Perundingan Saddam dan pimpinan Kurdi belum membuahkan hasil. Kalau tuntutan Kurdi tak dipenuhi, Sekutu akan tetap mengembargo Irak. Dunia bersimpati pada Kurdi. OPTIMISME para pejuang Kurdi masih melayang-layang. Hari-hari ini, pemimpin mereka, Massoud Barzani, terus berunding dengan Presiden Irak Saddam Hussein di Baghdad. Tetapi segalanya masih diliputi kerahasiaan, padahal mereka sudah bersidang berhari-hari sejak Senin pekan lalu. Tak banyak orang tahu apa yang telah dicapai kedua pemimpin itu. Yang muncul ke permukaan hanyalah gambar Saddam sedang bersalaman dengan Barzani yang ditayangkan televisi Irak. Delegasi Kurdi sendiri tak berkutik. Ke mana pun mereka bergerak, pengawal bersenjata selalu menyertai. Itu sebabnya, meskipun banyak orang masih optimistis, sebagian mulai melihat ganjalan yang pelan-pelan muncul. Mestinya tak ada alasan lagi bagi Saddam dan Barzani untuk berlama-lama berunding. Jika Saddam cepat-cepat bersepakat dengan Barzani, ia bisa menyelamatkan muka. Dengan lantang ia bisa berkata, dunia luar tak perlu ikut campur lagi, soal Kurdi sudah selesai. Saddam juga bisa segera berkonsentrasi menyelesaikan pemberontakan Islam Syiah di selatan jika urusan Kurdi beres. Tapi nyatanya persetujuan tak kunjung tiba. Sumber-sumber Kurdi menyebutkan, salah satu ganjalan besar adalah soal Kota Kirkuk. Daerah penghasil sepertiga minyak Irak ini didiami mayoritas orang Kurdi. Dan menurut perjanjian 1970 yang menjadi pedoman perundingan kali ini, daerah yang secara mayoritas dihuni bangsa Kurdi harus masuk daerah otonom Kurdi. Semua orang tahu, perjanjian 1970 itu diingkari Saddam. Dan pemimpin Kurdi menuduh Baghdad telah mengusir sebagian besar orang Kurdi selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini. Orang-orang Kurdi itu dipindahkan ke Irak Selatan, sementara tempat mereka digantikan oleh orang Arab untuk mendongkrak komposisi agar orang Kurdi tak mayoritas di sana. Ketika Saddam berunding pertama kali dengan Jalal Talabani -- pemimpin gerilya Kurdi yang sangat disegani -- soal Kirkuk ini disebut-sebut sudah beres. Saddam konon bersedia menyerahkan kota yang juga menjadi perlintasan pipa minyak yang menuju Laut Tengah. Itu sebabnya sebagian orang optimistis semuanya akan beres. Tetapi belakangan Baghdad berubah sikap. Mereka menyatakan pemerintah Irak tak punya keinginan untuk menyerahkan kendali atas daerah penghasil minyak kepada bangsa Kurdi. Mana lagi yang dimaksud kalau bukan Kirkuk? Jika perundingan berlarut-larut seperti ini, bukan tak mungkin Saddam kembali lagi ke beleid aslinya. Penuh tipu daya. Sebab, jika merujuk ke perjanjian 1970, cukup banyak konsesi yang harus diberikan kepada bangsa Kurdi. Misalnya saja soal wakil presiden. Menurut persetujuan 1970, salah seorang wakil presiden Irak haruslah orang Kurdi. Pemerintah juga harus membangun universitas Kurdi di Sulaimanniyah, dan memberikan jabatan-jabatan kunci di pemerintah daerah otonomi kepada orang Kurdi. Kalau Saddam dalam keadaan "normal", tentu saja ia tak akan begitu saja menyerahkan semua itu. Sudah terbukti, ia bahkan dengan tegas menghantam pemberontak dengan bom kimia, 1988 lalu, di Kota Halabja. Tetapi sekarang ia terpojok. "Inggris akan menentang semua upaya untuk menghapus embargo ekonomi buat Irak selama persoalan belum selesai," demikian peringatan Perdana Menteri Inggris John Major, yang mau tak mau harus diperhitungkan Saddam. Tekanan internasional yang sangat kuat ini membuat Saddam mesti berunding. Untuk sementara ia bisa bermain waktu dengan menjanjikan segalanya kepada bangsa Kurdi. Bisa jadi, perundingan kali ini memang titik awal kemenangan Kurdi. Belajar dari pengalaman masa lalu, salah satu tuntutan penting mereka sekarang ini adalah meminta jaminan internasional agar persetujuan dengan Saddam nanti, kalau memang tercapai, betul-betul akan dilaksanakan. Bagi bangsa Kurdi, dukungan yang begitu luas dari masyarakat internasional sekarang ini nampaknya jauh lebih ampuh daripada senjata mereka yang ternyata pas-pasan dan tak mampu menghadapi Pengawal Republik, tentara elite Saddam Hussein yang sangat setia. Teriakan Irak bahwa soal Kurdi adalah urusan dalam negeri hampir tak pernah digubris negara mana pun. Bahkan oleh PBB. Sabtu pekan lalu, PBB kembali mengirim Pangeran Sadruddin Aga Khan untuk mendesak Irak agar mengizinkan PBB membentuk polisi khusus yang akan menggantikan 8.000 pasukan Sekutu yang sekarang menjagai penampungan sementara Kurdi di Irak Utara. Gagasan ini tentu saja ditentang Baghdad. "Itu mencampuri urusan dalam negeri Irak," demikian satu alasan pokok keberatan Irak. PBB sendiri nampaknya tak mempedulikan alasan itu. Satu- satunya penghalang sehingga sampai saat ini PBB belum mengirimkan polisi itu adalah soal dasar hukum. Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar menganggap pengiriman polisi bersenjata semacam itu memerlukan restu Dewan Keamanan dalam bentuk resolusi tersendiri. "Bagi saya, setiap pengiriman kekuatan militer memerlukan resolusi sebagai dasar hukum," tutur De Cuellar. Sebenarnya Dewan Keamanan sudah punya resolusi 688 tentang penyelamatan bangsa Kurdi dari kekejaman tentara Irak. Resolusi inilah yang selalu dijadikan dasar oleh Inggris dan Amerika untuk mengirimkan pasukan ke Irak Utara dan membangun penampungan pengungsi di sana, walau oleh beberapa pihak resolusi dianggap tak cukup kuat untuk pijakan. Kini Saddam seolah berpacu. Jika perundingan dengan Kurdi selesai, tak akan ada lagi pasukan asing di Irak. Di lain pihak, PBB masih mengalami kesulitan. Soviet dan RRC, sebagai dua anggota tetap Dewan Keamanan yang punya hak veto, sudah memperingatkan bakal berkeberatan jika ada usulan resolusi semacam itu. Dunia tinggal menunggu, apa lagi yang akan terjadi pada bangsa Kurdi. Yang jelas, prosesi kendaraan pengungsi mulai mengarah ke kamp-kamp yang dibangun Sekutu. Tak semua pengungsi memintas tapal batas, dengan Turki atau Iran. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini