Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bukan hanya kau, yukiko

Penyanyi remaja yukiko okada bunuh diri (jisatsu) dengan meloncat dari gedung tinggi. menyusul puluhan remaja putri melakukan yang sama. april dikenal bulan berbahaya, karena paling banyak ber-jisatsu.(ln)

3 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APRIL, di Jepang, adalah bulan yang berbahaya, ketika kembang sakura mulai mekar. Seperti Selasa itu. Udara dingin awal musim semi 15 derajat. Tengah hari baru saja lewat, ketika seorang gadis berusia 18, dengan wajah pucat, berdiri beberapa detik di atap gedung yang berlantai tujuh di agak ke barat pusat Tokyo. Tiba-tiba tubuhnya melayang. Ia meloncat rupanya. Ke bawah, jatuh, mati. Di Jepang bunuh diri memang bukan perkara aneh, tapi kali ini yang melakukan jisatsu bukan gadis sembarang gadis. Nama remaja itu Yukiko Okada. Cantik. Tenar. Penyanyi pop yang sejak dua tahun lalu jadi pujaan ratusan ribu penggemar, setelah ia datang dari Nagoya dengan nama lama Kayo Sato. Apa yang menyebabkannya memilih mati tak Jelas ia diperkirakan patah hati. Tapi apa yang diakibatkannya mengejutkan: seakan-akan bergiliran, sejumlah orang, khususnya remaja, menyusulnya berjisatsu. Mula-mula ratusan anak muda datang ke tempat Yukiko menemui ajalnya, di bawah Gedung Okido di Distrik Shinjuku itu. Ada yang membawa kaset rekaman lagu-lagu Yukiko. Ada yang membawa poster besar Yukiko. Ada yang mengantarkan kembang indah untuk Yukiko. Seakan-akan hanya dukacita biasa para penggemar. Tapi kemudian, tiga hari setelah Selasa yang sedih itu, dua gadis kakak beradik (yang tua 18 tahun, yang muda 11), sambil bergandengan tangan, meloncat dari sebuah gedung bertingkat 12 di Distrik Edogawa, Tokyo. Mereka meninggalkan bapak ibu dan kedua saudaranya dengan pesan pendek yang tak Jelas: "Sayonara. Minta maaf kepada Papa dan Mama". Esoknya, di Komae, Tokyo juga, seorang siswi kelas II SMA berumur 16 seperti mengikuti jejak kematian yang sama. Ia meloncat dari gedung sekolah. Surat yang ditinggalkannya berbunyi: "Merasa terlalu berat dipilih sebagai anggota kelas". Dua hari kemudian, seorang gadis meloncat dari sebuah atap toserba, di Kota Ageo, Provinsi Saitama. Menurut polisi, ia baru saja dimarahi ibunya karena mengambil uang Y 10.000 (sekitar Rp 66 ribu) untuk membeli buku catatan dan pensil. Umur anak itu: 9 tahun. Maka, media massa Jepang pun ribut, juga orang ramai. "Sindrom Yukiko," kata mereka. Bahwa ada pengaruh kematian Yukiko agaknya itu hal yang tak bisa dibantah. Di Kota Matsudo, Provinsi Chiba, seorang gadis berusia 11 melompat dari gedung tinggi, setelah ia berkali-kali memutar film video Yukiko Okada. Di Kota Kobe, seorang gadis membawa adiknya yang berumur 9 tahun ke sebuah atap gedung. Sebelum meloncat, gadis berumur 16 yang tanpa kerja itu berbisik, "Dik, aku mau jadi seperti Yukiko Okada." Yang lebih dramatis ialah yang terjadi di hari Selasa seminggu setelah kematian Nona Okada, ketika upacara pemakaman dilakukan. Tiga gadis serentak bunuh diri di hari itu. "Selasa yang dikuasai setan," kata sebuah koran. Rupanya, tak cuma Selasa. Koran Jepang pun segera bicara tentang "Jumat yang dikuasai setan" ketika sembilan korban meloncat pada tanggal 18 April. Sampai pekan lalu, tercatat sudah lebih dari 80 orang berjisatsu. Hanya karena Yukiko? Agaknya tak semua kasus berpangkal sebab yang sama. Kematian Yukiko, dan penyebaran berita dramatis itu lewat media massa, terutama televisi, mungkin hanya jadi penarik picu bagi hasrat kematian yang sudah mengendap di hati banyak orang. Di Provinsi Saitama, arah ke barat Tokyo, misalnya, seorang ibu berusia 30 tahun melakukan ikka shinju, bunuh diri sekeluarga, dengan sepasang anaknya yang berumur satu dan tiga tahun. Motifnya: sang suami tak memberi nafkah. Tampaknya, memang ada unsur beratnya beban hidup dalam tindakan memilih mati itu. Zaman harakiri atau seppuku, yang dulu dilakukan sebagai demonstrasi kesetiaan dan pengabdian para samurai, sudah lewat. Mungkin itulah sebabnya bunuh diri, tanpa banyak gaya dan cara, kini dilakukan oleh orang kebanyakan - khususnya di bulan April. Dari dulu, April memang dianggap "bulan berbahaya" bagi anak-anak Jepang. April adalah bulan awal semester di sekolah. April juga awal masuk perusahaan. Dengan kata lain: inilah bulan ketika tekanan terasa hebat, di sebuah masyarakat yang berdesak-desak dan penuh persaingan ke arah sukses. Gagal berarti terpencil dari arus umum. Tapi hanya tekanan hidup itukah yang menyebabkan orang menghabisi hidupnya sendiri? Tak bisa dipastikan. Menurut statistik Badan Kepolisian Nasional Jepang, antara 1947 dan 1984 rata-rata sehari 50 orang ber-jisatsu dengan pelbagai cara. Di tahun 1984, misalnya, ketika ada 24.500 orang bunuh diri, hanya 14% yang bermotifkan soal kehidupan ekonomi. Tapi bagi korban yang berusia di bawah 19, alasan persoalan sekolah, khususnya kegagalan, mencapai 24%. Pada akhirnya, motif utama bunuh diri tak sepenuhnya bisa dikenali. Barangkali juga karena di negeri ini, seperti yang sering ditampilkan dalam lakon-lakon Jepang, bunuh diri adalah "kematian yang indah". Gonawan Mohamad Laporan SeiiChi OkaWa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus