Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Awas, ada libya

Pm australia bob hawke memperingatkan negara-nagara pasifik selatan berhati-hati terhadap muammar qadhafi. beberapa anggota partai vanua'aku, di vanuatu terbukti mendapat latihan paramiliter di libya.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PM Australia Bob Hawke tiba-tiba memperingatkan agar negara-negara di Pasifik Selatan berhati-hati terhadap Muammar Qadhafi. "Kerja sama dengan Libya bisa berarti kesalahan fatal," katanya pekan silam. Komentar keras ini muncul setelah anggota partai Vanua'aku (partai yang berkuasa di Vanuatu) terbukti mendapat latihan paramiliter di Tripoli. Kecaman Hawke bukan tidak berdasar. November silam, serombongan warga Vanuatu dan Kaledonia Baru bertolak ke Libya. Tapi suara dari Port Vila, ibu kota Vanuatu, menyatakan mereka hanya belajar jurnalistik, teknik radio, dan sistem penelitian. Anehnya, ketika kembali mereka memakai jaket militer dengan lencana bergambar Muammar Qadhafi. Sedikitnya sudah ada 27 orang Vanuatu dan Kaledonia Baru yang mendapat pendidikan paramiliter di Tripoli. "Situasinya sudah semakin parah dan menggelisahkan, kata Hawke. Bahkan menurut dia, subversi Libya ini lebih berbahaya daripada keterlibatan Soviet di kawasan Pasifik Selatan. Di pihak lain Menlu Indonesia Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tidak perlu khawatir akan hubungan diplomatik yang dijalin Libya dengan negara-negara di Pasifik. Alasannya: kemampuan Libya untuk berbuat nakal sudah jauh berkurang. "Uangnya sudah habis barangkali," demikian seloroh Mochtar. Sementara itu, Kepala Biro Libya di Canberra, Sheban Gashut, tanpa canggung mengakui negaranya sedang meningkatkan kegiatan di kawasan ini. "Kami ingin menjalin hubungan dengan negara-negara di seluruh dunia. Kami ingin mewujudkan perdamaian," katanya. Vanuatu, negara kepulauan kecil di tenggara Papua Nugini, menjalin hubungan diplomatik dengan Libya, sejak dua tahun silam. Dan dalam 18 bulan ini sudah enam kali pejabat pemerintah Libya datang ke Vanuatu. Bahkan para pejabat dan aktivis politik di Pasifik Selatan tampak hadir dalam konperensi gerakan pembebasan di Tripoli. Yang dimaksudkan adalah pembebasan di seluruh dunia. Konon, hadir di pertemuan itu peserta dari IRA (Irlandia), Palestina (PLO), OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan Polinesia (Prancis). Pendekatan Libya ternyata mendapat sambutan hangat PM Walter Lini, penguasa Vanuatu, dan FULK (Partai Kanak Radikal) di Kaledonia Baru. Apalagi dua rombongan yang telah mengikuti program latihan di Libya itu kini bertugas sebagai pengawal partai Vanua'aku sekaligus melindungi wakil-wakil Libya yang datang berkunjung ke sana. Ketika AS menghajar Libya, April tahun lalu, PM Lini mengirim surat dukungan pada Qadhafi antara lain berbunyi, "kami tetap solider dengan Anda." Selain kursus paramiliter (antara lain latihan penggunaan berbagai senjata dan bahan peledak), Libya juga diketahui menyediakan dana bantuan sejumlah puluhan juta dolar. Konon, sebagian dana mengalir ke OPM. Rex Rumakiek, wakil OPM yang berkantor di Port Vila, mengaku ikut menghadiri konperensi di Tripoli. Katanya, Libya sudah membicarakan dana bantuan untuk OPM. "Seperti Vanuatu. Libya ingin sekali menyokong perjuangan kemerdekaan kami. Apa salahnya?" tutur Rex. Awal mula Libya mendapat angin di kawasan ini adalah pada pertengahan 1984. Dua pelopor Front Pembebasan Sosialis Kanak (FLNKS): gabungan dari gerakan perjuangan kemerdekaan Kanak di Kaledonia Baru, diam-diam berkunjung ke Tripoli untuk mencari dana bantuan guna melawan Prancis. Mereka adalah Yann-Celene Uregei dari FULK dan Eloi Machoro dari Union Caledonienne. Kontak pertama ini menimbulkan sengketa dalam FLNKS. Beberapa bulan setelah itu, Machoro ditembak polisi Prancis dalam sebuah keributan di rantai timur Kaledonia Baru. Uregei, yang dalam "pemerintah Kanak" diangkat sebagai menlu, dicopot kedudukannya. Sejak itulah berbondong-bondong aktivis politik dari kedua negara kecil di Pasifik Selatan ini menoleh ke Libya. Agaknya, Qadhafi pun ingin memanfaatkan situasi ini. Ketika merdeka tahun 1980, Vanuatu juga menawarkan hubungan diplomatik dengan 32 negara lain, termasuk AS. Tapi tak ada sambutan positif dari Washington waktu itu. Adapun pilihan menjalin kerja sama dengan blok komunis, "Sejalan dengan kebijaksanaan politik luar negeri kami yang nonblok," kata PM Walter Lini, yang dikenal agresif dan agak "radikal". Sebegitu jauh, Vanuatu menolak peringatan PM Bob Hawke yang melarang bangsa-bangsa merdeka di Pasifik Selatan menjalin kerja sama dengan Libya. Kata PM Lini, "Hubungan kami dengan Libya adalah urusan kami. Kami tak butuh petunjuk orang lain." Ia menambahkan bahwa Vanuatu baru akan mempertimbangkan tuduhan terorisme terhadap Libya, kalau sudah terbukti kelak di pengadilan. Yulia S. Madjid, Laporan Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus