Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bersatu dalam Duka

Kehilangan raja yang memerintah tujuh dasawarsa, rakyat Thailand akan berduka sepanjang tahun. Ekspresinya macam-macam.

24 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ngeem Damrongkasorn masih ingat betul saat Raja Bhumibol Adulyadej berkunjung. Kala itu dia masih remaja. Dia baru saja pulang dari sekolah. Orang sudah berkerumun untuk menyambut kedatangan Raja. Dia sangat gembira melihat Raja dari dekat. Sang Raja banyak bertanya kepada orang-orang tentang bagaimana kehidupan mereka.

Sayangnya, saat itu hampir tidak ada yang bisa berbahasa Thailand, sehingga mereka harus bergantung pada seorang penerjemah untuk berkomunikasi. Seorang pengawal Raja memperkenalkan mereka sebagai orang-orang laut. "Tapi Yang Mulia menginterupsi dia dan menyatakan, 'Jangan berkata demikian. Kita harus menganggap warga desa ini sebagai warga Thailand yang baru'," tutur Ngeem, kini 71 tahun, tentang kehadiran Raja Bhumibol di Rawai, ujung selatan Phuket, 10 Maret 1959.

Kenangan itu sangat melekat dalam ingatannya. Biasanya suku laut yang nomaden tidak pernah dianggap dan diabaikan. Sabda Raja Bhumibol itu mempengaruhi kehidupan mereka selamanya. Sejak itu, warga Rawai punya hak yang sama dengan rakyat Thailand lainnya, termasuk pendidikan. "Saat kami mendengar Yang Mulia wafat, hati dan jiwa kami menangis," kata Ngeem.

Duka yang sama dirasakan ribuan warga Bangkok yang memenuhi halaman Rumah Sakit Siriraj sejak Raja dinyatakan sakit. Jerit tangis menggema di udara saat sang Raja diumumkan wafat pada 13 Oktober malam. Tujuh dekade memerintah Thailand, raja yang dikenal sebagai Bapa Agung itu mangkat pada usia 88 tahun.

Pemandangan berbeda tampak di Bangkok keesokan harinya. Meskipun tetap sibuk seperti biasa, semua orang mengenakan baju hitam.

Ribuan orang berbaris dari Rumah Sakit Siriraj menuju Istana Agung. Panas terik tak menghalangi mereka memberi penghormatan terakhir, meski banyak pula yang pingsan.

Pemerintah menyatakan hari itu sebagai libur nasional, meski bursa saham Thailand dan institusi keuangan lainnya beroperasi normal. Segala bentuk hiburan di Thailand dihentikan selama sebulan.

Asosiasi Sepak Bola Thailand bahkan membatalkan semua pertandingan selama setahun. Beberapa pemilik bar menyatakan akan berhenti menayangkan laga sepak bola internasional, termasuk Liga Primer Inggris. Padahal sepak bola cukup populer di Thailand.

Berbagai opera sabun berhenti tayang. Saat pengumuman Raja mangkat, semua stasiun televisi baik lokal maupun asing, termasuk BBC, menayangkan video tentang kehidupan dan aktivitas Raja semasa hidupnya. Sebagian besar situs web pemerintah, kedutaan, media, bahkan laman Google lokal berubah warna menjadi hitam-putih.

Sejumlah acara juga dibatalkan, termasuk Festival Musik dan Tari Internasional ke-18 di Bangkok serta Pesta Bulan Purnama di Koh Pha Ngan, tenggara Thailand.

Para pengusaha mengaku tak khawatir akan dampak penghentian semua kegiatan itu terhadap usaha mereka. "Kami tidak memikirkan uang. Ini seperti ayah kami yang meninggal. Siapa yang ingin bersenang-senang saat ayahnya tiada?" kata Pornchai Jitnavasathien, pemilik dua hotel di Chiang Mai.

Duka yang dalam seperti menyatukan rakyat Thailand. Semua bahu-membahu melancarkan acara dan ritual pemakaman serta perkabungan. Relawan dan mahasiswa mengumpulkan sampah dan membersihkan jalan-jalan di sekitar Istana Agung.

Ada yang membagi-bagikan kaus hitam bagi gelandangan yang tinggal di sekitar Sanam Luang, alun-alun yang menghubungkan Wat Phra Kaew, pusat ritual, dan Istana Agung. Ada pula yang menuangkan duka dengan membuat tato. Yang paling laku adalah tulisan "Saya lahir di pemerintahan Raja Rama IX". Gambar Raja Bhumibol dan simbol Raja Rama IX juga menjadi pilihan populer.

Baju hitam dan putih yang digunakan sebagai simbol perkabungan membawa rezeki bagi sejumlah kalangan. Harganya naik dua-tiga kali lipat, meski pemerintah menyerukan agar para pedagang tidak mengambil kesempatan.

Ada pula yang terpaksa tidak mengenakan baju hitam karena kehabisan. Apesnya, fotonya diunggah di media sosial dan menuai kecaman karena dianggap tak berperasaan. "Padahal saya hanya tak punya lagi baju putih atau hitam," kata pria yang namanya tidak disebutkan itu.

Natalia Santi (The Phuket News, Al Jazeera, International Business Times, The Nation, Asian Correspondent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus