Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jejak langkah sang guru

Wawancara tempo dengan ketua komisi selatan-selatan, julius nyerere tentang gagasan kerja sama selatan-selatan. kerja sama bisa dimulai dari mana saja, tidak mesti ekonomi, sampai soal suksesi.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI hanya Julius Nyerere seorang, yang turun tahta dengan perasaan ikhlas dan girang. "Saya merasa enteng dan lapang," katanya, awal November 1985, sehabis serah terima jabatan Presiden Tanzania kepada Ali Hassan Mwinyi, penggantinya. Sebelum itu, dalam kampanye pemilu Nyerere terus mendampingi Mwinyi, meresmikan jembatan dan jalan raya, bahkan berpidato mengutuk korupsi. Dalam soal suksesi, Nyerere memang menjadi buah bibir orang sejagat. Tapi dia bukanlah tokoh Afrika satu-satunya yang menyerahkan tongkat kepemimpinan lewat proses damai. Sebelum dia sudah ada Leopold Senghor penyair dan negarawan Senegal, pensiun 1980. Lalu Ahmadou Ahidjo, di Kamerun, 1982. Nyherere (baca: Nyuh-reh-ree),65, kini bertani di dusun kelahirannya, Butiama, di tepi timur Danau Victoria. Terlahir sebagai anak Nyerere Burito, kepala suku Zanaki Nyerere sempat mengenyam pendidikan di Inggris dan meraih gelar M.A. (dalam bidang sejarah dan ekonomi) dari Universitas Edinburgh. Ia lazim dipanggil Mualim atau Sang Guru, atau juga Pak Ketua, di lingkungan partainya, Chama Cha Mapinduzi (CCM arti harfiahnya Partai Revolusioner) -- hasil merjer, 1977, Tanganyika African National Union (TANU) dengan Afro Shiraz Partai (ASP) -- yang berkuasa di Tanzania, negeri dengan penduduk 22 juta. Dua tahun setelah mundur sebagai presiden, Mualim Nyerere sudah disahkan sebagai Ketua Komisi Selatan-Selatan, sebuah bentuk kerja sama antara sesama negeri berkembang yang motornya sudah dinyalakan pada pertemuan puncak Harare tahun silam. Pekan lalu, Nyerere berada tiga hari di Jakarta. Dan Sabtu sore, sehari sebelum berangkat, ia menerima TEMPO di kamarnya, president suite Hotel Borobudur, untuk wawancara. Petikannya: Apa yang Anda lakukan untuk kerja sama Selatan-Selatan, pada saat berbagai kerja sama regional, ASEAN misalnya, tidak mulus akibat perbedaan kepentingan? Satu hal jelas, saya akan selalu menampik argumentasi yang antikerja sama, antikooperasi. Kita bicara soal solidaritas. Menurut saya, secara politis ASEAN sukses, meskipun dalam soal ekonomi belum. Dari segi keberhasilannya itu, kerja sama bisa dikembangkan dan harus terus dikembangkan. Jangan lupa, Pasaran Bersama Eropa, yang lahir jauh lebih dulu, juga tidak mulus tapi mereka tetap bekerja sama. Mereka masing-masing sudah kuat, toh masih merasa butuh bekerja sama. Kita, Selatan, yang lemah, kenapa tidak begitu? Padahal, kerja sama bisa dimulai dari segi apa saja, ekonomi, pendidikan, teknologi, atau saling membuka pasar komoditi. Beberapa negeri memiliki kepentingan sama. Tugas komisi adalah merambah jalan menuju kerja sama, yang tidak harus meninggalkan hubungan dengan Utara. Ideology of cooperation harus dibuat menjadi kebutuhan mutlak lebih dulu. Anda yakin gagasan Komisi Selatan-Selatan ini akan sukses? Ya Karena saya percaya, setiap negara memiliki kehendak untuk bersatu. Indonesia bisa menjadi contoh untuk keberhasilan persatuan. Dan itu dimulai dengan stabilitas nasional, pembangunan, lantas pemerataan distribusi. Menyangkut Tanzania, Mualim, sosialisme macam apa yang Anda terapkan, kok bisa tidak terjebak dalam birokrasi, seperti yang terjadi di negeri sosialis lainnya? Jangan terpedaya gambaran ideal tentang Tanzania. Kami tetap menghadapi persoalan birokrasi. Kami juga masih miskin, dengan pendapatan per kapita US$ 210. Cuma, itu tidak jadi halangan. Kami percaya kemampuan otak, maka semua anak bisa masuk sekolah. Itulah ujamaa, penafsiran kami atas sosialisme. Sosialisme kami adalah ujamaa, yang pengertiannya sederhana saja yaitu bahwa semua orang boleh bersekolah. Ketika baru merdeka, 85% penduduk dewasa buta huruf. Akhir tahun nanti, kami perkirakan orang dewasa yang bisa baca tulis menjadi 90%. Soal suksesi? Tidak jadi masalah. Presiden Mwinyi adalah wakil ketua partai (Chama Cha Mapinduzi). Saya masih ketuanya. Apakah Anda yakin, bahwa pemimpin generasi sesudah Anda bisa menjalankan ideologi yang sudah Anda gariskan, dalam memimpin Tanzania? Itu bukan ideologi saya. Itu ideologi partai. Presiden Mwinyi tampil sebagai kandidat partai, bukan kandidat pilihan saya. Dia akan melaksanakan garis partai, seperti juga saya sebelumnya. Dan partai bukanlah partai saya, bukan pula partai dia. Saya boleh pergi, dan dia bisa digantikan nanti, tetapi partai tetap tegak berkibar. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus