MENTERI Riset dan Teknologi B.J. Habibie tertawa ngakak tatkala
pekan lalu dicegat pertanyaan: Betulkah Indonesia secara
diam-diam sedang mengembangkan pembuatan bom nuklir? "Kita kan
masih mempunyai banyak persoalan. Buat apa kita membuat bom
nuklir? Yang lebih penting kan 'bom' makanan," katanya disusul
tertawa berderai lagi.
Buat banyak orang Indonesia pertanyaan itu mungkin menggelikan.
Namun kekhawatiran itu ternyata ada--dan rupanya kuat--di
Australia. Koran mingguan The National Times yang terbit di
Sydney dan mempunyai sirkulasi lebih 100 ribu pada edisi 15
November silam secara menyolok di halaman depannya memuat berita
berjudul The Bowb For Indonesia: Canberra Probe. Dihiasi gambar
Presiden Soeharto, berita itu melaporkan adanya kecemasan di
kalangan pejabat intelijens Australia yang khawatir Indonesia
secara diam-diam tengah mengembangkan pembuatan bom nuklir.
Menteri Pertahanan Australia Jim Killen dilaporkan sangat
khawatir setelah menerima informasi rahasia tentang kegiatan
nuklir Indonesia tersebut. "Tampaknya ia cemas bila para pejabat
Indonesia percaya bahwa Australia sedang mengembangkan pembuatan
senjata nuklirnya sendiri," tulis The National Times. Koran ini
juga mengutip sumbersumber intelijens di Canberra yang
mengungkapkan adanya penelitian khusus untuk mempelajari masalah
ini.
Sehari kemudian Jim Killen membantah berita itu. "Saya tidak
pernah menerima informasi yang mengungkapkan Indonesia tengah
mengembangkan kemampuan nuklirnya," ujarnya seperti dikutip The
Sydney Morning Herald. Ia juga menegaskan, Australia sebagai
penandatanganan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir menjunjung
tinggi perjanjian ini.
Adanya berita itu agaknya menunjukkan masih membayangnya
kecemasan pada sebagian orang Australia terhadap kemungkinan
ancaman Indonesia. Awal tahun ini pers Australia juga
menghebohkan terungkapnya suatu studi berisi petunjuk bagi
pemerintah Australia menghadapi kemungkinan invasi. Laporan yang
ditulis tiga pejabat senior Departemen Pertahanan pada
pertengahan 1970-an itu menyebutkan juga kemungkinan invasi dari
Indonesia yang bersenjatakan nuklir (TEMPO, 4 April 1981).
Jauh sebelum ini, tatkala Indonesia sedang memperjuangkan
kembalinya Irian Barat, Australia juga mencemaskan Indonesia
yang memiliki pesawat pengebom TU-16 yang mampu menjangkau
Australia. Kecemasan itu memuncak tatkala almarhum Presiden
Soekarno pada pertengahan 1960-an mengatakan Indonesia akan
segera memiliki bom atom.
Tak Khawatir
Masyarakat Indonesia sendiri tampaknya tak pernah khawatir akan
kemungkinan ancaman dari Australia. Dalam suatu pengumpulan
pendapat umum oleh TEMPO pada 1980, hanya 3,8% responden yang
menyebut Australia sebagai ancaman, dibanding sekitar 30% yang
menuding RRC.
Membuat bom nuklir sendiri tidak begitu gampang. "Peralatan yang
kita miliki sekarang masih belum memungkinkan kita untuk
membuatnya," kata Budi Sudarsono, Kepala Biro Pengendalian
Radiasi dan Zat radio aktif Badan Tenaga Atom Nasional. Menurut
dia untuk bisa membuat bom, diperlukan sekitar 10 kg uranium
atau plutonium. "Sedang uranium 235 yang kita datangkan dari
Amerika setahunnya hanya antara 3 sampai 4 kg saja," katanya.
Uranium sejumlah itu dipakai untuk dua reaktor nuklir kecil di
Bandung dan Yogyakarta. Reaktor Bandung, yang diresmikan pada
1964, berkapasitas 1 MW sedang Reaktor Yogya yang diresmikan
Maret 1979 berkekuatan 100 KW saja. Menurut Budi Sudarsono, di
samping terikat pada Perjanjian Non Proliferasi Nuklir yang
ditandatangani Indonesia padal979, IAEA (International Atomic
Energy Agency) setiap tahun memonitor reaktor negara-negara
penandatangan perjanjian itu.
Tahun depan Indonesia memang mulai membangun reaktor nuklir di
Serpong yang bakal berkekuatan 30 MW dan diharapkan selesai
dalam 4 tahun. "Reaktor ini dimaksudkan sebagai pembangkit
tenaga listrik. Ia merupakan reaktor nuklir untuk material test
dan pembuat isotop," kata Menteri Habibie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini