DAN luar perbatasan Muangthai, kejadian di Bangkok akhir-akhir
ini nampaknya macam urusan keluarga saja. Kukrit Pranloj 64
tahun, meninggalkan kursi pimpinan pemerintah. Ia kemudian
digantikan Seni Pramoj 71 tahun, abang kandungnya sendiri.
Lewat pemilihan umum yang memperebutkan 279 kursi parlemen
tanggal 4 April yang lalu, sejumlah besar kisah dan kejadian
berputar di sekitar pergantian yang kelihatannya sederhana itu.
Berita pertama yang menarik setelah pemungutan suara: Kukrit
Pramoj kalah di Dusit, sebuah distrik sekitar kota Bangkok.
Kejadian ini mengejutkan orang luar. Tapi, "sudah bisa diduga di
sini", kata seorang wartawan Bangkok.
Dugaan macam demikian beredar jauh sebelum pemilihan umum.
Pemerintahan Kukrit ternyata tidak bisa berbuat banyak dalam
sebuah koalisi dengan 16 partai. "Untuk bertahan, ia harus
menyenangkan yang kiri, kanan maupun yang tengah", kata seorang
politikus di Bangkok. Akhirnya memang tidak ada yang betul-betul
senang, apa lagi puas.
Tapi kalangan militerlah yang paling kalang kabut. Terutama
oleh keputusan Kukrit mengusir tentara Amerika dari Muangthai.
Di bawah tekanan mahasiswa dan golongan kiri, Kukrit berhasil
mengakhiri kehadiran ribuan pasukan Amerika yang sudah di
Muangthai selama bertahun-tahun. Batas terakhir ditentukan: 20
Juli 1976. Pada saat yang sama, ia berhasil pula menciptakan
ketidaksenangan militer terhadap dirinya. Bahkan ketika
perundingan dengan pihak kedutaan Amerika masih berlangsung,
secara terang-terangan pihak militer menentang kebijaksanaan
Perdana Menteri "Tentara Muangthai tidak sepenuhnya siap, dan
perlu waktu serta bantuan Amerika untuk membangun kekuatan
pertahanannya", kata Jenderal Charoen Pongpanich, Kepala Staf
Angkatan Bersenjata Muangthai, bulan silam .
Kedongkolan militer serta orang-orang sipil yang dirugikan oleh
ditariknya pasukan Amerika itulah yang jadi dasar spekulasi bagi
kelalahan Kukrit. Kebetulan pula daerah Dusit itu adalah daerah
yang penuh dengan barak-barak tentara. "Kekalahan Kukrit itu
jelas diatur oleh kalangan militer". kata seorang koresponden
surat kabar Amerika di Bangkok pekan silam. Dan memang sulit
mendapatkan orang yang tidak percaya peranan militer terhadap
kekalahan Kukrit. Namun dari luar partai pimpinan Kukrit (Partai
Aksi Sosial) sama sekali seolah-olah tidak terganggu. Malahan
mencapai kemajuan luar biasa dibanding dengan hasil yang
dicapainya pada pemilihan umum bulan Januari tahun silam.
Tapi dugaan campur tangan pihak militer bukan cuma ini. Ketika
tiba pada proses pembentukan kabinet, Jenderal (pensiunan) Kris
Sivara ditunjuk sebagai calon menteri pertahanan. Ini tidak pula
mengejutkan para peninjau politik di Bangkok. Tapi Seni Pramoj
membantah keras bahwa Jenderal Kris, bekas Panglima Angkatan
Perang Muangthai yang masih amat berpengaruh di kalangan
militer, ada menyumbang sejumlah jutaan bath kepada Partai
Demokrasi sebelum pemilu. Meskipun begitu Seni atau siapa pun
dari kalangan nya, tidak pernah bisa membantah bahwa partai
mereka bekerja sama dengan kalangan militer. "Sudah,terbukti
dalam sejarah negeri ini bahwa pemerintahan yang tidak mendapat
dukungan militer, tidak pernah bisa tahan lama", kata seorang
anggota Partai Demokrasi kepada wartawan TEMPO di Bangkok pekan
silam.
Kabar-kabar yang tesiar di kalangan politisi dan koresponden
asing serta para diplomat di Bangkok menyebut adanya kerja sama
yang rapi antara Partai Demokrasi dengan militer. Anggota
tentara yang menggunakan hak pilihnya konon dianjurkan untuk
memilih Partai Demokrasi Jumlah 170 ribu tentara saja tentulah
tidak akan memberikan kemenangan begitu besar kepada partai
pimpinan Seni Pramoj itu Namun mungkin itu ikut menyebabkan
partai-partai golongan kiri dalam pemilihan ini betul-betul
hancur. Partai Sosialis Muangthai yang dalam pemilihan tahun
silam meraih 15 kursi, kini cuma berhasil merebut 2 kursi Partai
Kekuatan Baru yang juga kiri, cuma berhasil mendapatkan 3 kursi.
Tahun silam: 12 kursi.
Syahdan, jauh sebelum pemungutan suara, ketika kampanye sedang
hangat-hangatnya, rentetan teror dan intimidasi melanda
Muangthai. Lebih dari 30 orang terbunuh, sejumlah besar
luka-luka. "Kebanyakan dari mereka dari golongan kiri", kata
Tanya Phonanan, wartawan mingguan Prachachart di Bangkok. Teror
dan intimidasi yang antara lain menyebabkan kematian Sekjen
Partai Sosialis, Dr. Boonsanong Ponyodayana. Bom dilempar juga
pada kampanye Partai Kekuatan Baru di kota propinsi Chainat,
dengan korban 10 mati dan sejumlah luka-luka. Sementara itu
kampanye anti-Komunis yang hebat digerakkan di seluruh penjuru
Muangthai. Pekan siam, ketua Partai Chat Thai (Partai Nasional
Muangthai), Jenderal Pensiunan Pramarn Adireksan -- menteri
pertahanan pada kabinet Kukrit membantah kabar ingin bahwa kaum
komunis sudah menginfiltrasi Muangthai. "Itu dulu. ketika baru
saja merebut Laos dan Kamboja. Sekarang ini mereka sibuk sendiri
dalam negeri mereka", kata Pramarn lewat penterjemahnya. Tapi
saat-saat menjelang pemilu yang lalu, golongan militer sendiri
yang meniup-niupkan berita infiltrasi itu, dan tidak ada
bantahan dari kementerian pertahanan.
Secara resmi -- baik oleh Seni Pramoj maupun oleh sejumlah
pejabat kekalahan golongan kiri dalam pemilu Muangthai yang baru
lalu ini disalahkan kepada perlakuan buruk Laos terhadap
keluarga kerajaan di Luang Prabang. "Hal itu menyebabkan
orang-orang Muangthai di Propinsi Timur Laut -- dikenal sebagai
daerah pro Partai Sosialis berubah jadi konservatif dan
meninggalkan Partai Sosialis", kata Detchart Wongkomonchet,
Gubernur Propinsi Ubon Rachatani. Tapi peninjau politik di
Bangkok melihat soal itu tidak sesederhana pandangan sang
gubernur. "Ini adalah pemilihan umum Muangthai yang amat kotor
yang pernah saya lihat", kata ketua Partai Sosialis, yang
lantaran ketakutan, memilih bersembunyi daripada melanjutkan
berkampanya menjelang pemungutan suara yang silam. Teror
pastilah ikut memainkan peranan besar dalam menggiring para
pemilih untuk tidak memberi suara pada partai-partai kiri itu.
Kata Dr. Krasae Chanawong, ketua Partai Kekuatan Baru: "Saya
tadinya tidak menyangka partai-partai saingan kami akan
menyebarkan fitnah bahwa kami ini adalah Komunis dan menerima
uang dari KGB (dinas rahasia Rusia). Sebenarnya kami ini anti
Komunis".
MEMANG sulit untuk tidak mempercayai pernyataan Dr Karasae.
Tapi tingkah laku pemuka-pemuka partai kiri dan
resolusi-resolusi mahasiswa yang drastis, sudah jelas
menggelisahkan pihak militer yang menginginkan stabilitas. Juga
membingungkan rakyat banyak yang mendambakan ketenteraman dan
kepastian. Dan dengan bantuan tak langsung pihak militer, yang
punya hubungan tidak resmi dengan gerakan teror kanan, Red Gaul,
pimpinan Kolonel Sukdsai, Partai Demokrasl memetik
kemenangannya. "Sulit mendapatkan pilihan lain", komentar Sulak
Sivaraksa seorang cendekiawan Bangkok.
Kemenangannya menyolok. Tapi ada keharusan bekerja sama dengan
militer. Maka tak semuanya cerah bagi politikus tua Seni. Ia
kini jadi perdana menteri Muangthai untuk ketiga kalinya.
Pertama pada bulan September 1945 hingga Januari 1946, dan yang
kedua pada Pebruari-Maret 1975. Tapi kali ini, koalisinya dengan
Partai Nasional Muangthai dan Partai Keadilan Sosial yang
didominir oleh golongan militer, sesungguhnya hanyalah "koalisi
taktis bagi kami untuk sebuah pemerintahan yang stabil", kata
seorang pimpinan Partai Demokrasi kepada Salim Said di rumah
Seni Pramoj, pada pesta ulang tahun partai itu beberapa hari
yang lalu.
Partai Nasional dan Keadilan Sosial yang dikuasai militer itu
sesungguhnya adalah penjelmaan baru dari partai UTPP yang dulu
dipimpin oleh Thanom Kittikachorn, tokoh militer yang kini hidup
dalam pengasingan setelah terguling pada revolusi mahasiswa
Oktober 1973. "Dan partai itu amat korup, amat kanan dan
bersifat tirani", kata tokoh Demokrasi itu pula. Kuat diduga
bahwa kekayaan jenderal-jenderal pensiunan Muangthai yang kini
jadi politikus itu adalah warisan dari masa jaya Thanom dulu.
Bekerja sama dengan politikus-politikus macam ini, bagaimana
program Partai Demokrasi yang mencita-citakan "asosialisme
lunak" dan pemberantasan korupsi bisa jalan? "Kami akan berusaha
sedapat mungkin", jawab Dr Kamol Somvichian, deputi Sekjen
Partai Demokrasi.
Usaha keras Partai Demokrasi itu sudah terang tidak hanya dalam
program-program sosial dan ekonomi. Sebab bahkan sebelum kabinet
koalisi terbentuk, sejumlah soal politik udah pula menjadi
bahan spekulasi. Mengenai masalah penarikan pasukan-paukan
Amerika dari Muangthai, misalnya, baik Seni Pramoj maupun
Marsekal pensiunan Dawee Chulapsapya (ketua Partai Keadilan
Sosial dan bekas menteri pada zaman Thanom), semuanya mengaku
mendukung kebijaksanaan Kukrit. Tapi kepala staf Angkatan
Bersenjata, Laksamana Sangad, pagi-pagi sudah memperingatkan
para pemenang pemilu, bahwa diperlukan 10 juta bath untuk
perlengkapan militer jika pasukan Amerika itu harus meninggalkan
Muangthai. "Kukrit dan saya mempunyai pandangan politik yang
sama, cuma saja memilih jalan yang lain untuk mencapainya". kata
laksamana Sangad. Dan perbedaan itu tidak bisa ditafsirkan lain
kecuali bahwa pihak militer di Muangthai masih tetap berkeras
agar kehadiran Amerika dipertahankan.
Partai Demokrasi tidak bisa berbuat lain, terbukti dengan
pernyataan pimpinannya, Bichai Ratakul. Tokoh yang sejak lama
dipersiapkan oleh Seni Pramoj untuk menjadi menteri luar negeri
itu, pekan silam secara terang-terangan mengomentari keputusan
Kukrit mengeluarkan pasukan Amerika dari Muangthai itu sebagai
"kebijaksanaan yang harus ditinjau kembali". Dan di Bangkok
sekarang ini pengamat politikumumnya percaya, bahwa Amerika
masih akan tetap berada di negeri ini untuk jangka waktu yang
melampaui tanggal 20 Juli 1976. Batas yang telah diputuskan oleh
Kukrit Pramoj bulan silam bakal dibikin mulur.
Perkembangan baru macam itu sudah jelas akan mempunyai pengaruh
yang tidak kecil terhadap tetangga Muangthai di Indocina. Tapi
pengalaman Kukrit yang mengecewakan dengan Indocina nampaknya
cukup berkesan di kalangan Angkatan Bersenjata Muangthai. Sikap
mengalah Kukrit kepada Hanoi hasilnya nihil. Ini cukup
meyakinkan kalangan militer di Bangkok yang makin mempunyai
pengaruh politik itu, untuk tidak lagi memberi konsesi kepada
pemerintahan Komunis di Indocina. Konon pula Peking ada memberi
angin kepada jalan fikiran macam ini -- mengingat Hanoi tidak
pernah patuh kepada RRT.
Sementara Muangthai beringsut ke kanan -- setelah beranjak ke
kiri selepas penggulingan rezim militer Thanom Oktober 1973 --
para pimpinan mahasiswa dan cendekiawan yang berhaluan kiri sama
sekali tidak memperdengarkan suaranya. "Mereka itu menghadapi 3
pilihan sekarang ini", kata seorang pengamat. "Pertama, ke luar
negeri. Kedua, diam menanti perkembangan. Ketiga, masuk hutan
bergabung dengan Partai Komunis Muangthai bagi mereka yang putus
asa". Dan dengan alasan menghindari teror, para pimpinan
mahasiswa Muangthai sekarang ini memang sulit dijumpai oleh
orang luar. Berita terakhir yang tersiar di koran Bangkok masih
menyebut adanya pengejaran terhadap 35 mahasiswa Universitas
Chulalangkorn oleh orang yang tidak dikenal identitasnya, pada
tanggal 11 April yang lalu. Kejadian yang berlangsung di
propinsi Nakhon Ratchasima itu mengakibatkan para mahasiswa
kembali dengan terpaksa ke Bangkok -- sembari meninggalkan
proyek penelitian mereka yang belum selesai.
Barangkali saja lantaran teror dan intimidasi yang tak
berkesudahan itu maka Seni Pramoj meletakkan soal penegakan rule
of law sebagai tugas terpenting yang harus segera diatasi oleh
kabinetnya nanti. "Teror dan kekerasan itu merupakan akibat yang
kita warisi dulu dari kabinet Sanya Darmasaksi yang lemah itu",
kata Jenderal pensiunan Pramarn Adireksan mengingatkan epada
kabinet sipil pertama setelah Revolusi Oktober 1973. Dan bekas
menteri pertahanan pada kabinet Kukrit itu merasa perlu tegaknya
suatu pemerintahan dengan tangan keras, untuk mengatasi keadaan
khaos tersebut.
Masalahnya: tangan keras terhadap siapa? Dan yang dihadapi oleh
Muangthai lebih dari sekedar kekerasan dan teror. Justru dalam
hal-hal di luar soal hukum dan ketertiban itu bisa muncul
perbedaan yang dapat mengancam stabilitas pemerintahan. Akibat
pertentangan pribadi sesama rekan jenderal yada masa lalu dan
perebutan kursi untuk pemerintahan sekarang, Partai Keadilan
Sosial pimpinan Marsekal pensitman Dawee Chulapsapya dengan
Partai Nasional Muangthai pimpinan Jenderal pensiunan Pramarn
Adireksan terlibat "pertentangan" yang memperlambat pembentukan
kabinet koalisi. Belum lagi nanti kalau soal sudah tiba pada
hal-hal yang amat menentukan untung ruginya golongan mereka
masing-masing.
KARENA itulah barangkali maka akhir pekan silam, ketika sidang
terakhir kabinetnya Kukrit Pramoj memperingatkan abangnya agar
berhati-hati: "Karena saya tahu kedua belah pihak". Maksudnya
kedua partai yang jadi pasangan Partai Demokrasi dalam koalisi
itu. Tanpa menjelaskan alasannya, Kukrit kabarnya meramalkan
kabinet koalisi Seni Pramoj dengan partai-partai golongan
militer itu hanya akan bertahan selama 6 bulan. Jika ramalan
tersebut jadi kenyataan, besar kemungkinan kabinet yang kelak
bakal menggantikan pimpinan Seni Pramoj sekarang ini sudah akan
dikuasai sepenuhnya oleh golongan militer. Meskipun
tokoh-tokohnya adalah orang sipil juga. Sudah jadi kebiasaan
politik di Muangthai bahwa tentara selalu melakukan kudeta
terhadap sebuah kabinet yang mula-mula hanya disertai oleh
sejumlah orang mereka, untuk kemudian dikuasai secara sepenuhnya
tanpa pertempuran darah. Ini juga yang dulu dilakukan oleh
Marsekal Thanom Kittikachorn. Tapi sebelum semua ramalan buruk
itu jadi kenyataan, Muangthai di bawah Seni Pramoj sekarang ini
nampaknya memang bakal punya pemerintahan yang lebih mantap dari
masa pemerintahan Kukrit yang berkuasa sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini