Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Apa yang sebenarnya terjadi di ...

Pengumpulan pendapat di as menyimpulkan, penembakan pesawat iran air oleh kapal penjelajah as dianggap sebagai provokasi iran. sedang semangat balas dendam terhadap as sedang meninggi di iran.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYESALAN kapten kapal USS vincennes tak menjawab teka-teki tragedi Airbus A-300 milik Iran Air, Minggu pekan lalu Sementara ItU, pengakuan Pentagon, departemen pertahanan AS, di akhir pekan lalu, sistem radar canggih yang disebut Aegis, ternyata, memang tak mampu membedakan antara pesawat tempur dan pesawat penumpang. Ditambah bahwa pesawat komersial yang ditembak jatuh oleh vincennes itu ternyata terbang di jalur penerbangan sipil, maka tragedi yang menewaskan 290 penumpang, 66 di antaranya anak-anak usia di bawah 12 tahun, kembali ke titik nol. Dua pernyataan Pentagon itu nyaris mementahkan semua analisa. Berbagai macam dugaan, antara lain, A-300 diiringi pesawat tempur jenis -14, atau pesawat itu melenceng keluar dari jalur penerbangan komersial, atau yang lain lagi, jadi kehilangan alasan. Para pengamat kembali pada dugaan semula bahwa tragedi itu terjadi lantaran faktor kesalahan manusia. Awak kapal vincennes, seperti umumnya pelaut AS di Teluk Persia, sudah demikian terkondisi untuk menghancurkan obyek-obyek yang dicurigai. Mereka lebih suka bersikap "hajar dulu kalau tak menjawab," terhadap pesawat-pesawat yang mendekat, daripada kecolongan, dan diserang lebih dahulu. Habis, memang nyawa taruhannya. Contohnya memang ada. April lalu, sebuah pesawat tempur Irak secara tak sengaja menghajar kapal USS Stark, menewaskan puluhan awaknya. Akibatnya, rekan-rekan mereka jadi bersikap ekstrahati-hati. Lalu terjadilah tragedi Iran Air. Sementara itu, takbir dan salawat masih nyaring bergema di Iran. Perasaan duka dan dendam campur aduk di sanubari pemeluk Islam Syiah itu. Gelombang demonstrasi pun meledak di seantero Iran. Para demonstran menyatakan siap mati syahid. Mereka bersumpah akan menjatuhkan hukuman setimpal bagi musuh bebuyutan, sambil berpekik, "Mampuslah Amerika! Balas ! Balas ! Balas !" Bahkan Ayatullah Khomeini, pemimpin spirltual Iran, sendiri meniupkan semangat tempur. "Kita harus bergegas ke garis depan," sabdanya, Selasa pekan lalu. Dan tujuannya cuma satu, memberi hukuman setimpal kepada AS. Tak pelak lagi, Pasdaran kini kebanjiran ribuan lamaran dari segala pelosok Iran. Dengan semangat menggebu-gebu, para pelamar itu menyatakan mau bergabung dengan pasukan berani mau. Sementara itu, poster-poster dan spanduk berisi caci-maki kepada AS dan para sekutunya makin semarak menghias dinding-dinding bangunan. Tak semua di Iran, memang, dirundung emosi membalas dendam. Hasehemi Rafsanjani, panglima angkatan bersenjata dan Pasdaran, dalam khotbah Jumatnya di Universitas Teheran, pekan lalu, bersuara lunak. Ia mengimbau agar rakyat menahan nafsu balas dendam, menunggu hasil sidang Dewan Keamanan (DK) PBB yang rencananya dimulai Selasa pekan ini. "Saya harap sidang tak cuma ngomel, tapi juga mengutuk tindakan AS dan memerintahkan armada AS hengkang dari Teluk," ujarnya. Hanya saja, harapan Iran untuk memenangkan tuntutannya tampaknya kelewat tipis. AS dan Inggris, yang punya hak veto dalam DK PBB, sepakat untuk menolak tuntutan Iran. Menurut PM Margaret Thatcher, AS punya hak untuk mempertahankan diri dari ancaman lawan. Dan ini bukan kasus pertama yang ditangani DK PBB. Lima tahun lalu pesawat penumpang Korea Airlines yang dihancurkan oleh pesawat tempur Soviet, juga dibicarakan di DK PBB. Waktu itu PBB ternyata tak berkutik, karena dijegal veto Soviet. Kata Soviet, pesawat nahas itu terbang selama dua jam tanpa lampu di atas wilayah Soviet dan tak menggubris ketika diberi peringatan. Maka, pesawat itu terpaksa dihajar rudal ketika melintas di atas sebuah pangkalan militer. Bagi Iran, bila memang terganggu dengan kapal-kapal perang AS yang hilir mudik di Teluk Persia, sebenarnya bisa melakukan "pengusiran". Yakni, menggugat keabsahan zona perang Teluk Persia yang diproklamasikan secara sepihak oleh AS. Menurut hukum laut internasional, zona ekonomi eksklusif sebuah negara meliputi wilayah sampai jarak 200 mil dari pantai. Hitung saja, berapa jarak Teluk Persia dengan pantai terdekat AS. Hanya saja, AS tak pernah mengakui ZEE, dan mahkamah internasional tak pernah sanggup menjatuhkan sanksi terhadap pelanggar. Maka, enak saja bila pekan lalu Presiden Ronald Reagan berjanji tak akan menarik armada tempur dari Teluk Persia Baginya, keamanan jalur pelayaran maga di teluk itu harus tetap terjamin. Bahkan, AS melangkah lebih jauh. Kamis lalu, supertanker berbendera Norwegia, Karama Maersk, diselamatkan oleh kapal perusak USS Montgomery, ketika digempur rudal oleh perahu-perahu motor Iran. Padahal, secara hukum internasional, di laut bebas, AS hanya berhak membela kapal-kapalnya sendiri. Berbeda dengan kasus May Lai di Perang Vietnam hampir sepuluh tahun lalu serdadu AS menembaki rakyat sipil pemerintah AS kali ini didukung rakyatnya. Berbagal pengumpulan pendapat dadakan hasilnya mengejutkan. Sebagian besar rakyat AS menyalahkan Iran dan tak ikut berdukacita. Bahkan 87% menyatakan peristiwa itu sebagai usaha provokasi Iran sehingga pemerintah AS tak perlu memberi ganti rugi kepada para korban. Itu bisa ditafsirkan, kini permusuhan Iran-AS tak bisa lagi dibilang hanya menyangkut kedua pemerintahan. Tapi, sudah menjurus pada permusuhan antarbangsa. Pengaruh "pembantaian" di Teluk itu pun masuk ke Senat AS. Pekan lalu, Senat mengadakan sidang mendadak untuk menolak penjualan rudal darat ke udara Maverick kepada Kuwait, yang bernilai US$ 1,9 milyar. Para senator curiga, jangan-jangan salah satu negeri Timur Tengah itu termasuk salah satu negara yang mulai bersimpati pada Iran, sehingga akan mengarahkan Mavericknya ke Israel. Upaya Reagan untuk menjelaskan betapa negara-negara Teluk perlu memperkuat diri menghadapi Iran tak digubris para senator. Padahal, Kuwait termasuk sekutu AS terdekat di Timur Tengah dan paling sering dihajar rudal Iran. Beberapa bulan lalu, sebuah rudal Iran memporakporandakan kilang minyak Kuwait. Perlu dicatat, sebelumnya, Senat tak menolak penjualan Maverick kepada Bahrain dan Mesir. LALU, apa yang akan diperbuat Iran? Menyulut perang habis-habisan? Mungkin tidak. Rafsanjani sudah memutuskan, Iran tak akan melancarkan balas dendam. Katanya, dengan bersikap bijaksana opini publik akan mendukung Iran. Agak aneh terdengarnya suara yang lain daripada yang lain ini. Bisa jadi sikap Rafsanjani justru realistis. Akhir-akhir ini Iran memang sedang keok. Menteri Luar Negeri Irak Toriq Azis mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB, melaporkan bahwa Iran membantai beberapa tawanan dalam pertempuran di Mawat bulan Mei lalu. Azis juga melaporkan, pasukannya berhasil merebut pegunungan Twana dan Spidara, 12 puncak bukit, dan sebuah pos penjaga perbatasan. Siapa tahu, lunaknya sikap Rafsanjani ada kaitannya dengan kekalahan Iran. Ratusan ribu jiwa rakyat sudah dikorbankan demi ambisi menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein. Kenyataannya, sejak tiga pekan lalu, Iran harus kembali ke dalam perbatasan internasional. Dalam keadaan seperti itu, berat bagi Iran membuka perang baru melawan AS, meski moril tempur rakyatnya menguat. Bisa jadi, itu hanya bersifat sementara. Setelah itu mereka akan berpikir realistis, bahwa perang lebih banyak merugikan. Apalagi, belakangan ini, tekanan ekonomi makin berat. Barang kebutuhan sehari-hari harganya naik berlipat ganda, lagi pula makin sulit ditemukan di pasar. Beberapa isyarat ogah perang sudah ditunjukkan Iran sejak awal bulan ini: memulihkan hubungan diplomatik dengan Kanada, bersedia menerima ganti rugi US$ 1,5 juta dari pemerintah Inggris atas kerusakan kedutaannya di London, yang diserang petugas keamanan Inggris tahun lalu. Waktu itu Inggris marah, karena seorang petugas keamanan, yang mengawasi para demonstran anti-Khomeini, tewas dimangsa peluru yang dilepaskan dari dalam kedutaan. Lebih jauh lagi, menurut Menteri Luar Negeri George Shultz, beberapa hari sebelum tragedi Iran Air meletup, Teheran bahkan mengadakan kontak-kontak rahasia untuk membuka dialog langsung dengan Washington. Entah sekadar muslihat diplomasi atau bukan, yang pasti pendekatan semacam itu jauh di luar dugaan siapa pun. Mengingat ini semua, tipis kemungkinan bahwa Iran sengaja memancing masalah dengan Airbus A-300-nya. Bahkan tak mustahil, amarah rakyat Iran bakal mereda kalau AS bersikap manis dan rela meninjau kembali kebijaksanaan militernya di Teluk Persia. "Mungkin kebijaksanaan ltu sangat tepat, tapi apa artinya kalau tak menjamin bahwa tragedi serupa tak akan terulang," ujar seorang pengamat dari koran berpengaruh di Inggris The Star, dalam wawancara dengan jaringan TV AS CNN. Maksudnya, adakah jaminan bahwa tanker-tanker yang lewat Teluk tak akan diganggu Iran lagi? Dan penerbangan sipil tak akan terkena peluru nyasar lagi? Jalur penerbangan Teluk Persia adalah penghubung utama Eropa dan Asia. Menurut Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), jalur itu setiap hari dilintasi sekitar 240 pesawat komersial, yang mengangkut 50 sampai 60 ribu penumpang. Sedangkan untuk membuka jalur baru, nyaris tak mungkin, karena harus berhadapan dengan persoalan diplomatik, teknis, dan ekonomi yang teramat pelik. Bagaimanapun, di Iran masih terjadi debat sengit soal perlu atau tidak melakukan aksi balas dendam. Ada yang menganggap tragedi itu sebagai kesempatan untuk menyerang AS. Kata mercka, dunia akan memihak Iran menghadapi AS yang lagi puyeng menghadapi caci-maki orang. Ibrahim Agazadeh, anggota parlemen berpengaruh, yang kondang lantaran pernah memimpin pendudukan kedutaan AS di Teheran 8 tahun lalu, termasuk pro pembalasan. Dia yakin benar Iran punya cukup kekuatan untuk melakukannya. Dari sisi lain, tragedi ini menyulut percaturan politik di dalam negeri Iran sendiri. Bagi lawan-lawan Rafsanjani, inilah kesempatan emas buat menjatuhkan bos angkatan bersenjata Iran itu. Mereka scngaja mengampanyekan aksi balas dendam untuk merontokkan wibawa Rafsanjani di hadapan Khomeini dan rakyat. Maklum, sejak bulan lalu, ketika diangkat sebagai panglima angkatan bersenjata dan Pasdaran, Rafsanjani otomatis jadi orang kuat kedua, setelah Khomeini. Eloknya, kedudukannya scbagai ketua parlemen dipertahankan. Tentu saja banyak yang iri. Makin tinggi pohon tegak, makin keras ia diterpa angin. Dan bila Rafsanjani kalah, akibatnya bukan cuma pada dirinya, tapi dunia. Aksi teror bakal muncul di semua penjuru. Korban-korban akan berjatuhan. Mampukah Rafsanjani mencegah kemungkinan ini? Sumber-sumber diplomatik di Teheran memperkirakan, jumlah sukarelawan Iran sudah rontok, tinggal sepertiga, atau sekitar 200 ribu orang. Dari yang masih tersisa itu, banyak yang sudah ogah-ogahan bertempur. Meski demikian, Deputi Menteri Luar Negeri Mohamad Javad Larijani yakin benar kemerosotan itu tak menggambarkan rontoknya moril tempur. "Tak seorang pun di Iran yang mau mempertaruhkan keamanan negara," katanya. MAKA, yang mengkhawatirkan para scteru Iran adalah -- kelompok-kelompok ekstrem di mancanegara yang pro-Iran. Sulit dipungkiri bahwa Iran masih merupakan salah satu tumpuan harapan mereka, sebagai pemasok dana dan senjata. Dan Larijani, kendati mengaku lebih suka penyeesaian lewat pendekatan diplomatik, ia pun mengingatkan bahwa dalam keadaan terpaksa, Iran akan membalas dengan cara lain. Sebuah kelompok ekstrem di Libanon sudah menjawab peringatan itu. Pekan lalu, Orsanisasi Keadilan Revolusi mengumumkan akan mengeksekusi dua orang sandera berkebangsaan AS. Untung, Rafsanjani keburu mengingatkan, para sandera asing di Libanon tak boleh disakiti sebagai korban pembalasan dendam. Eksekusi ditunda. Kini, di negara semrawut itu 18 orang asing berada di tangan penculik. Di luar Libanon anak-anak didik Iran juga tak kalah miiitan. Dua pekan lalu, intelijen Mcsir membongkar sebuah komplotan yang mengaku punya hubungan dengan Pasdaran dan dua kelompok Syiah di Libanon dan Irak. Menurut koran Dubai Akhbar al-Khalejl mengutip seorang perwira intelijen Mesir, kelompok itu merencanakan menyelundupkan sejumlah pamflet dan bahan peledak ke Arab Saudi. Mereka mau membuat keonaran, persis seperti yang dilakukan jemaah haji Iran tahun lalu. Tunisia, tahun lalu, juga pernah kebagian ulah aksi pro-Iran. Suatu ketika petugas intelijen menemukan sejumlah kaset video bcrisi cara-cara melakukan revolusi dan aksi bersenjata di jalanan. Di balik itu, ternyata berkumpul sejumlah aktivis politik dukungan Iran yang berniat menggulingkan pemerintah Presiden Habib Bourguiba. Pusat komandonya adalah kedutaan Iran, sehingga pemerintah Tunisia memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Memang, kedutaan-kedutaan Iran sering dicurigai sebagai markas komando sekaligus tempat perlindungan kelompok-kelompok bawah tanah. Contoh paling menarik terjadi Juni tahun lalu, yang kemudian terkenal dengan "perang kedutaan". Saat itu, polisi Prancis mendadak mengepung ketat kedutaan Iran. Mereka mau menangkap Wahid Gordji, warga Iran yang diduga keras sebagai otak peledakan serangkaian bom di Prancis tahun sebelumnya. Gordji bukan orang sembarangan. Dua tahun lalu, dia pernah bertugas sebagai penerjemah bahasa Prancis ketika Wakil Perdana Menteri Iran Reza Moayeri bertemu dengan Perdana Menteri Jacques Chirac di Paris. Karena itu, ketika pengepungan sudah berjalan tiga minggu, Pasdaran balas mengepung kedutaan Prancis. Paris makin berang. Lalu, keesokan harinya hubungan diplomatik dengan Iran diputus, dan kedutaan Iran digeledah. Gordji ternyata masih ngumpet di sana. Contoh-contoh di atas cukup membuktikan, tak gampang bagi AS membendung serbuan anak-anak didik Iran. Mereka terdiri atas berbagai bangsa dan sering tampil sebagai warga terhormat, sehingga para petugas keamanan di bandar-bandar udara internasional sering kecolongan. Itu soalnya bila Washington memerintahkan semua kedutaan AS dan petugas keamanan yang bertanggung jawab pada keselamatan kepentingan AS di mancanegara meningkatkan kewaspadaan. Kunjungan Menteri Luar Negeri AS, George Shultz, ke Jakarta, awal pekan ini, umpamanya, mendapat kawalan ekstraketat. Termasuk penjagaan memakai seekor anjing pencari jejak. Tapi itu semua masih kemungkinan. Belum terbetik kabar adanya gerakan pembalasan dari Iran kepada AS. Sementara itu, orang terus mencari-cari apa yang sebenarnya terjadi dengan kapal penjelajah USS Vincennes itu. Dari luar kamar komandan kapal, apalagi dari daratan yang jauh dari tempat kejadian, orang memang bisa dengan gampang menyalahkan Rodgers, komandan kapal tersebut. Memang lain situasinya, baik psikis maupun fisik, di kawasan pertempuran dibandingkan dengan di pasar umpamanya. Apalagi bila telah berhari-hari seseorang dalam keadaan tegang, ditambah dengan contoh insiden serangan Irak, naluri menyelamatkan diri memang jadi tajam. Sesuatu yang kecil tapi dianggap bisa mengancam, dalam keadaan begini, pukul dulu urusan kemudlan memang seolah jadi sah. Dalam hal peristiwa Airbus milik Iran Air ini, peristiwanya memang tak "pukul dulu, urusan belakang." Konon, pihak Vincennes telah memberikan peringatan. Mengapa pilot Airbus A-300 tak menjawab? Kemungkinan paling dekat, ia merasa sudah berada di jalur terbang biasa. Dan, menurut Pentagon, seperti telah disebutkan, memang begitu. Harapan satu-satunya untuk memecahkan teka-teki ini adalah ditemukannya kotak hitam pesawat. Negara-negara Teluk menawarkan diri kepada Iran untuk membantu mencari kotak perekam saat-saat terakhir pesawat sebelum kena musibah. Mungkin sebab yang tak terpikirkan bisa diketahui. Atau, mungkin saja ini sekadar kesalahan biasa seorang komandan yang dalam keadaan tertekan, harus memberi komando dalam waktu singkat guna menyelamatkan anak buah -- tak mau ambil risiko. Tapi risiko, ternyata, datang dari urusan lain. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus