Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte seusai ditangkap, diterbangkan ke Den Haag, Belanda pada Selasa malam untuk diadili di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Hal ini diungkapkan Wakil Presiden Sara Duterte yang juga merupakan putrinya sendiri seperti dilansir The Manila Times.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjadi mantan presiden pertama dari Asia yang akan disidangkan oleh ICC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pernyataannya, Sara Duterte menyebut penyerahan ayahnya kepada ICC merupakan "penindasan dan penganiayaan" dan "penghinaan" terhadap kedaulatan Filipina, serta merupakan pelecehan terhadap semua warga Filipina yang mengakui kemerdekaan mereka.
"Sejak ia ditahan pagi ini, ia masih belum dihadapkan kepada otoritas pengadilan yang kompeten untuk memastikan hak-haknya dan memungkinkannya memanfaatkan keringanan yang dijamin hukum," kata Duterte.
"Ia dibawa secara paksa ke Den Haag," Sara menambahkan.
Kanal media FIlipina melaporkan bahwa sang mantan presiden telah dibawa ke pesawat yang akan menerbangkannya ke kota di Belanda yang menjadi markas ICC itu.
Sebelumnya, kantor kepresidenan Filipina menyebutkan bahwa Duterte diamankan di bandara Manila setelah penerbangannya dari Hong Kong.
"Pagi-pagi sekali, Interpol Manila menerima salinan resmi surat perintah penangkapan dari ICC," kata istana kepresidenan Malacanang dalam sebuah pernyataan.
Pejabat kepolisian mengatakan 379 petugas dikerahkan di Bandara Internasional Ninoy Aquino untuk memastikan "proses yang damai dan tertib" dalam penerapan surat perintah penangkapan.
Pernyataan itu menambahkan bahwa "mantan presiden dan kelompoknya dalam keadaan sehat dan sedang diperiksa oleh dokter pemerintah."
Duterte yang kini berusia 79 tahun tersebut dituduh mengizinkan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM lainnya dalam upayanya memerangi narkoba.
Pada Senin, Duterte sempat menyatakan bersedia dipenjara jika ada surat perintah penangkapan dari ICC.
Namun, setelah surat perintah tersebut turun, ia justru berbalik menolak penahanannya, terlebih karena hal itu dilakukan oleh otoritas Barat, menurut laporan surat kabar The Philippine Star.
Duterte menuntut untuk mengetahui dasar penangkapannya dalam sebuah video yang diunggah ke akun Instagram putri bungsunya Veronica setelah penahanannya.
"Jadi, apa hukumnya dan apa kejahatan yang saya lakukan? Tunjukkan kepada saya sekarang dasar hukum keberadaan saya di sini," katanya dalam video itu.
"Saya dibawa ke sini bukan atas kemauan saya sendiri, tetapi atas kemauan orang lain... Anda harus bertanggung jawab sekarang atas perampasan kebebasan."
Meskipun tidak disebutkan lokasi video tersebut, sebuah foto yang dirilis oleh partai politiknya mengatakan bahwa ia ditahan di Pangkalan Udara Villamor. Laporan yang belum dikonfirmasi menunjukkan bahwa ia kemudian menaiki pesawat sewaan yang akan membawanya ke Den Haag.
Mantan penasihat hukum utama Duterte, Salvador Panelo, menyebut penangkapan itu "melanggar hukum."
"[Kepolisian Nasional Filipina] tidak mengizinkan salah satu pengacaranya untuk menemuinya di bandara dan mempertanyakan dasar hukum penangkapan PRRD," katanya, seraya menambahkan bahwa salinan surat perintah ICC belum diberikan.
Namun, pengacara Krisinta Conti, asisten penasihat hukum di ICC, mengatakan surat perintah penangkapan terhadap Duterte tunduk pada protokol kerahasiaan ketat ICC.
Conti menunjukkan bahwa tidak seperti pengadilan domestik yang mengumumkan surat perintah secara terbuka, ICC sering merahasiakannya untuk mencegah tersangka menghindari penangkapan.
"Semua kejadian selama investigasi dirahasiakan," kata Conti, seraya mencatat bahwa mengumumkan surat perintah penangkapan terlalu dini dapat menyebabkan orang-orang penting melarikan diri atau menghalangi keadilan.
Ia menambahkan bahwa seseorang yang dicari oleh pengadilan harus ditahan dan segera diterbangkan ke Den Haag, tempat proses hukum formal dimulai.
Proses standar dimulai dengan penangkapan dan penahanan tersangka oleh penegak hukum di negara tempat mereka berada. Pihak berwenang kemudian memberi tahu ICC dan mengoordinasikan logistik pemindahan. Setelah pengaturan selesai, transportasi internasional yang aman diatur untuk membawa tersangka ke markas besar ICC.
Diperkirakan lebih dari 6.000 orang yang diduga terkait dengan kejahatan narkoba dibunuh dalam operasi anti-narkoba pada masa jabat kepresidenan Rodrigo Duterte pada 2016--2022. Pembunuhan tersebut memicu penyelidikan ICC terhadap dugaan pelanggaran HAM.
Pada Maret 2018, Filipina menarik diri dari Statuta Roma yang menjadi dasar ICC, dan pada Juli 2023, Filipina menolak bekerja sama dengan pengadilan internasional tersebut serta memilih menjalankan penyelidikannya sendiri.
Namun, pada November 2024, pemerintah Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr. sepakat tidak akan mencegah penahanan Duterte oleh ICC, dan pada Januari lalu, mereka menyatakan akan mematuhi perintah penangkapan Duterte yang diterbitkan ICC.
Pendukung Duterte telah berkumpul di luar rumahnya di Kota Davao, memprotes apa yang mereka klaim sebagai penuntutan bermotif politik.
Pilihan Editor: Rodrigo Duterte Naik Pesawat Usai Ditangkap, Dibawa ke Den Haag?