DOKTER kecil itu menggeleng-geleng. Lantas katanya kepada
pembantunya "Anak ini tuli. Tuli!" Maka pengobatan pun
dilakukan: dokter membersihkan telinga si pasien dengan . . .
sebuah sikat besar. Dan penonton tertawa.
Sandiwara anak-anak yang diselenggarakan Sabtu malam pekan lalu
itu, di Balai Sidang, Senayan Jakarta, sekaligus mengharukan
karena justru dimainkan oleh anak-anak yang sendirinya tuli
-termasuk si "dokter". Ini merupakan persembahan dari sekolah
luar biasa untuk anak tuli (SLB-B) Dena Upakara (putri) dan
Karya Bakti (putra), Wonosobo, Jawa Tengah.
Terhitung istimewa. Bahwa anak-anak ini bisa bermain drama,
berkomunikasi satu sama lain secara "biasa" di panggung--meski
tekanan suara mereka tidak seperti tekanan suara anak normal
--tentulah merupakan prestasi dari hasil sistem pendidikan
tertentu. Sebab walaupun anak-anak itu memang memakai alat
pembantu mendengar (APM) di telinga, problem pendidikan bagi
anak yang tuli sejak bayi memang lebih dari sekedar "membantu
telinga".
Yang diterima di sebuah SLB-B memang anak-anak yang hanya organ
pendengarannya yang rusak -- dan bukan organ bicaranya. Hanya,
tanpa mendengar suara apa pun sejak bayi, seorang anak jenis ini
akan dengan sendirinya tak pandai bicara. Dan di situlah
pendidikan dimulai.
Alat pembantu pendengar memang selalu ada di kuping. Toh hanya
dengan itu saja anak-anak mungil ini akan belum bisa membedakan
jenis-jenis getar suara--dan mengaitkannya dengan pengertian
masing-masing di alam normal. Karena itu pelajaran mengenal
bunyi merupakan tahap paling awal. Di Taman Latihan/Observasi
(TLO) Santirama, misalnya prasekolah dari SLB-B Yayasan
Santirama Jakarta yang dikoordinasi BPKKS pimpinan Ny. A.H.
Nasution, latihan pertama itu diberikan kepada anak usia 2-3
tahun. Misalnya: tambur dipukul dan anak melompat. Tambur tidak
dipukul, dan si anak kadang juga melompat--bila ia mengira
"sedang ada bunyi" . . .
Pada tingkat lebih lanjut, dalam latihan mendenar bunyi si anak
tak boleh melihat sumber suara--seperti dituturkan Ibu Encun,
Kepala TLO tersebut.
Barulah anak dipersiapkan bicara dengan menirukan suara guru.
Disuruh memegang dagu guru, misalnya, atau memakai headphone
yang dihubungkan ke tape recorder. Juga menempelkan tangan pada
tape untuk merasakan getaran.
Hampir tiap pelajaran berikutnya digunakan untuk menambah
perbendaharaan kata. Dan pengenalan arti kata tentulah tak bisa
diberikan hanya lewat pemakaiannya dalam kalimat--seperti di
sekolah normal. Sebuah contoh diceritakan oleh Bruder Petrus
Hendriks, Kepala SLB-B Karya Bakti yang mementaskan sandiwara
tadi. Untuk menerangkan kau "nakal" saja, seorang anak disuruh
naik meja. "Anak itu nakal". Disuruh mencubit temannya, disuruh
menjatuhkan pensil temannya dan banyak lagi. "Anak itu nakal.
Nakal." Maklum, mereka tak akan bisa mendapat pengertian itu
dari kawan-kawan sepermainan yang normal--kalau ada.
Di Santirama, tiap hari pelajaran dimulai dengan bercakap-cakap.
Suatu hari misalnya seorang anak membawa kipas. Maka percakapan
di kelas--yang uk boleh lebih dari 10 orang--ditentukan berkisar
seputar kipas. Untuk tingkat lebih tinggi percakapan lebih
kompleks. Hanya alat peraga harus selalu disiapkan--foto-foto
misalnya.
Juga ada pelajaran menulis karangan tenung yang barusan
dipercakapkan. Di antara hasil karangan anak-anak SLB-B
Wonosobo, yang ikut dipamerkan pula di lobi Balai Sidang Senayan
waktu pementasan sandiwara itu, ada yang berjudul Kacamata Edi
Ini hasil tulisan anak kelas I. Ayo kami pergi ke kelas II.
Kami mau melihat kacamata Edi. Kacamata Edi pecah. Sebab apa?
Sebab kacamata itu jatuh. Di mana? Di bangsal. Yang menarik, ini
merupakan hasil reportase atas kejadian nyata -- dengar
bimbingan guru.
Dan sungguh, bila kini dikeluhkan tulisan anak-anak bak cakar
ayam, tulisan para tuliwan ini rapi. "Mungkin semua tulisan anak
tuli baik," kata Ibu Encun. "Tulisan kan bagi mereka sebagai
ganti suara."
Tanpa Menyanyi
Di seluruh Indonesia ada sekitar 70 SLB-B. Yang tertua di
Bandung, berdiri 1933. Yang di Wonosobo termasuk yang lama
juga--berdiri 1938. Jumlah siswa seluruhnya sekitar 270. Tingkat
kelasnya, sebagai gambaran: prasekolah 1 tahun, tingkat dasar 8
tahun dan lanjutan pertama 4 tahun. Sekolah ini mensyaratkan
usia minimal anak 5 tahun, karena di sini si anak diasramakan.
Adapun Yayasan Santirama membuka TLO-nya baru 1970. "Waktu itu
peralatan untuk mendeteksi anak-anak tuli sudah berkembang.
Hingga anak dua tahun pun sudah bisa diketahui apakah hanya tuli
atau punya kelainan lain lagi," tutur Bu Encun pula. Maka TLO
menerima murid lebih dini, pada usia 2 tahun, agar pendidikan
lebih mudah dilakukan. Tingkat prasekolah pun dengan demikian
lebih lama--5 tahun. Tingkat dasar dan lanjutannya baru
didirikan setahun kemudian. Lama pendidikan dasar 8 tahun,
lanjutan 3 tahun. Para siswa tak diasramakan.
Ternyata anak-anak tuli pun punya kecerdasan seperti anak
normal. Ada beberapa lulusan tingkat dasar Santirama yang kini
meneruskan ke SMP biasa.
Memang pelajaran yang mereka terima tak berbeda dengan pelajaran
di SD. "Hanya makan waktu lebih lama," kata Bruder Petrus dari
Wonosobo. "Dan tak ada pelajaran menyanyi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini