitas kawasan ini. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini