Pencekalan terhadap sejumlah orang yang digolongkan sebagai dissident atau pembangkang, ternyata, mengundang berbagai pendapat dan komentar. Berikut tanggapan dari sejumlah tokoh. AFAN Gaffar, 44 tahun, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kelompok Petisi 50 sebenarnya merupakan orang-orang yang punya keprihatinan besar terhadap masalah sosial-politik di Indonesia, terutama dalam hal peningkatan kualitas demokrasi. Mereka menyampaikan suara yang mungkin tidak bisa dilakukan parpol atau lembaga-lembaga lain. Pemerintah sewajarnya memperlakukan mereka sebagai kelompok (individu) yang bisa membantu dalam menangkap gejala-gejala yang mungkin tidak tertangkap oleh Pemerintah, seperti masalah kesadaran berkonstitusi atau masalah demokrasi, hal yang menjadi concern kelompok Petisi 50. Dengan berkembangnya upaya meningkatkan kualitas demokrasi, sudah sewajarnya Pemerintah memperlakukan mereka sebagai warga masyarakat yang ingin meningkatkan kualitas berpolitik warga negara. Apalagi kelompok Petisi 50 merupakan orang-orang berjasa dalam menegakkan dan mempertahankan negara ini. Jadi, sangat tragis kalau mereka tidak diberi kesempatan sewajarnya untuk berpartisipasi. Saya lebih cenderung melihat kelompok Petisi 50 ini sebagai pengritik biasa. Istilah dissident konotasinya negatif. Pada dissident ada konotasi antinegara. Kelompok Petisi 50 tidak anti-Indonesia. Mereka hanya tidak sepakat dengan cara-cara yang ditempuh Pemerintah, lalu mereka melancarkan kritik. Kalau Menko Polkam Sudomo mengatakan kelompok Petisi 50 telah menghina Presiden, mestinya mereka diseret ke pengadilan. Pemerintah toh tidak menyeret mereka ke pengadilan. Gerakan kelompok Petisi 50, menurut saya, juga tidak akan mempengaruhi stabilitas sosial dan ekonomi Indonesia. Buktinya, IGGI, IMF, Bank Dunia tetap memiliki komitmen untuk membantu perekonomian Indonesia. Mereka punya kepentingan juga melihat pembangunan ekonomi Indonesia bisa berjalan baik dengan stabilitas politik yang stabil. Dengan demikian, interes negara donor atau lembaga donor yang ada di Indonesia akan terlindungi. Kepentingan negara donor adalah agar investasi yang sudah mereka tanamkan di Indonesia tidak sia-sia. Memang ada pressure group di negara-negara donor, seperti pejuang hak asasi yang "termakan" kritik kelompok Petisi 50, sehingga mereka menekan negara pemberi donor. Namun, tekanan mereka tidak mempengaruhi komitmen negara donor dalam memberikan bantuan pada pemerintah Indonesia. Laksamana Pertama (Purn.) Soendoro Sjamsuri, 62 tahun, juru bicara Fraksi ABRI di DPR RI. Terus terang, saya sendiri tidak tahu apa yang disebut Pemerintah sebagai dissident. Apa betul itu terjemahan pembangkang? Kalau saya, misalnya, membangkang tak mau bayar pajak, apa juga dikenai cekal? Sebaiknya Pemerintah menggunakan terminologi yang umum saja, dengan bahasa yang mudah dicerna masyarakat, biar jelas siapa saja yang bisa terkena pencegahan, dan golongan mana yang bisa dikenai penangkalan. Kalau maunya Pemerintah melakukan cekal sebagai upaya tindakan prevensi, boleh saja. Tapi apakah semua terus langsung dipukul sebagai pembangkang? Sebab, kita ini menganut asas praduga tak bersalah. Janganlah orang-orang yang belum tentu terbukti bersalah, langsung divonis. Kalau pers yang melakukan hal seperti itu, bisa disebut trial by the press, tapi kalau pemerintah, disebut apa? Minggu depan kami akan menghadirkan rekan-rekan ahli hukum, agar menjelaskan apa sih pembangkang itu? Abdurrahman Wahid, 50 tahun, Ketua Umum Tanfidziyah PB NU dan Ketua Pokja Forum Demokrasi. Menurut saya, harus ada kejelasan tentang status orang yang terkena sebutan pembangkan, termasuk subversi apaa bukan, harus jelas secara hukum. Juga perlu diberi tahu alasannya, kenapa tidak boleh ke luar negeri. Bagaimanapun di semua negara ada daftar cekal yang biasanya dikenakan pada orang-orang kriminal. Tapi di sini kok dipakaikan pada orang-orang yang punya permasalahan politik. Mbok tolong itu dijelaskan dari sudut hukumnya bagaimana. Kalau tidak, nanti malah bisa menurunkan citra pemerintah di luar negeri. Kalau tidak jelas hukumnya, kan lalu ada kesan bahwa pemerintah itu arbitrer, semaunya sendiri, nggak pakai aturan. Kesan seperti itulah yang harus dicegah. Orang yang berbeda pandangan dengan pemerintah, tampaknya, memiliki gradasi bermacam-macam. Sebenarnya, ini justru menjadi tidak jelas karena gradasi sifatnya politis. Anggapan yang menyebut orang-orang terkena cekal bakal menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri, itu pendapat yang belum jelas. Pendapat macam itu justru harus kita bicarakan bersama. Apa sih ukuran menjelek-jelekkan? Kalau orang menyatakan kenyataan yang ada, apa termasuk menjelekkan? Soerjadi, 53 tahun, Ketua PDI, dan juga menjabat Wakil Ketua DPR/MPR. Saya juga nggak enak dengar istilah dissident untuk kelompok Petisi 50. Kenapa mereka dikategorikan sebagai pembangkang. Menurut saya, orang yang nggak mau bayar pajak, misalnya, itu pembangkang. Pembangkang itu kan mereka yang tidak mau memenuhi satu ketentuan atau peraturan. Anggota Petisi 50 pembangkang dalam masalah apa? Jadi, soal istilah dissident ini harus dijernihkan dulu. Soal beda pendapat, sejauh mereka tetap mendukung undang-undang yang berlaku kan tidak masalah. Berbeda pendapat itu sesuatu yang wajar. Masa 180 juta rakyat Indonesia pendapatnya harus sama semua. Dalam rapat-rapat intern partai misalnya, kami juga berhak mengatakan PDI tidak mendukung sistem floating mass. Sejauh masalah itu diatur undang-undang, kami tetap mendukung. Mengenai soal menjelek-jelekkan pemerintah, kalau memang ada yang melakukan itu, saya pikir secara moral politik tidak dapat diterima. Di dalam negeri, beda pendapat tidak apa. Tapi, di luar negeri, motto right or wrong is my country harus tetap dipegang. Yang juga saya pertanyakan: Apakah soal Petisi 50 masih relevan dengan saat ini? Rasanya, kok tidak sejalan dengan atmosfer keterbukaan yang sedang digalakkan. Karena masalah Petisi 50 berlatar belakang politis, sebaiknya juga diselesaikan secara politis. Menurut saya, perlu ada dialog untuk menjernihkan masalah dari dua pihak, yaitu antara pemerintah dan pihak yang dicekal. Pemerintah agar lebih membuka diri, sedangkan pihak yang dicekal harus bisa meyakinkan bahwa mereka tidak seperti yang dituduhkan. Soal cekal sebenarnya tidak hanya ada di Indonesia. Hanya saja perlu diperjelas mekanismenya. Kriteria orang yang dicekal itu harus jelas, dan harus diumumkan kepada masyarakat. Kalau ada orang terkena cekal, harus diberitahukan alasan-alasannya, tapi tidak usah dipublikasikan secara luas karena sifatnya pribadi sekali. Kalau Pak Slamet (Bratanata) mau membawa masalah Petisi 50 ini ke pengadilan, mungkin akan ada satu kepastian. Brigjen Nurhadi Purwosaputro, Kapuspen ABRI. Bagi ABRI, mereka yang masuk kriteria cekal adalah mereka yang terang-terangan anti-Pancasila dan melawan pemerintah secara bersenjata, seperti anggota RMS, GPK, dan PKI. Mereka ini kalau tidak diwaspadai bisa berbahaya. Kita kan sudah dua kali ketanggor PKI. Begitu pula RMS. Buktinya, beberapa waktu lalu di Maluku ada yang menyuruh mengibarkan bendera RMS. Jadi, walau sudah dianggap mati, ternyata idenya masih tetap ada. Begitu pula PKI. Apalagi tokoh-tokoh PKI di luar negeri saat ini masih banyak. Tentang daftar mereka yang terkena cekal setiap enam bulan sekali direvisi ABRI. Berapa jumlahnya saat ini? Saya nggak bisa mengatakan. Soal beda pendapat, Petisi 50, dissident, tanya saja Menko Polkam Sudomo. Saya takut salah. Rahmat Witoelar, 50 tahun, Sekjen DPP Golkar, dan juga anggota DPR RI. Menurut saya, istilah dissident mengandung konotasi kegiatan fisik. Kalau mau dikaitkan dengan Petisi 50, nanti dulu. Tidak bisa digeneralisir begitu saja. Belakangan ini orang kalau bicara soal Kelompok Petisi 50, seperti bicara tentang satu partai atau golongan tertentu. Mbok satu per satu. Mengenai cekal, menurut saya, kegiatan apa pun dari negara terhadap warganya perlu didasarkan pada kaidah hukum yang berlaku. Di mana-mana banyak negara yang menerapkan sistem cekal seperti Indonesia. Jadi, ini bukan sesuatu yang unik. Mochtar Lubis, 69 tahun, budayawan dan bekas Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya. Di masa Orde Lama dua kali masuk bui karena berbeda pendapat. Pada zaman Orde Lama, kaum dissident cukup banyak karena banyak yang berani bersuara vokal, meski yang dihadapi adalah penjara. Pemimpin partai, anggota DPR, dan bekas menteri yang tidak setuju Nasakom dimasukkan ke penjara. Yang tidak dipenjarakan hanya mereka yang kebetulan berada di luar negeri, seperti Sumitro Djojohadikusumo, dan tokoh-tokoh Masyumi yang berada di Malaysia. Tidak seorang pun dari kami, waktu itu, diproses di pengadilan. Pendek kata, pada zaman Orla itu nggak perlu cekal-cekalan karena tokoh-tokohnya sudah masuk penjara. Pada masa Orde Baru, saya pernah terkena larangan ke luar negeri. Itu terjadi setelah peristiwa Malari 1974. Saya dikira ikut mendalanginya. Waktu saya pulang dari Paris, paspor saya diambil. Sampai 1975, saya tidak bisa ke luar negeri karena saya ditahan kira-kira dua setengah bulan. Setelah bebas, saya bebas ke luar negeri. Pemerintah memang nggak perlu takut pada saya. Saya nggak akan berontak, paling-paling mengritik. Saya juga nggak mau menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri. Kalau saya mengritik Indonesia, maka saya akan melakukan di dalam negeri karena saya ingin didengar atau dibaca oleh rakyat dan pemerintah Indonesia. Apa gunanya saya mengritik kalau yang membaca orang Amerika. Itu prinsip saya. Amartiwi Saleh, 67 tahun, pengacara dan bekas Direktur LBH Bandung. Saya mengetahui masuk daftar cekal ketika akan menghadiri seminar di Malayia pada 1988. Waktu mengurus exit-permit, saya ditolak petugas Imigrasi Bandung dengan alasan nama saya termasuk orang yang tidak boleh pergi ke luar negeri. Saya tidak tahu apa kesalahan saya dan tidak ada pemberitahuan mengapa saya masuk daftar cekal. Sewaktu saya tanyakan pada petugas Imigrasi, jawabnya, "itu perintah atasan." Lalu, saya dianjurkan pergi ke Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta. Di sini saya mendapat jawaban yang sama, dan dianjurkan lagi pergi ke Bakin. Ketika berdialog dengan petugas Bakin, akhirnya saya tahu bahwa yang mereka khawatirkan kalau saya berbuat macam-macam sewaktu di luar negeri. Setelah saya jelaskan bahwa itu tak perlu dikhawatirkan, Bakin mengizinkan saya berangkat. Tapi, ketika saya akan berangkat ke Jepang, April 1991 lalu, peristiwa 1988 terulang. Padahal, saya hanya ingin melihat anak pertama saya melahirkan. Saya penasaran. Saya usut duduk perkaranya. Akhirnya, saya memperoleh kejelasan. Dalam file Imigrasi saya disebut sebagai aktivis human right yang tidak boleh ke luar negeri. Kekhawatiran Pemerintah saya rasa terlalu dibesar-besarkan. Tanpa kita ngomong, orang luar negeri juga sudah tahu. Kadang mereka malah lebih tahu dari kita. Prof. Sri Soemantri, Ketua Jurusan Hukum Tata Negara Unpad. Orang yang terkena cekal bisa saja menggugat pemerintah. Tapi syaratnya, harus ada surat keputusan bahwa mereka terkena cekal. Dan keputusan itu yang mengeluarkan haruslah orang yang berwenang untuk itu, misalnya Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kehakiman, Bakin, atau Kepolisian. Jadi, seandainya mereka yang terkena cekal ingin menggugat, mau tak mau ya perjuangkanlah agar punya surat keputusan. Lebih kuat lagi, kalau surat keputusan itu disertai dengan alasan-alasan pencekalannya. Kalau hanya memakai daftar nama yang dikeluarkan Ditjen Imigrasi, dasarnya tidak kuat. Imigrasi kan tidak punya wewenang untuk memutuskan pencekalan seseorang. Mereka hanya menerima permintaan dari instansi lain. Kasihan dong kalau Imigrasi yang digugat. Maruli Simorangkir, advokat, salah seorang ketua Ikadin. Melakukan cekal jelas melanggar hak asasi manusia. Karena dalam Declaration of Human Rights jelas tertulis: Seorang individu bebas pergi ke tempat yang disukainya. Setahu saya, di negara yang demokratis seperti Amerika Serikat, semua tindakan yang mengurangi hak asasi warga negara, prosedurnya dilakukan melalui pengadilan. Orang yang terkena cekal sebaiknya minta diadili saja supaya status atau kesalahan mereka jelas. Jangan seperti sekarang ini, mereka dihukum tanpa proses. Sulitnya, selama ini istilah pembangkang (yang dituduhkan pada orang yang terkena cekal) tak dikenal dalam terminologi hukum kita. Karena itu, sebaiknya Pemerintah menggunakan terminologi lain: penghinaan atau memfitnah. Dengan terminologi itu, mereka bisa diadili dengan pasal 310 (penghinaan) atau 311 KUHP (fitnah). Cara lain, gugat balik saja pemerintah lewat PTUN. Celakanya, pemerintah juga tak mengeluarkan surat keputusan, yang bisa dipakai kelak sebagai dasar gugatan. Biar begitu, mereka bisa saja mengajukan pertanyaan tertulis mengenai alasan pencekalan. Kalau dalam batas waktu tertentu tak dijawab, instansi itu bisa digugat. Jika upaya lewat PTUN gagal, bisa juga melalui pengadilan negeri, dengan dasar tuntutan: perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah (pasal 1365 KUH Perdata). Jusuf Syakir, 56 tahun, Wakil Sekjen DPP PPP, dan anggota DPR RI. Pemerintah harus secara terbuka dan terus terang menentukan kriteria cekal, terutama dalam bidang politik. Kalau orang menulis sesuatu yang dianggap kurang berkenan, lalu dicekal, tapi ada tulisan yang lebih keras tidak dicekal, ini kan kabur. Sekarang ini kriteria cekal tidak jelas sehingga masyarakat tidak mendapat kepastian hukum. Ini bisa mematikan inisiatif masyarakat. Persyaratan ini bisa dituangkan dalam peraturan pemerintah, minimal dalam keputusan presiden sehingga orang dicekal itu ada dasar peraturannya. Soal anggota Petisi 50 yang dianggap menfitnah Kepala Negara, dulu boleh saja dilakukan karena belum adanya alam keterbukaan. Sekarang yang begitu itu harus kita tinggalkan. Kalau memang orang itu salah, minimal diperingatkan atau kalau perlu dituntut di pengadilan. Dalam alam keterbukaan kita mesti membiaskan hal-hal yang zakelijk. Tuduhap membangkang pada mereka harus bisa dibuktikan, dan mereka harus bisa membela diri. Atas dasar peraturan mana membangkang itu dituduhkan. Alasan Pemerintah bahwa anggota Petisi 50 bisa menjelek-jelekkan bangsa di luar negeri, menurut saya, mereka toh bukan anak-anak lagi. Masakan mereka akan menjelek-jelekkan dalam arti seperti itu. Apalagi dalam alam globalisasi sekarang, antarbangsa tidak bisa menyatakan "ini urusan dalam negeri sendiri". Interdependensinya makin besar. Kekhawatiran ini berlebih-lebihan. Kalau mereka diingatkan, saya yakin mereka tidak akan menjelek-jelekkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini