Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang membangkang di masa lalu

Pada masa pemerintahan bung karno, siapa saja yang tidak setuju pada gagasan bung karno untuk bekerja sama dengan pki ditangkap kecuali yang berada di luar negeri.

18 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABINET yang cering cepat berubah karena dijatuhkan partai oposisi membuat Bung Karno jengkel. Itu akhir tahun 1950-an, akhir dari zaman sistem Demokrasi Parlementer dijalankan. Bung Karno kemudian mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maksudnya menghabisi sistem yang dicangkok dari Eropa itu dan memperkenalkan satu sistem yang lebih "asli" Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1959, ia mengucapkan pidato The Rediscovery of Our Revolution -- penemuan kembali revolusi kita -- yang lebih dikenal dengan istilah Manifesto Politik (Manipol). Di dalamnya terkandung konsepsi "Usdek" (singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) "Gotong Royong" dan Dewan Nasional pun dibentuk. Kekuasaan besar berada di tangan Presiden Soekarno. Reaksi segera bermunculan. Para tokoh partai, yang menentang kebijaksanaan Bung Karno, membentuk Liga Demokrasi (24 Maret 1960). Antara lain Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Soebadio Sastrosatomo (PSI atau Partai Sosialis Indonesia), Soedjatmoko (PSI), I.J. Kasimo (Partai Katolik), Imron Rosjadi (Ketua Pemuda Ansor). Sejauh itu, Pemerintah belum melakukan penangkapan. Namun, segera Masyumi dan PSI dibubarkan, sebab di antara pimpinannya, yang sangat antikomunis, dituduh ikut dalam pemberontakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira ABRI di daerah, terkenal dengan nama "Pemberontakan PRRI" dan "Permesta". Kemudian suhu pemberangusan naik. Tanggal 16 Januari 1962 Sutan Sjahrir (orang PSI yang menjadi perdana menteri pertama Demokrasi Parlementer), Mr. Mohamad Roem (tokoh Masyumi dan bekas wakil perdana menteri), Prawoto, Anak Agung Gde Agung (bekas menteri luar negeri), Yunan Nasution (Masyumi), dan Soebadio Sastrosatomo ditangkap. Mochtar Lubis, sastrawan tenar dan pemimpin redaksi harian Indonesia Ruya yang sering mengkritik Bung Karno, juga disekap. Alasan penangkapan tak jelas. Menurut catatan Rosihan Anwar dalam buku Sebelum Prahara, ada yang dituduh terlibat dengan peristiwa penggranatan di Makassar untuk membunuh Bung Karno pada Minggu malam 7 Januari. Ada juga yang menghubungkannya undangan Anak Agung Gde Agung ke Bali dalam upacara Palebon -- pembakaran jenazah ayah Anak Agung -- 17 Agustus 1960. Pertemuan itu dituduh sebagai kegiatan "subversif" untuk merebut kekuasaan. Sementara itu, H.J.C. Princen yang ikut Liga Demokrasi, juga diciduk. Fitnah dan kecurigaan nampaknya campur baur. Maklum, tak ada yang dibuktikan di pengadilan, apalagi pengadilan juga sudah mulai dijadikan sekadar alat pemerintah. Mochtar di zaman Bung Karno dua kali ditangkap. Pertama, 21 Desember 1956. Kemudian, 14 Juli 1961, ia dibui lagi sepulang dari sidang International Press Institute (IPI) di Tel Aviv. Gara-garanya, Mochtar bicara tentang nasib pers dan penduduk Asia-Afrika, yang harus berhadapan dengan pemerintah totaliter. Satu-satunya tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Imron Rosjadi, pada 23 Mei 1962 juga ditangkap. Alasan juga tak jelas. Ada yang menduga, Imron memang telah lama masuk dalam daftar "cekal" -- meminjam istilah sekarang -- karena menjadi sekretaris Liga Demokrasi. Kemudian kian banyak tokoh yang masuk bui. Entah berapa jumlahnya. Menurut Mochtar Lubis, siapa saja yang tidak setuju pada gagasan Bung Karno untuk bekerja sama dengan PKI, ia akan kena jaring. Kecuali mereka yang berada di luar negeri seperti Prof. Sumitro Djojohadikusumo, yang waktu itu bahkan dianggap termasuk pimpinan pemberontakan PRRI. "Tidak seorang pun dari kami yang diproses lewat pengadilan," kata Mochtar, yang menulis buku Catatan Subversi. Tokoh yang dianggap pentolan PRRI dan Permesta seperti Burhanuddin Harahap (bekas perdana menteri) dan Mohammad Natsir juga menjadi penghuni bui. Sampai kapan? Entah. Konon, setelah si pembangkang menyetujui "Manipol", seperti disebut oleh Soemarso Soemarsono, tokoh Gabungan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dalam Perjalanan dari Tiga Penjara. Soemarso ditangkap 1963. Ia, yang memimpin harian Islam Abadi, di masa Orde Baru juga ditangkap, juga dituduh subversif, dan kemudian meninggal. Rumah tahanan militer (RTM) di Jakarta dan penjara Madiun pun penuh tahanan politik. Sebelumnya RTM hanya dihuni anggota-anggota angkatan bersenjata yang melanggar disiplin militer atau melakukan tindak kriminal. Kemudian dimanfaatkan oleh Kejaksaan Agung untuk menitipkan tahanan politik. Pecah Peristiwa G-30-S, 1965, dan PKI pun hancur dan Bung Karno mulai tergeser. Orang mulai berani lagi berteriak "demokrasi" dan perlunya aturan hukum yang jelas alias rule of law. Semua tahanan politik di RTM pun dipindahkan ke rumah tahanan Kejaksaan Agung. Mei 1966, setelah Orde Baru lahir, semua tahanan politik dilepas. Hanya Sutan Sjahrir meninggal beberapa hari sebelumnya setelah dirawat di Swiss (dengan izin khusus Bung Karno). Ironisnya, beberapa bekas "cekal" yang menentang Orde Lama itu ditangkap lagi, juga tanpa alasan yang jelas, di masa Orde Baru. Soebadio Sastrosatomo dan Mochtar Lubis, misalnya, dicurigai terlibat Peristiwa Malari 1974. "Saya memang disiden abadi," kelakarnya pada TEMPO. Prioyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus