JIKA ada pihak yang paling terpukul oleh kegagalan di Fez
mungkin dialah Yasser Arafat.
Ketua PLO yang selalu mengenakan afyeh dan berbaju militer yang
rapi ini -- tapi dengan jenggot dan cambang yang tak
teratur--memang bukan juru damai. Tapi juga bukan juru tempur.
Dibandingkan dengan tokoh PLO lain dia termasuk tengah-tengah.
Mungkin karena itulah dia lebih bisa dengan mudah mendukung
rencana damai Pangeran Fahd--dan ikut menanggung akibat
kegagalannya.
Sementara para pemimpin Arab lain bersiap-siap berangkat ke Fez,
Maroko, Arafat nampak terbang dari ibukota Arab yang satu ke
ibukota yang lain. Dia mungkin tak mencoba mencari dukungan
tambahan buat rencana Fahd. Dia mungkin mencoba mengukuhkan
dukungan bagi posisinya sendiri. Tapi toh jelas: berbeda dengan
para pemimpin gerilya Palestina lainnya, yang merupakan
saingannya, Arafat paling sedikit tak memusuhi rencana Fahd.
Rencana Fahd memang mengandung kesediaan menFakui Israel sebagai
kenyataan yang permanen di Timur Tengah, tapi rencana itu juga
menuntut agar semua tanah yang direbut Israel sejak 1967
dikembalikan. Sebuah negara Palestina juga dikehendaki, dengan
ibukota Jerussalem Timur.
Dengan kata lain, ada alasan yang cukup bagi Arafat untuk
tertarik kepada rencana Fahd. Sebuah sumber bahkan menyebutkan,
bahwa Arafat ikut merancang rencana Fahd itu. Apalagi PLO, dan
kelompoknya sendiri, dapat bantuan besar dari Arab Saudi. Tapi
dia tak segera menyangka, bahwa tentangan terhadap rencana itu
akan begitu hebat dari negeri Arab lain-dan dari sejumlah tokoh
gerilyawan Palestina sendiri.
Dia kemudian mencoba membujuk Presiden Suriah Assad untuk ikut
menyetujuinya. Ketika hal ini gagal, dan perlawanan terhadap
rencana Fahd mengeras, Arafat berusaha mengelakelak. Wawancara
tentang rencana Fahd pun mulai ditambahi dengan koreksi,
sanggahan dan "penjelasan".
Pujiannya bagi rencana itu mulai terbatas: ia menyebutnya
sebagai "suatu basis yang baik bagi perundingan". Di depan para
mahasiswa di Beirut pertengahan November yang lalu ia malah
mengatakan, bahwa rencana Fahd tak menyebut-nyebut tentang PLO.
Dia tambahkan lagi perlunya peranan Uni Soviet di perundingan
internasional tentang Timur Tengah.
Sikap mulai mengambil jarak dari Ryadh ini toh tak
menyelamatkannya dari permusuhan mereka yang lebih radikal. Di
Teheran, ketika Ayatullah Khomeini dan para mullah mengadakan
demonstrasi menentang rencana Fahd, salah satu teriakan ialah,
"Mampuslah Arafat! Mampuslah Fahd!"
Antara Iran dan Arab Saudi memang sedang tak ada persahabatan
sama sekali, baik karena perang Iran-Irak (dan Saudi memihak
Irak) maupun karena tingkah laku jamaah haji Iran yang
menyebar-nyebarkan pamflet dan slogan revolusi di Tanah Suci.
Maka meskipun Arafat pernah disambut di Teheran di hari-hari
pertama kemenangan revolusi -- dan nampak mencium pipi Khomeini
--kini potretnya bukanlah potret seorang kawan seperjuangan.
Hubungan Arafat dengan Suriah mungkin juga rusak. Tapi mungkin
tak seburuk hubungannya dengan Muammar Qaddafy dari Libya.
Bagaimana pun juga, Suriah--seperti halnya Arafat -- membutuhkan
baik bantuan Arab Saudi dan Uni Soviet. Kecuali jika hubungan
antara Saudi dengan Suriah memburuk setelah Fez, Arafat masih
punya harapan untuk tak terjepit.
Yang masih jadi pertanyaan, tenN saja, sejauh mana Arafat akan
efektif dalam PLO. Beberapa tokoh gerilyawan Palestina yang lain
kini mungkin mengetawakannya melihat apa yang terjadi di Fez.
Abu Nidal, misalnya, sudah terkenal kebenciannya kepada
Arafat--dan bermaksud membunuhnya.
Perkembangan yang dramatis ialah bila Arafat benar suatu ketika
harus tersingkir--dengan peluru atau tidak. Perjuangan orang
Palestina, betapapun juga, nampaknya masih membutuhkan dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini