Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Anak-Anak Dunia Sunyi

Sekilas pendidikan anak cacat di SLB-B. Anak-anak yang hanya organ pendengarannya yang rusak diterima.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTER kecil itu menggeleng-geleng. Lantas katanya kepada pembantunya "Anak ini tuli. Tuli!" Maka pengobatan pun dilakukan: dokter membersihkan telinga si pasien dengan . . . sebuah sikat besar. Dan penonton tertawa. Sandiwara anak-anak yang diselenggarakan Sabtu malam pekan lalu itu, di Balai Sidang, Senayan Jakarta, sekaligus mengharukan karena justru dimainkan oleh anak-anak yang sendirinya tuli -termasuk si "dokter". Ini merupakan persembahan dari sekolah luar biasa untuk anak tuli (SLB-B) Dena Upakara (putri) dan Karya Bakti (putra), Wonosobo, Jawa Tengah. Terhitung istimewa. Bahwa anak-anak ini bisa bermain drama, berkomunikasi satu sama lain secara "biasa" di panggung--meski tekanan suara mereka tidak seperti tekanan suara anak normal --tentulah merupakan prestasi dari hasil sistem pendidikan tertentu. Sebab walaupun anak-anak itu memang memakai alat pembantu mendengar (APM) di telinga, problem pendidikan bagi anak yang tuli sejak bayi memang lebih dari sekedar "membantu telinga". Yang diterima di sebuah SLB-B memang anak-anak yang hanya organ pendengarannya yang rusak -- dan bukan organ bicaranya. Hanya, tanpa mendengar suara apa pun sejak bayi, seorang anak jenis ini akan dengan sendirinya tak pandai bicara. Dan di situlah pendidikan dimulai. Alat pembantu pendengar memang selalu ada di kuping. Toh hanya dengan itu saja anak-anak mungil ini akan belum bisa membedakan jenis-jenis getar suara--dan mengaitkannya dengan pengertian masing-masing di alam normal. Karena itu pelajaran mengenal bunyi merupakan tahap paling awal. Di Taman Latihan/Observasi (TLO) Santirama, misalnya prasekolah dari SLB-B Yayasan Santirama Jakarta yang dikoordinasi BPKKS pimpinan Ny. A.H. Nasution, latihan pertama itu diberikan kepada anak usia 2-3 tahun. Misalnya: tambur dipukul dan anak melompat. Tambur tidak dipukul, dan si anak kadang juga melompat--bila ia mengira "sedang ada bunyi" . . . Pada tingkat lebih lanjut, dalam latihan mendenar bunyi si anak tak boleh melihat sumber suara--seperti dituturkan Ibu Encun, Kepala TLO tersebut. Barulah anak dipersiapkan bicara dengan menirukan suara guru. Disuruh memegang dagu guru, misalnya, atau memakai headphone yang dihubungkan ke tape recorder. Juga menempelkan tangan pada tape untuk merasakan getaran. Hampir tiap pelajaran berikutnya digunakan untuk menambah perbendaharaan kata. Dan pengenalan arti kata tentulah tak bisa diberikan hanya lewat pemakaiannya dalam kalimat--seperti di sekolah normal. Sebuah contoh diceritakan oleh Bruder Petrus Hendriks, Kepala SLB-B Karya Bakti yang mementaskan sandiwara tadi. Untuk menerangkan kau "nakal" saja, seorang anak disuruh naik meja. "Anak itu nakal". Disuruh mencubit temannya, disuruh menjatuhkan pensil temannya dan banyak lagi. "Anak itu nakal. Nakal." Maklum, mereka tak akan bisa mendapat pengertian itu dari kawan-kawan sepermainan yang normal--kalau ada. Di Santirama, tiap hari pelajaran dimulai dengan bercakap-cakap. Suatu hari misalnya seorang anak membawa kipas. Maka percakapan di kelas--yang uk boleh lebih dari 10 orang--ditentukan berkisar seputar kipas. Untuk tingkat lebih tinggi percakapan lebih kompleks. Hanya alat peraga harus selalu disiapkan--foto-foto misalnya. Juga ada pelajaran menulis karangan tenung yang barusan dipercakapkan. Di antara hasil karangan anak-anak SLB-B Wonosobo, yang ikut dipamerkan pula di lobi Balai Sidang Senayan waktu pementasan sandiwara itu, ada yang berjudul Kacamata Edi Ini hasil tulisan anak kelas I. Ayo kami pergi ke kelas II. Kami mau melihat kacamata Edi. Kacamata Edi pecah. Sebab apa? Sebab kacamata itu jatuh. Di mana? Di bangsal. Yang menarik, ini merupakan hasil reportase atas kejadian nyata -- dengar bimbingan guru. Dan sungguh, bila kini dikeluhkan tulisan anak-anak bak cakar ayam, tulisan para tuliwan ini rapi. "Mungkin semua tulisan anak tuli baik," kata Ibu Encun. "Tulisan kan bagi mereka sebagai ganti suara." Tanpa Menyanyi Di seluruh Indonesia ada sekitar 70 SLB-B. Yang tertua di Bandung, berdiri 1933. Yang di Wonosobo termasuk yang lama juga--berdiri 1938. Jumlah siswa seluruhnya sekitar 270. Tingkat kelasnya, sebagai gambaran: prasekolah 1 tahun, tingkat dasar 8 tahun dan lanjutan pertama 4 tahun. Sekolah ini mensyaratkan usia minimal anak 5 tahun, karena di sini si anak diasramakan. Adapun Yayasan Santirama membuka TLO-nya baru 1970. "Waktu itu peralatan untuk mendeteksi anak-anak tuli sudah berkembang. Hingga anak dua tahun pun sudah bisa diketahui apakah hanya tuli atau punya kelainan lain lagi," tutur Bu Encun pula. Maka TLO menerima murid lebih dini, pada usia 2 tahun, agar pendidikan lebih mudah dilakukan. Tingkat prasekolah pun dengan demikian lebih lama--5 tahun. Tingkat dasar dan lanjutannya baru didirikan setahun kemudian. Lama pendidikan dasar 8 tahun, lanjutan 3 tahun. Para siswa tak diasramakan. Ternyata anak-anak tuli pun punya kecerdasan seperti anak normal. Ada beberapa lulusan tingkat dasar Santirama yang kini meneruskan ke SMP biasa. Memang pelajaran yang mereka terima tak berbeda dengan pelajaran di SD. "Hanya makan waktu lebih lama," kata Bruder Petrus dari Wonosobo. "Dan tak ada pelajaran menyanyi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus