SUARA marah terdengar, dan Raja Hassan dari Maroko, sebagai tuan
rumah, tiba-tiba menutup konperensi tingkat tinggi (KTT) Liga
Arab yang baru beberapa jam bersidang itu. Dalam sekejap mata,
sidang di Fez yang hendak membahas usul damai Pangeran Fahd dari
Arab Saudi itu menjadi sebuah fasco alias kegagalan.
Tindakan Raja Hassan itu mungkin satu-satunya yang bisa
disetujui semua yang hadir. Para delegasi dengan segera toh
melihat bahwa konperensi itu berangkat dalam keadaan payah untuk
bisa berhasil mempersatukan sikap negara-negara Arab terhadap,
usul Fahd yang secara implisit mengandung pengakuan pada Israel
itu.
Kenapa? Seorang anggota delegasi penting berbisik: rencana
perdamaian Fahd sebenarnya bisa didukung oleh mayoritas dari
ke-21 negeri Arab, tapi sekelompok kecil menolak dengan keras.
Hasilnya sudah bisa diraba sejak hari kedua pertemuan tingkat
menteri sebelum KTT-nya dimulai.
Nihil
Yang jelas menolak lantang adalah Libya. Pemimpinnya, Muammar
Qaddafy, tak mau datang. Sementara itu menteri luar negerinya
yang berangkat ke Fez, Abdulani Obeidi, berkata: rencana damai
Fahd adalah "pengkhianatan terang-terangan".
Tapi jika pendirian Libya sudah masuk hitungan Arab Saudi, tak
demikian halnya dengan pendirian Suriah. Negeri ini menerima
bantuan keuangan cukup besar dari Saudi. Beberapa hari sebelum
pertemuan Fez, Menteri Luar Negeri Suriah Abdul Halim Khaddam
berembuk dengan Raja Khalid dan Pangeran Fahd sendiri di Riyadh.
Kemudian Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Saud al Faisal
membalas kunjungan ke Damascus. Namun usaha keras untuk menarik
Suriah ke pihaknya itu rupanya berhasil nihil.
Presiden Suriah Assad, seperti halnya Qaddafy, tetap tak mau
datang ke KTT. Di Fez, Pangeran Saud al-Faisal pun melobi terus
agar rencana negaranya didukung, tapi juga sia-sia. Konperensi
sejak saat itu seharusnya sudah harus diurungkan. Tapi rupanya
sidang masih harus diperpanjang dengan sengketa kata-kata, yang
menyebabkan Raja Hassan marah serta menutup KTT pekan lalu.
Kini, apa yang akan dilakukan? Arab Saudi, menurut sebuah
sumber, sedang membahas perlukah rencana itu terus ditawarkan.
Mungkin saja sebuah KTT baru akan diadakan, kalau ada
tanda-tanda berhasil. Kalau tidak, Arab Saudi harus menelan
kegagalannya diam-diam, meskipun pahit--lalu lebih mendekat ke
Mesir.
Mesir sejak semula memang memberi sambutan baik kepada rencana
Fahd, meskipun ia tetap jalan terus dengan perjanjian Camp
Davidnya dengan Israel. Di bawah Presiden Mubarak, sikap lebih
ramah kepada negeri Arab lain, yang semula mengecamnya, memang
bisa diharapkan. Pekan lalu, misalnya, dalam upacara khusus
Mubarak membebaskan sejumlah tahanan yang diringkus mendiang
Presiden Sadat beberapa hari sebelum ia tewas. Antara lain yang
bebas: wartawan terkemuka Hassanein Heykal, orang kepercayaan
Presiden Nasser, seorang penganjur persatuan Arab (lihat cerita
berikutnya, Mesir).
Bagaimanapun, menurut beberapa analisa, yang menang--karena
terbukti benar--adalah strategi Mesir juga. Setelah KTT Fez
gagal, nyatalah sekali lagi bahwa perundingan penting di Timur
Tengah tak bisa diusahakan dengan mengajak sebanyak-banyaknya
negara Arab. Kini sudah waktunya Arab Saudi menyadari hal itu.
Namun ada kemungkinan juga bahwa Saudi akan lebih mengutamakan
persatuan Arab, ketimbang kemenangan rencana Fahd. Suriah, untuk
memperoleh terus bantuan keuangan dari Riyadh, diperhitungkan
akan berusaha berbaik kembali dengan Saudi. Dan para pemimpin
Saudi sendiri mungkin akan lebih aman dengan keadaan itu. Mereka
mungkin akan kian yakin bahwa kartu penting yang ditawarkan Fahd
toh tak banyak gunanya: bagaimana berdamai dengan Israel, bila
Israel sendiri menolak usul itu -- dan AS tak bisa memaksanya?
Apapun pilihan yang diambil Saudi, untuk sementara ini
negeri-negeri Arab akan terus seperti sesudah Camp David:
berperang tak bisa, berdamai pun tak dapat. Dan wilayah Arab
tetap diduduki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini