Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lomba bisnis di negeri mandela

Afrika selatan diramalkan akan bangkit di dunia bisnis setelah 20 tahun terkena sanksi perdagangan internasional. setelah embargo dicabut pemerintah afsel langsung mempromosikan komoditi ekspornya ke penjuru dunia.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFRIKA Selatan akan segera bangkit di dunia bisnis setelah 20 tahun terkena sanksi perdagangan dan investasi internasional. Menurut laporan World Competitiveness Report 1993 yang disiapkan oleh World Economic Forum di Swiss, Afrika Selatan berada di peringkat ke-11 dari 15 negara industri baru. Ia bahkan di bawah Meksiko, Indonesia, dan Cili. Pertumbuhan GDP (produk domestik bruto) turun dari 5,1% (1984) menjadi 2,1% (1992). Mungkin itu sementara. Sebab, tak lama setelah embargo dicabut tahun lalu, pemerintah Afrika Selatan langsung mempromosikan ekspornya dan mengundang investasi asing. Para diplomat dan anggota "Kadin"-nya dikirim ke berbagai negara. Misinya tak lain memperkenalkan barang made in Afrika Selatan. Tahun lalu, misalnya, Organisasi Perdagangan Luar Negeri Afrika Selatan (SAFTO) mengadakan pameran dagang akbar di Dubai. Hasilnya, ada transaksi sekitar US$ 250 juta dari Timur Tengah. Belum lama ini, di Singapura juga dipamerkan bermacam komoditi Afrika Selatan, seperti perabot rumah, komponen otomotif, peralatan elektronik, buah-buahan, minuman, dan pariwisata. Komoditi yang dilarang diekspor -- masih terkena embargo -- tinggal senjata dan teknologi nuklir. "Larangan ini akan diubah setelah pemerintah baru berjalan," kata Gerrit Pretorius, pejabat kementerian luar negeri Afrika Selatan. Di bawah sanksi ekonomi, Afrika Selatan memang tak boleh membeli atau menjual persenjataan. Akibatnya, industrinya sempat macet selama beberapa tahun. Bila sanksi itu dicabut, diperkirakan ekspornya akan melonjak dari 500 juta rand menjadi 2 miliar rand (US$ 600 juta) setahun, di samping akan membuka 40.000 lapangan kerja baru. Hasil tambang menjadi salah satu andalan (sekitar 49%) dari ekspornya. Ia punya cadangan emas dan berlian terbesar di dunia, di samping mangan, platinum, krom, uranium, dan batu bara. Adalah Afrika Selatan yang berhasil mengembangkan bahan bakar batu bara buat mobil ketika terjadi krisis minyak OPEC beberapa tahun lalu. "Kami ingin membagi-bagikan teknologi pengelolaan bahan bakar dengan negara lain seperti Indonesia, yang kaya akan sumber alam," kata P.J. Botha, kuasa usaha kedutaan Afrika Selatan di Singapura, kepada TEMPO. Karena pasar Eropa kian tertutup, sasaran komoditi Afrika Selatan adalah Asia. Menurut Pieter Laubscher dari Biro Riset Ekonomi di Universitas Stellenbosch, Afrika Selatan, porsi ekspor ke Asia naik dari 14,5% (1985) menjadi 26,35% (1992). Untuk menjalin kerja sama regional, Afrika Selatan pun mengajak India membentuk blok kerja sama ekonomi antarnegara di Lautan Hindia -- mirip AFTA atau NAFTA. Kalau itu terwujud, sedikitnya 11 negara, termasuk Indonesia, akan bergabung. Semangat mengundang negara lain untuk berbisnis di negeri itu pun sangat tinggi. Beberapa negara yang akan segera berbisnis di sana antara lain Pakistan, India, AS, Swedia, Selandia Baru, dan RRC. Dari ASEAN, Malaysia yang paling cekatan. Kendati sudah ada perwakilan resmi di Pretoria, Kuala Lumpur juga mengirim utusan khusus untuk ANC, partai Mandela. Konon, bahan kampanye partai itu, seperti pamflet dan spanduk, sampai-sampai dibiayai oleh Malaysia. Menurut seorang pengusaha Malaysia, Kuala Lumpur ingin mengekspor kelapa sawit dan minyak buminya ke sana. Memang, jauh sebelum ANC menang dalam pemilu, wakil perusahaan minyak negara Petronas sudah di sana. Belum lama ini, perusahaan Malaysian Airline System (MAS) juga memulai penerbangan langsung Kuala Lumpur-Johannesburg ataupun Kuala Lumpur-Cape Town. Kebetulan ada 700.000 penduduk Afrika Selatan keturunan Melayu -- kebanyakan di Cape Town -- yang mungkin akan berkunjung ke negeri leluhurnya. Ada kabar, beberapa pengusaha Indonesia pun sudah mengintip Afrika Selatan. Mungkin mereka bersikap low profile, tak mau gembar-gembor. Karena kedutaan di Pretoria atau konsulat di Cape Town baru dibuka Juni ini? Yuli Ismartono (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus