Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abu Layla terlihat lega. Pria asal Kota Mosul, Irak, ini berhasil menjejakkan kaki di pos pemeriksaan Khanash, sekitar 22 kilometer ke arah tenggara dari kota itu, yang telah dikuasai pasukan Peshmerga Kurdi, Selasa pekan lalu. Ia akhirnya lolos dari teror kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS, yang dua tahun terakhir mencengkeram Mosul.
Di Khanash, Abu Layla mengajak dua istri dan empat putrinya. Semuanya mengenakan niqab, busana perempuan yang menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali celah untuk dua mata. "Situasi di rumah semakin mengerikan," kata Abu Layla, yang selama ini tinggal di sebuah desa yang berjarak 10 kilometer dari pusat Kota Mosul. "Mereka (ISIS) panik dan bertindak lebih jahat daripada sebelumnya."
Salim, warga Mosul lainnya, mengungsi ke kamp pengungsi Debaga di selatan Irbil. "Dari luar, Mosul tampak baik-baik saja. Namun sebenarnya semua orang ketakutan dan hidup susah," ujar pria yang enggan mengungkap nama lengkapnya ini. Sore itu, Salim menunggu izin dari tentara Kurdi yang menjaga kamp Debaga. Semua orang yang datang dari wilayah ISIS harus diperiksa sebelum diloloskan sebagai pengungsi.
Sejak pasukan Irak menyerbu Mosul, ribuan warga kota itu memilih hengkang. Selasa pekan lalu, operasi pembebasan Mosul dari ISIS memasuki hari kedua. Dipimpin Irak, kampanye militer anti-ISIS melibatkan pasukan lintas negara dan kelompok suku. "Rakyatku tercinta di Provinsi Ninawa, bel kemenangan berbunyi, dan operasi untuk membebaskan Mosul telah dimulai," kata Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi.
Pernyataan Abadi itu mengawali serangan pasukan Irak terhadap milisi ISIS di Mosul. "Kami akan membebaskan Anda dari kebrutalan dan teror ISIS," ujar Abadi kepada 2 juta penduduk Mosul, ibu kota Provinsi Ninawa di Irak utara. Menurut dia, hanya militer Irak yang akan memasuki Mosul, melawan 4.000-8.000 milisi ISIS. "Tidak ada orang lain."
Kota Mosul menjelma menjadi panggung penumpasan ISIS. Ibarat putri cantik, Mosul diperebutkan banyak pria. Haider al-Abadi tidak lagi bisa mengklaim militernya sebagai satu-satunya ujung tombak dalam operasi pembebasan Mosul. Seperti kampanye anti-ISIS di Suriah, perang melawan kelompok ekstremis Sunni itu di Mosul menyeret pasukan dengan bermacam bendera.
"Kami akan terlibat dalam operasi Mosul," ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Senin pekan lalu. Erdogan seakan-akan tak mau kalah oleh Abadi, sang tuan rumah. Di ibu kota Turki, Ankara, Erdogan menegaskan bahwa negaranya berhak ikut menumpas milisi ISIS di Mosul. Sebab, kata dia, Turki berbagi perbatasan sejauh 350 kilometer dengan Irak.
Jauh sebelum operasi Mosul, sejak Desember 2014, Turki telah menempatkan 500 tentara dan 25 tank di kamp Bashiqa. Saat itu, mereka datang atas permintaan Presiden Pemerintahan Otonom Kurdi di Irak, Masoud Barzani. Di kamp Bashiqa, sejauh 30 kilometer ke arah timur laut dari Mosul, serdadu Turki melatih pasukan Peshmerga Kurdi untuk memerangi milisi ISIS. "Gerilyawan Kurdi Irak adalah sekutu terbaik pasukan Turki di kawasan itu dalam lima-enam tahun terakhir," begitu menurut Al Jazeera.
Maka tak aneh jika Erdogan berkeras terlibat dalam operasi Mosul. "Kami akan tetap di Bashiqa untuk melancarkan operasi menumpas ISIS," ujarnya. Ia bahkan mengecam Abadi, yang sempat menyebut intervensi Turki di Mosul sebagai pelanggaran kedaulatan Irak. "Anda (pemerintah Irak) tidak dapat menemukan sekutu seperti kami," kata Erdogan.
Haider al-Abadi, 64 tahun, boleh saja mengabaikan peran Ankara. Namun ia sulit menolak keterlibatan Peshmerga. Sekitar 4.000 pejuang Kurdi Irak larut dalam 30 ribu anggota pasukan gabungan, yang juga berisi gerilyawan suku-suku Sunni. Milisi Syiah, berjumlah 2.000-4.000 orang, juga mewarnai elemen pasukan Irak yang dikerahkan dari selatan Mosul.
Serdadu Kurdi terbukti andal bertempur di garis depan, membuka jalan bagi tentara Irak. Merangsek dari tiga arah di utara Mosul, misalnya, mereka sukses membebaskan 28 desa dalam tiga hari pertama. Di antara desa-desa itu, ada area berpenduduk Kristen yang dikuasai ISIS sejak Agustus 2014. Hampir bersamaan, tentara Irak mengitari pinggiran Hamdaniya, bersiap merebut distrik Kristen terbesar di Irak, di tenggara Mosul, tersebut.
Di Mosul, pasukan Kurdi Irak tidak hanya ingin mengusir ISIS. Sekitar 25 juta warga etnis Kurdi, yang selama ini terserak di sebagian kawasan kaya minyak di Irak, Turki, Iran, dan Suriah, mengusung agenda besar. Mereka telah lama bercita-cita memperluas wilayah otonomi, bahkan membentuk negara sendiri. "Kemerdekaan Kurdistan adalah hak rakyat kami," kata Nechirvan Barzani, Perdana Menteri Pemerintahan Otonom Kurdi di Irak.
Bagi ISIS, Mosul tak kalah penting. Kota terbesar kedua setelah Bagdad itu menjadi kota terakhir di Irak yang dikuasai ISIS. Sebelum ini, ISIS telah kehilangan kendali atas Kota Tikrit, Ramadi, dan Fallujah, yang telah direbut kembali oleh pemerintah Irak. "ISIS belum bisa dianggap kalah di Irak sampai Mosul jatuh," begitu diberitakan Vox.
Mosul juga bernilai simbolis bagi ISIS. Di kota berpenduduk Sunni terbesar di Irak itu, ISIS pertama kali memproklamasikan kekhalifahannya. Saat itu, pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, berkhotbah selama 15 menit di Masjid Raya Al-Nuri, 4 Juli 2014, satu bulan selepas kelompok teror itu menguasai Mosul. Ia mendeklarasikan Negara Islam.
Di mata koalisi Barat, Mosul menjadi sasaran awal sebelum mereka mengincar Raqqa, ibu kota de facto ISIS di Suriah. "Tidak merebut kembali Raqqa akan menjadi kesalahan fatal," kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Marc Ayrault. Prancis tergabung dalam koalisi anti-ISIS yang dipimpin Amerika Serikat. Prancis menerjunkan 150 tentara dan 24 unit jet tempur Rafale untuk mendukung kampanye militer di Mosul.
Satu pihak yang menuai sorotan adalah Turki. Erdogan ngotot karena khawatir terhadap nasib warga Mosul jika ISIS terusir. Menurut dia, pemerintah Irak—yang dikuasai kelompok mayoritas Syiah—bakal menyulitkan penduduk Mosul. "Mosul adalah milik warga Sunni," ujar pria 62 tahun ini. Sebagai pemimpin negara berpenduduk mayoritas Sunni, Erdogan bahkan pernah berujar, "Setelah Mosul direbut kembali, hanya warga Sunni Arab, Sunni Kurdi, dan Turki yang boleh tinggal di sana."
Komentar Erdogan itu panen kecaman. Salah satunya dari Hashd al-Shaabi atau Popular Mobilization Forces. Kelompok milisi Syiah yang dibekingi Bagdad itu menganggap Erdogan rasis. Pelibatan milisi Hashd al-Shaabi dalam operasi Mosul memicu kontroversi. Kehadiran mereka dikhawatirkan memantik konflik sektarian dengan warga Sunni.
Namun Metin Gurcan, analis keamanan dan mantan penasihat militer Turki, menilai Haider al-Abadi dengan cerdik memanfaatkan situasi di Mosul. Abadi, menurut dia, tengah mencoba menjadikan intervensi Turki sebagai bahan bakar untuk mengobarkan nasionalisme baru Irak. "Dan membentuk identitas nasional Syiah," ujarnya, merujuk pada 60 persen populasi Syiah di Irak. "Bagdad tidak bisa bergantung pada Iran atau Amerika."
Operasi pembebasan Mosul sejauh ini mulus. Pasukan Irak, yang disokong serangan udara koalisi pimpinan Amerika, mengklaim telah membebaskan 352 kilometer persegi wilayah selatan Mosul—benteng terakhir ISIS di Negeri 1.001 Malam. Sejumlah pemimpin lokal ISIS bahkan dikabarkan kabur. "Kami melihat pergerakan mereka keluar dari Mosul," kata seorang perwira tinggi Angkatan Darat Amerika, Mayor Jenderal Gary Volesky.
Haider al-Abadi cukup optimistis. Ia menargetkan Mosul terbebas dari ISIS pada akhir tahun ini. Namun Komandan Pusat Kendali Militer Amerika Jenderal Joseph Votel memperkirakan operasi merebut Mosul bisa berlangsung lebih dari satu tahun. Ia membandingkannya dengan operasi serupa di Kota Manbij, Suriah utara, yang berakhir pada medio Agustus lalu. "Butuh 71 hari untuk menuntaskannya," ujar Votel di Pentagon.
Menurut Votel, Mosul merupakan benteng terkuat ISIS. "Luas wilayah Raqqa, ibu kota ISIS, sekitar tiga kali ukuran Manbij. Sedangkan luas Mosul tiga kali ukuran Raqqa," ucapnya, menggambarkan pertempuran sengit yang bakal dihadapi pasukan gabungan anti-ISIS di Mosul. Tantangan makin berat karena, kata dia, "ISIS adalah musuh yang adaptif."
Mahardika Satria Hadi (Newsweek, Middle East Eye, Al Jazeera, Daily Sabah, Vox, The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo