Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi dan pasukan khusus Israel tiba-tiba menerobos masuk ke pelataran Masjid Al-Aqsa di kompleks Haram asy-Syarif atau yang oleh bangsa Yahudi dan Israel disebut Temple Mount. Pagi itu, pertengahan September lalu, mereka segera menempatkan penjaga di semua sudut. Menurut laporan kantor berita Safa, mengutip seorang sumber yang identitasnya tak disebut, pengamanan itu dikerahkan untuk memperlancar ziarah serombongan pemukim Israel dan kaum Yahudi Amerika.
Berita pendek disertai foto-foto itu menimbulkan perdebatan di antara pembaca Middle East Monitor, situs pemantau pers yang memuatnya. Ada pembaca yang menganggapnya dilebih-lebihkan. "Mereka tidak menerobos dan menyerbu masjid; mereka hanya berjalan karena mereka memang dibolehkan untuk itu dan mengunjungi Temple Mount," kata seorang pembaca di kolom komentar.
Apa pun yang sebenarnya terjadi, kompleks yang merupakan situs bersejarah yang selama ribuan tahun dianggap suci oleh agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam itu memang terus-menerus menjadi sumber ketegangan, khususnya antara warga Palestina (Islam) di sana dan kaum Yahudi. Israel, yang menguasai bagian Kota Tua di Yerusalem, lokasi Haram asy-Syarif, sejak menang perang pada 1967, membatasi akses kaum muslim lokal dalam dua-tiga tahun terakhir.
Potensi benturan kepentingan di antara mereka dikhawatirkan bertambah besar setelah Dewan Eksekutif UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang pendidikan, sains, dan budaya, pada Selasa pekan lalu menyepakati ratifikasi teks resolusi tentang Haram asy-Syarif. Ada 24 negara yang setuju—6 menolak dan 26 memilih abstain—menegasikan klaim sejarah bangsa Yahudi terhadap situs itu.
Reaksi keras segera berdatangan dari Israel. Seorang menteri sayap kanan di pemerintahan koalisi, Uri Ariel, menyerukan agar resolusi itu ditanggapi justru dengan meningkatkan kegiatan di Temple Mount. "Khususnya saat ini, terserah kita sebagai pemerintah untuk bertindak menentang keputusan itu dan untuk menguatkan Temple Mount dan kehadiran kaum Yahudi di sana," tuturnya dalam sebuah surat untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Netanyahu sendiri sudah melayangkan kecaman. Di laman Facebook dan YouTube, dia berkata, "Teater absurd UNESCO berlanjut." Menurut dia, keputusan UNESCO sama saja dengan menyatakan Cina tak punya kaitan apa pun dengan Tembok Besar atau Mesir dengan piramida.
Menteri Pendidikan Naftali Bennett pun mengumumkan pembekuan hubungan Israel dengan UNESCO. Tindakan ini sekaligus berimplikasi menghentikan semua pertemuan dengan pejabat UNESCO, konferensi internasional, dan kerja sama profesional. Menurut laporan Jerusalem Post, Bennett mengirimkan surat dan menyatakan, "Keputusan Anda menyangkal sejarah dan mendorong teror."
Resolusi yang juga dikritik kaum kristiani itu diajukan Palestina—anggota penuh UNESCO sejak 2011—dan didukung Aljazair, Mesir, Libanon, Maroko, Oman, Qatar, serta Sudan. Semestinya pemungutan suara, juga untuk resolusi lain, termasuk deklarasi bahwa Kota Tua di Yerusalem adalah warisan dunia yang berada dalam keadaan bahaya, dilakukan pada Juli lalu.
Sehubungan dengan penundaan itu, Israel melancarkan kampanye kehumasan yang bertujuan menggambarkan bahwa penyebabnya adalah kegigihan usahanya mempengaruhi anggota World Heritage Committee di UNESCO. Tapi klaim ini kemudian dibantah Palestina dan para pejabat negara-negara Arab. Menurut mereka, penundaan dilakukan karena ada percobaan kudeta di Turki; World Heritage Committee dijadwalkan bersidang di Istanbul pada 20 Juli.
"Karena ketidakpastian keamanan berkaitan dengan kudeta yang gagal di Turki, World Heritage Committee memutuskan penundaan semua keputusan sampai persidangannya lagi di Paris pada Oktober," ujar Omar Awadallah, Direktur Kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kementerian Luar Negeri Palestina.
Menurut para pejabat Palestina, resolusi untuk mencantumkan Kota Tua di Yerusalem dalam daftar warisan dunia yang berada dalam bahaya memperoleh dukungan mayoritas anggota World Heritage Committee menjelang 20 Juli. Palestina sebelumnya berhasil memasukkan Gereja Kelahiran di Bethlehem dan Desa Batir ke daftar itu, masing-masing pada 2013 dan 2014.
Awadallah menyebutkan Yerusalem sejak 1982 dianggap sebagai kekayaan dunia yang terancam. "Ketika itu, delegasi Yordania telah meminta dan berhasil mengajukan pendaftaran Yerusalem dan dinding-dindingnya yang terancam bahaya," katanya.
Yang dilakukan Palestina—dengan dukungan Yordania—kali ini adalah mengajukan secara terinci alasan-alasan kenapa Kota Tua dari Yerusalem harus tetap ada di dalam daftar. "Kami memberikan bukti dengan mendokumentasikan terus berlangsungnya penggalian berbahaya oleh Israel, invasi Israel ke Haram asy-Syarif atau Masjid Al-Aqsa, dan kekerasan oleh pemukim Yahudi yang tak terkendali," ujar Awadallah.
April lalu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah memberikan pernyataan keras menentang resolusi UNESCO yang menyebut Masjid Al-Aqsa hanya dengan namanya dalam bahasa Arab. Resolusi yang sama juga menyebut dalam bahasa Arab nama kompleks atau situs tempat masjid ini berdiri, Haram asy-Syarif.
Israel dan bangsa Yahudi menggunakan sebutan Temple Mount sesuai dengan klaim historis mereka bahwa Al-Aqsa berdiri tepat di atas reruntuhan kuil Yahudi yang dihancurkan pada tahun 70. Tapi, bagi Palestina, seperti dikemukakan Awadallah, apa yang dilakukan Israel adalah meyahudikan situs Islam. "Ini adalah teritori pendudukan dan seluruh dunia mengakui Yerusalem timur sebagai bagian dari tanah Palestina yang dijajah Israel pada 1967," katanya.
Sebelum pemungutan suara ratifikasi teks pada Selasa pekan lalu, Yachad, organisasi Yahudi di Inggris, mencela resolusi usulan Palestina itu. Organisasi yang sebenarnya berkampanye agar Israel mengakhiri pendudukan di Palestina dan ikut mendukung solusi dua negara ini menyebutnya "penyangkalan yang provokatif terhadap sejarah Yahudi". Yachad menyayangkan, resolusi itu "hanya menimbulkan kemunduran terhadap upaya perdamaian kawasan dengan memberikan keuntungan bagi kalangan di kedua pihak yang melihat konflik Israel-Palestina sebagai perang suci".
Israel sendiri terus berupaya membujuk negara-negara yang akan terlibat dalam pemungutan suara dan cenderung berpihak pada Palestina agar mengubah dukungan atau sekurang-kurangnya abstain. Negara yang akhirnya terpengaruh antara lain Prancis—yang memilih abstain, padahal dalam voting untuk resolusi serupa pada April lalu memimpin negara-negara Uni Eropa memberikan dukungan.
Tak lama setelah datang cercaan bertubi-tubi, Meksiko berubah pikiran. Semula masuk di antara pendukung, negara itu mengumumkan penarikan sikapnya dan ingin dianggap sebagai negara yang ikut abstain. Brasil, yang juga pendukung, menyatakan tak bisa bersikap serupa jika pada kesempatan lain ada lagi teks resolusi yang tak menghormati keterkaitan antara bangsa Yahudi, Temple Mount, dan Tembok Ratapan.
Kesempatan lain itu sudah pasti tak termasuk sidang World Heritage Committee di Paris mulai Senin pekan ini. Seperti Meksiko dan negara-negara lain di Dewan Eksekutif, Brasil bukan anggota forum ini. Dalam laporannya pada Rabu pekan lalu, Jerusalem Post memperkirakan komisi ini bakal setuju mengadopsi teks yang sama.
Israel sebetulnya tidak diam; negara ini malah berupaya lebih keras mencegah kekalahan lain di badan yang sama. Tapi, seperti diakui Carmel Shama-Hacohen, duta besarnya di UNESCO, pertarungan terjadi di "medan yang sangat berat" karena yang dihadapi adalah negara-negara yang selalu berseberangan dengan Israel dan kebijakan zionismenya.
Purwanto Setiadi (Al Jazeera, Al Monitor, Haaretz, The Guardian, CBN News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo